Nama Domain Dalam Perspektif Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Indonesia

Keterkaitan antara nama domain dengan merek dalam hukum positif di Indonesia

Saat ini pengaturan tentang nama domain telah tercantum pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya pada Bab VI pasal 23 hingga Pasal 26, namun ketentuan pada bagian tersebut masih mengamanatkan adanya suatu bentuk peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai nama domain, yang hingga kini belum juga terbentuk dan cenderung tertutup oleh wacana judicial review UU ITE itu sendiri. Terlepas dari pengaturan nama domain yang belum lengkap dalam UU ITE, baik untuk di simak mengenai eksistensi dari nama domain itu sendiri di Indonesia, khususnya sebagai salah satu wujud hak kekakayaan intelektual.

Karakteristik Nama Domain yang dalam beberapa hal berbeda dengan Merek menyebabkan sulitnya Regulasi Merek digunakan untuk mengatasi masalah Nama Domain. Masih menjadi perdebatan apakah Nama Domain dapat dipersamakan dengan Merek menurut Hukum Merek Indonesia, meskipun secara fungsi Merek dapat dipersamakan dengan Nama Domain, sedangkan secara hakikat keduanya jelas berbeda.

Seiring perkembangan pemakaian Nama Domain oleh perusahaan di jaringan Internet, berkembang pula gejala pelanggaran Merek di jaringan tersebut. Pelanggaran ini terjadi saat pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan sebuah perusahaan atau dengan sebuah Merek perusahaan mendaftarkan Merek tersebut sebagai Nama Domainnya dijaringan Internet. Secara umum terdapat perbedaan konsep mengenai kaitan antara Nama Domain dengan Merek. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari hal-hal berikut:

  • Nama Domain dari segi aspek fungsi memang mirip dengan Merek karena menjual komoditas barang dan jasa, Selain itu Nama Domain sama seperti Merek memiliki daya pembeda, asalkan memiliki tanda yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
  • Nama Domain berbeda dengan Merek karena adanya perbedaan asas. Nama Domain menganut asas first come first serve, sedangkan Merek menganut asas first to file principle, sehingga dalam beberapa hal misalnya tindakan Cyberquatters, Typosquatters, sulit untuk dijangkau dengan sistem Hukum Merek Indonesia. Terkecuali apabila sistem Hukum Merek Indonesia mengalami amandemen dengan memasukkan norma yang mengatur masalah Nama Domain, maka tindakan tersebut akan dapat dicegah.

Alternatif lain yaitu, memperluas definisi Merek sebagai Nama Domain sehingga dengan begitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Nama Domain dapat diselesaikan dengan aturan Merek yang ada. Hal ini tidak terlepas belum adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang masalah Nama Domain. Bagaimanapun untuk mengisi kekosongan peraturan mengenai Nama Domain ini, maka harus melihat aturan-aturan Hukum Positif yang ada.

Sejauh ini bisa dikatakan bahwa nama domain tidak disebutkan atau dijelaskan secara eksplisit dalam pengaturan tentang merek, yaitu UU 15 tahun 2001 tentang Merek, namun jika ditarik sebuah interpretasi, ada hal yang dapat mengindikasikan nama domain merupakan bagian dari merek. Dimana PP nomor 24 tahun 1993 tentang daftar kelas barang atau jasa dalam merek, disebutkan bahwa telekomunikasi termasuk di dalamnya, yaitu dalam kelas no 38. sehingga menurut hemat saya, pembuatan sebuah nama domain dapat diklasifiaksikan ke dalam sebuah jasa telekomunikasi dalam pengaturan merek. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa penyelesaian sengketa terhadap kasus nama domain dapat juga diselesaikan dengan berdasar pada ketentuan UU merek. Meskipun demikian, pada dasarnya tetaplah diperlukan sebuah pengaturan yang pasti perihal nama domain berikut mekanisme penyelesaian sengketanya, karena dengan begitu akan tercipta sebuah penerapan hukum yang tegas dan pasti. Terlebih hal tersebut terkait dengan perlindungan terhadap merek terkenal.

Beberapa jenis pelanggaran terkait nama domain

Cybersquatting adalah suatu tindakan pendaftaran nama domain yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak (tidak memiliki legitimate interest). Sedang cybersquatter adalah orang yang melakukan tindakan pendaftaran tersebut. Biasanya mereka yang melakukan pendaftaran memiliki niat untuk menjual nama domain yang sudah dimiliki tersebut dengan harga jauh lebih tinggi daripada harga seharusnya. Di luar negeri, praktek cybersquatting ini bisa dibilang cukup lumrah, karena tidak sedikit pengusaha yang melihat celah untuk mengambil manfaat ekonomis dari nama yang telah dikenal sebelumnya. Bahkan, praktek ini kemudian berkembang menjadi satu komoditi yang kemudian dikenal dengan “brooker” nama domain.

Indonesia sebagai pengguna internet yang cukup besar telah mengalami cybersquatting sejak lama. Nama domain sebagai identitas menjadi incaran calo yang biasa disebut cybersquater untuk dijual kembali pada pemilik merk yang berhak. Di tahun 2003 Seorang calo dapat mengantongi 400 an nama domain dengan hanya mengeluarkan biaya 40 juta dan menjualnya kembali dengan harga mahal. Untuk menebus satu nama domain tertentu seperti nama produk seperti Seputarindonesia.com seorang cybersquater dapat menuntut uang puluhan ribu hingga jutaan dollar (www.ebizzasia.com).

