BUTTERFLY EFFECT: [Antara Takdir, Relativitas Einstein, dan De Javu]

waktu

Bertemu kembali dengan Kayleigh, teman masa kecilnya yang begitu ia cintai memiliki kehidupan yang sangat suram dan berantakan, Evan bermaksud untuk merubah takdir kehidupan sang gadis pujaannya tersebut. Berbekal kemampuan otak yang berefleksi dengan jurnal catatan hidupnya, Evan dianugerahi kemampuan untuk mampu kembali ke masa lalu dan melakukan berbagai hal yang pada akhirnya akan merubah takdir masa depan orang-orang yang terlibat pada kehidupannya itu. Sukses untuk kembali ke masa lalu (masa kanak-kanaknya) dan merubah masa lalu Kayleigh yang menjadi biang kehancuran masa depannya, lalu Evan kembali lagi ke masa depan hidupnya, dimana ia terkejut dengan perubahan yang terjadi. Evan dan Kayleigh menjadi sejoli mahasiswa yang borjuis dan berbahagia, tentunya Evan senang, namun tidak hingga ia melihat realita kehidupan kampus yang sesungguhnya, dimana ia kehilangan teman-teman dan lingkungan yang (pada kehidupan sebelumnya) begitu respek padanya. Evan galau, karena ternyata takdir tidak bisa begitu saja ia pilih dan ia rancang, lantunan “Stop to crying your heart out” dari Oasis sebagai latar suara semakin menambah kesan kebimbangan dan kegalauan yang sedang dialaminya.

Kutipan di atas ialah salah satu bagian cerita dari Film “Butterfly Effect”, sebuah film bergenre science fiction yang saya akui hingga saat ini merupakan film terbaik yang pernah saya tonton. Diperankan dan diproduseri oleh Ashton Kutcher, film ini terkesan mkinimalis, tidak menyuguhkan scene-scene berkelas Hollywood, tidak ada effect gambar yang luar biasa, tidak ada pemeran kelas movie star ala Hollywood (hanya Ashton saja yang cukup punya nama, itupun karena film itu ia modali sendiri), tak ada dramatisasi visual melalui tayangan mewah ala Hollywood, bahkan adegan peledakan sebuah kotak surat pun hanya ditampilkan sebagai sebuah audio belaka tanpa visualisasi.

Bukan resensi, ataupun ulasan tentang film tersebut yang coba saya angkat di sini, tapi teori ilmiah yang menjadi latar dan pesan utama dari film tersebut, yakni teori chaos (yang kemudian Edward Norton Lorenz juga menyebutnya sebagai Butterfly Effect Theory), yang secara umum dapat digariskan dengan bahwa “satu kepakan sayap kupu-kupu di langit Indonesia bisa mengakibatkan badai Tornado di belahan dunia yang lain…”. Apa maksud dari bunyi teori tersebut?

Satu frase dasar yang dapat mengilustrasikannya ialah bahwa satu peristiwa kecil saja yang terjadi di masa yang lalu akan mampu memberikan perubahan yang begitu besar pada kehidupan kita saat ini. Pernah terbayang, apa yang terjadi saat ini apabila kita dahulu tidak memilih kampus di mana kita kuliah/lulus saat ini? Bagi yang lulus SPMB, apa yang terjadi saat ini apabila dulu kita salah mengerjakan 2 (dua) nomor saja saat ujian itu? Atau bahkan yang lebih ekstrim, apa yang terjadi saat ini andai dahulu ayah dan ibu kita ternyata tidak berjodoh? Sebuah perbedaan takdir yang maha dahsyat dan mencengangkan pastinya akan berkelahi di otak kita yang memikirkannya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah takdir bisa dirubah, Layaknya Evan di dalam film Butterfly Effect? Tanpa mendiskreditkan nilai-nilai agama, saya meyakini bahwa kembali ke masa lalu bukanlah sesuatu yang mustahil. What…???

relativitas

Coba simak teori relativitas Albert Einstein, yang menyatakan bahwa Manusia di dunia ini tidak memiliki ruang dan waktu yang absolute, namun seluruh ruang dan waktu yang manusia miliki ialah relatif, dimana segala hal yang dilakukan oleh manusia yang satu dengan yang lainnya ialah berbeda konfigurasi dengan kecepatan cahaya yang ada di bumi. Sebuah landasan teori yang kemudian melahirkan ide kontroversial Einstein tentang perjalanan waktu, yang pada intinya menyatakan bahwa sesungguhnya manusia bisa berpindah ruang dan waktu kehidupannya ke masa lalu maupun masa depannya. Meskipun dinyatakan kontroversial, namun harus diakui teori relativitas Einstein memang memiliki dasar dan presisi yang kuat di mata dunia scientific hingga saat ini.