Penerapan Hukum Positif Indonesia terhadap permasalahan nama domain dalam kaitannya dengan merek

Terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai aturan yang tepat untuk mengatasi Nama Domain ini, diantaranya penggunaan KUHP, KUHPerdata, dan UU Merek. Namun secara personal dapat dikatakan bahwa aturan dalam UU Merek dapat digunakan untuk mengatasi masalah Nama Domain karena adanya kemiripan antara Nama Domain dengan Merek. Sehingga pada saat nama domain digunakan dengan fungsi yang sama dengan Merek maka sengketa Nama Domain dapat diselesaikan dengan UU Merek, ditambah lagi seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa nama domain dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari jasa telekomunikasi yang terklasifikasi dalam kelas barang dan jasa merek. Jika suatu sengketa nama domain dapat diangkat sebagai suatu sengketa merek, maka jalur penyelesaian litigasinya ialah melalui Pengadilan Niaga.

Sejauh ini tidak ada satu peraturan di Indonesia yang sacara khusus mengatur masalah domain name. Sampai dengan hari ini boleh dibilang kita masih tunduk pada pengaturan yang dipakai oleh dunia internasional ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers), otoritas internet yang berwenang menangani masalah IP Addres, serta manajemen sistem domain name. Sehingga segala akibat hukum yang timbul dari penggunaan nama domain sudah sepatutnya tunduk pada ketentuan yang telah ditetapan oleh badan tersebut tersebut. Jika terjadi sengketa nama domain maka tunduk pada UDRP (Uniform Dispute Resolution Policy), yang merupakan ketentuan ICANN tentang penyelesaian sengketa domain name. Namun hingga kini belum terlihat bahwa Indonesia akan meratifikasi UDRP sebagai undang-undang.

Satu hal yang pasti ialah bahwa kemajuan teknologi akan berdampak pada masyarakat langsung maupun tidak langsung. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perolehan nama domain adalah first come first serve. Hal ini akan mengakibatkan tidak mungkin suatu nama perusahaan didaftarkan dua kali. Sehingga jika seseorang melakukan pendaftaran nama domain dengan menggunakan merek dagangnya atau merek orang lain, maka orang yang pertama kali mendaftaran nama domain tersebut memiliki hak atas nama domain tersebut. Kasus di lapangan yang sering terjadi adalah, orang mendaftarkan merek dagang orang lain tanpa sepengetahuan dari si pemilik merek dagang sesungguhnya. Penyelesaian kasus ini biasanya disandarkan pada legitimate interest dari si pendaftar. Dalam hal ini harus dibuktikan, apakah yang bersangkutan memiliki iktikad tidak baik (bad faith) pada saat melakukan pendaftaran. Penggunaan merek dagang (perusahaan) sebagai nama domain menjadikan merek dagang tersebut dikenal oleh banyak orang di seluruh dunia. Selain mudah dan mampu menjangkau seluruh dunia, pemasaran merek dagang melalui domain akan menekan biaya promosi yang sanagt besar sekali.

Secara universal telah terdapat Uniform Domain-Name Dispute-Resolution Policy (UDRP) guna menyelesaikan sengketa-sengketa seputar nama domain. Waktu yang ditargetkan untuk menghasilkan keputusan sejak pertama kali diadukan adalah sekitar 45 hari. ICANN sendiri telah menunjuk tiga badan yang berwenang untuk menjalankan UDRP tersebut, yaitu World Intelectual Property Organization (WIPO) di Jenewa Swiss, National Arbitration Forum di Minneapolis AS dan Disputes.org/eResolution Consortium di Montreal Kanada. Segala proses penyelesaian sengketa tersebut dilakukan melalui surat-menyurat maupun e-mail.

Ada tiga penilaian yang memungkinkan suatu nama domain dipindah-tangankan, yaitu:

  • nama domain tersebut mirip dengan suatu merek,
  • pemilik nama domain tersebut tidak memiliki hak atau legitimasi atas nama domain tersebut,
  • pendaftar nama domain tersebut terbukti memiliki niatan yang tidak baik.

Layaknya mekanisme alternative dispute resolution (ADR), kebijakan penyelesaian sengketa melalui mediasi dan arbitrasi berdasarkan UDRP di WIPO bersifat terbatas. Sengketa nama domain hanya dapat diajukan sekali saja dan tidak dapat diulang. Namun nilai tambah ditawarkan kepada pemilik merk ialah untuk mencegah dan menangani sabotase atau iktikad buruk atas pendaftaran merk mereka sebagai nama domain. Bila dibandingkan dengan prosedur pengadilan, jalur penyelesaian sengketa ini relatif lebih murah dan ringkas.

Cukup banyak kasus sengketa nama domain di seantero dunia yang diurus oleh WIPO. Semua kasus ini bisa diakses pada situsnya http://arbiter.wipo.int/domains. Jika Indonesia ingin merujuk prosedur ini, sesungguhnya bisa saja semua kasus sengketa domain dilimpahkan ke WIPO. Namun untuk penyelesaian sengketa di Indonesia, dari kasus yang pernah ada (Mustika Ratu), penyelesaian yang ditempuh justru melalui pengadilan, dan bahkan menggunakan dasar produk hukum pidana, bukannya Perdata seperti yang didasarkan secara global oleh WIPO.

Published in: on March 8, 2009 at 7:41 am  Leave a Comment  
Tags: , , ,