Hipotesis yang cukup terkenal terkait dengan teori tersebut ialah hipotesis “paradoks kembar”, dimana hipotesis tersebut menyebutkan bahwa sepasang manusia kembar dipisahkan, dimana yang satu menjadi astronot untuk diterbangkan ke luar angkasa dengan kecepatan yang maha tinggi untuk menjelajahi galaksi dan kembali lagi ke bumi, sedangkan saudara kembarnya tetap berada di bumi. dari perjalanan sang astronot tersebut, meskipun kecepatannya roketnya mendekati kecepatan cahaya, tetap dibutuhkan 10.000 tahun untuknya agar kembali ke bumi setelah menjelajahi galaksi.  karena gerak relatifnya yang begitu tinngi, usia astronot tersebut akan lebih lama dibandingkan manusia-manusia lain di bumi, termasuk saudara kembarnya, hal mana dibuktikan dengan saat astronot tersebut kembali ke bumi, ia hanya lebih tua beberapa tahun sejak meroket dari bumi, sedangkan saudara kembarnya telah lama meninggal.

prediksi melambatnya waktu tersebut juga telah dibuktikan dengan eksperimen penerbangan jam-jam atomik menggunakan pesawat jet yang mengelilingi bumi, dari eksperimen tersebut diketahui bahwa jika manusia melakukan penerbangan mengelilingi bumi dengan arah keberangkatan ke timur, maka manusia tersebut akan lebih muda 59 nanodetik dibanding manusia yang tidak melakukan perjalanan sama sekali. Pembuktian lainnya dikemukakan oleh ahli astrofisika dari Princetown University di New Jersey, Dr. J. Richard Gott, yang menyatakan bahwa terdapat rekor dunia yang membuktikan hal tersebut, yakni Sergei Krikalev, seorang kosmonot Rusia yang kembali ke bumi setelah tinggal di stasiun antaraiksa Rusia Mir selama 748 hari, dimana terbukti bahwa usianya lebih muda seperlimabelasdetik dari pada ia tetap berada di bumi. sungguh logika yang semakin menguatkan hipotesa tentang mesin waktu einstein. namun melihat dari apa yang dilakukan oleh kosmonot tersebut, dapatlah terbayang bahwa berapa energi waktu yang diperlukan guna memundurkan waktu di bumi hingga hitungan tahunan, bahkan ratusan tahun hingga kita bisa kembali ke zaman perjuangan kerajaan-kerajaan dahulu. hal tersebut searah dengan kegagalan ekperimen yang dilakukan oleh Dr. Vadin A. Cernobrov, dimana eksperimennya terhadap mesin waktu gagal karena kurangnya energi yang dieksplorasi dalam eksperimen tersebut. apakah dugaan terhadap adanya mesin waktu telah pupus?

Sepertinya tidak, karena dalam perkembangannya, ahli-ahli fisika akhir-akhir ini yang semakin menegaskan bahwa mesin waktu sesungguhnya ada atau dapat diciptakan, dengan tetap berbasis pada teori relativitas yang pernah Einstein ungkapkan. Banyak pakar fisika dunia telah mempublikasikan hal tersebut, seperti Daniel Greenberger dari City University of New York dan Karl Svozil dari Vienna University of Technology di Austria. Sungguh sebuah fenomena yang mengundang perdebatan. Meskipun demikian, walau meyakini tentang teori tersebut, saya juga masih berpandangan bahwa kalaupun memang manusia mampu kembali ke masa lalunya, namun manusia tersebut tidak bisa serta merta untuk merubah takdir hidupnya yang sesungguhnya juga turut berkorelasi secara sinergis dengan takdir hidup orang lain. Sebagai contoh, apa yang akan terjadi bila saya merubah masa lalu saya? Dimana teman dan orang tua saya juga pastinya memiliki takdir yang dalam skrip takdir hidupnya saya juga memiliki peranan. simak saja ilustrasi saya berikut ini, jika seseorang (sebut saja Budi) memutar waktu puluhan tahun ke belakang dimana  kemudian ia membunuh orang tuanya jauh sebelum waktu ia lahir  (mirip dengan skenarionya video klip “permintaan hati” dari letto), lantas bagaimana dengan takdir Budi yang sesungguhnya (di waktu sebelum ia memutar balik waktu)? apakah Budi tetap ada di muka bumi, mengingat orang tuanya saja telah ia bunuh sebelum melahirkannya? dengan demikian tak akan ada budi yang melakukan perjalanan memutar waktu untuk kemudian membunuh orang tuanya. sungguh sebuah logika sirkulasi  hidup yang memusingkan…

Terlepas dari realistis atau tidaknya teori mesin waktu tersebut untuk diterapkan, saya masih merasa takjub dengan adanya fenomena ilmiah tersebut, dimana secara ilmiah manusia memiliki ruang dan waktu dimana mereka bisa saling berjalan di antaranya. Lantas bagaimanakah kaitannya fenomena ilmiah ini dengan de javu? Karena dalam film Butterfly Effect, akhir dari cerita film tersebut menampilkan scene dimana Evan dan Kayleigh berpapasan di tengah jalan, dimana Evan sangat mengetahui bahwa perempuan yang ia lihatnya itu ialah Kayleigh, gadis teman kecilnya, yang hidup sebagai akibat dari metamorfosa takdir yang ia ciptakan, sedangkan Kayleigh hanya menatap tipis dan tertegun seraya meyakini itu hanya sebuah de javu. Adakah korelasinya?

Pada dasarnya fenomena deja vu telah melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan apa yang menjadi latarnya. Namun satu yang paling membuat saya tertarik ialah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Could U believe it?

Terlepas dari eksitensi teori-teori psikologi dan teori penyakit degenaratif yang ada, saya melihat terdapat sebilah korelasi yang menarik untuk diperbincangkan antara fenomena takdir, relativitas, dan de javu itu sendiri. Pertanyaan konyol pertama yang saya munculkan ialah apakah kita pernah berfikir bahwa de javu yang kita rasakan merupakan sebuah manifestasi dari adanya pergeseran ruang dan waktu yang (secara tidak sadar) sesungguhnya pernah kita alami, atau dengan kata lain saat kita merasa “koq, kayanya saya pernah datang ke tempat ini sebelumnya ya, padahal ini pertama kali saya datang ke sini…”, padahal jangan-jangan kita memang pernah ke tempat itu sebelumnya, namun dengan ruang dan waktu yang berbeda dengan kehidupan kita sekarang… entahlah… belum lagi sewaktu saya pertama kali saya selesai menonton film Butterfly Effect, seorang teman (yang merekomendasikan film tersebut) berdiskusi dengan saya dan menyampaikan bahwa terdapat satu lagi teori yang cukup mengusik alam fikiran saya terkait teori di film tersebut, beliau menyampaikan (tanpa mengingat asal-usul dan nama ilmiah dari teori tersebut) bahwa orang yang mengalami gangguan kejiwaan (orang gila) sebenarnya punya kehidupannya sendiri yang tidak sejalan dengan ruang dan waktu kehidupan orang-orang yang lainnya, jadilah orang-orang gila tersebut “hidup” dalam kehidupannya sendiri. Hal ini terefleksi juga dari salah satu bagian cerita film Butterfly Effect dimana Evan sempat dianggap mengalami gangguan jiwa karena memiliki “kehidupan” yang variatif karena dirinya telah pernah beberapa kali memutar ruang dan waktu hidupnya sehingga akhirnya memiliki takdir dianggap sebagai orang gila. Untuk teori yang satu ini saya belum punya hipotesa yang dapat memperkeruh fenomenanya, tapi setidaknya ada beberapa poin yang saling berkorelasi secara sinergis dengan fenomena teori chaos sebagaimana yang saya uraikan.

Lantas apa hal mendasar yang dapat kita tarik dari pembahasan tersebut? tanpa melihat seberapa besar posibilitas realisasi dari mesin waktu maupun seberapa gigih para ilmuwan mewujudkan teori tersebut,  setidaknya saya dapat menggariskan sebuah hikmah yang menarik bahwa ialah begitu penting arti terjadinya suatu peristiwa sekecil apapun di kehidupan kita saat ini, karena kita takkan pernah tahu bagaimana manifestasinya peristiwa yang sepele tersebut untuk kehidupan kita, 5, 10, atau 20 tahun yang akan datang. Entah apa yang terjadi di negeri kita saat ini andai dulu Chaerul Saleh Dkk tidak menculik Soekarno di Rengasdengklok. Atau mungkin saja tragedy Tsunami Aceh 2004 tidak akan terjadi andai tidak ada aktivitas pengeboran sumur yang berlebihan di Pulau Jawa beberapa tahun sebelumnya. Kita tidak pernah tahu, tapi yang jelas selalu ada hukum aksi dan reaksi. So, pastikanlah setiap jengkal langkah hidup kita saat ini merupakan langkah yang tepat, tanpa celah, dan tanpa kesalahan fatal, demi terciptanya masa depan hidup yang searah dengan apa yang kita citakan selama ini.


Published in: on March 8, 2009 at 5:59 pm  Comments (5)  
Tags: , , , , , ,

The URI to TrackBack this entry is: https://72legalogic.wordpress.com/2009/03/08/butterfly-effect-antara-takdir-relativitas-einstein-dan-de-javu-2/trackback/

RSS feed for comments on this post.

5 CommentsLeave a comment

  1. Nice post….

  2. Weitts bang, koq tulisannya beginian?
    kan lo orang hukum? tp boleh jg sich…mantap bang tulisannya.
    semakin membuka wacana gw ttg mesin waktu…smg bener2 ada nnti…!

  3. Posting yang sangat menarik, dulu aku sering mengalami dejavu, membingungkan, but postingan ini dapat sedikit mengurangi kebingungan dan keingin tahuanku

  4. aku pernah menceritakan tentang masa depan pribadiku… tapi aku “ditikam” oleh orang yang aku ceritakan itu…
    aku dibuat menikah dengan dia seharusnya aku menikah dengan orang lain…

  5. terimakasih infonya. sekarang aku gak bingung lagi ^^


Leave a comment