Fenomena Reality Show di Indonesia

Dalam lensa hukum dan sosial yang (tidak) realistis

tvSeorang Bapak kepergok tengah berselingkuh dengan kekasih anak lelakinya, seorang pemuda yang telah lama dicari istrinya tertangkap basah tengah bercumbu dengan seorang waria di dalam sebuah mobil, dan seorang pengacara terungkap tabir perilakunya yang ternyata memiliki banyak istri di berbagai kota tanpa sedikitpun diketahui oleh istri-istrinya tersebut.

Tiga kutipan peristiwa di atas merupakan sebuah “peak moment” sebuah reality show investigatif tentang pencarian orang-orang yang (konon) telah hilang untuk waktu yang lama. Sebuah program reality show karya dari sebuah rumah produksi milik seorang entertainer yang belum lama ini gagal dalam pilkada suatu provinsi di tanah andalas telah begitu diminati oleh masyarakat Indonesia, termasuk saya (pada awalnya). Dua kali tayang di weekend plus durasi yang melebihi program reality show pada umumnya cukup membuktikan bahwa program tersebut telah mencuri perhatian masyarakat.

Tiga bagian cerita sebagaimana diuraikan di awal merupakan klimaks dari program reality show tersebut, dimana kemudian diikuti oleh closing dari 2 orang presenter (yang sepertinya tidak punya job lain lagi, karena divisualisasikan bahwa investigasi yang mereka lakukan dalam program itu berhari-hari bahkan hingga hitungan mingguan). Begitu selesai presenter menutup acara tersebut, munculah sebuah quotation yang selalu saya tunggu dan menyedot perhatian saya: “Tayangan ini telah mendapatkan persetujuan dari semua pihak yang terlibat”. What? Apa masyarakat bangsa ini sudah gila? Rela menggadaikan martabat dan harga dirinya demi sekedar tampil kurang dari 5 menit di televisi, dengan identitas yang “telanjang” serta dalam frame imej yang buruk pula…!! coba bayangkan saja tiga cerita yang saya sajikan di awal, apakah mungkin seluruh orang-orang yang menjadi objek cerita tersebut menyerahkan izin kisahnya kelamnya kepada kru produksi hingga menjadi sebuah tayangan yang mungkin saja dapat ditonton oleh seluruh masyarakat di negeri ini?

Berpijak pada quotation yang selalu timbul di akhir program tersebut, saya selalu saja bertanya, apa masyarakat bangsa ini sudah banci tampil yang gila sampai rela menggadaikan martabat hidupnya atau memang mereka memberikan izin atas sebuah kisah yang sesungguhnya tidak nyata alias rekayasa belaka!!!?

Reality Show dan Pengaruhnya

Pada konsepnya program televisi dirancang sebagai mass distribution for common experience, hal mana yang berarti bahwa informasi yang disiarkan dapat diterima oleh sejumlah masyarakat penonton pada saat bersamaan maupun tidak dengan lintas ruang sehingga penonton tersebut akan merasa memiliki pengalaman yang sama. Televisi memang memiliki porsi pengaruh yang cukup besar atau mungkin sangat besar saat ini terhadap masyarakat (bersaing dengan internet). Bagaimana sebuah opini publik dibentuk, bagaimana membelokan perhatian masyarakat dengan manuver-manuver fenomena sosial yang digambarkan begitu dramatis dan instensif, atau bahkan bagaimana seseorang yang tak bersalah bisa “di-labelkan” sebagai seorang yang bersalah dengan rangkaian visualisasi media televisi. Kita tidak akan pernah mengenal dan mendalami peristiwa yang terjadi seputar robot gedek, sumanto, atau yang teranyar si penjagal berdarah dingin Very Idam Heniansyah alias Ryan tanpa adanya sebuah kotak elektronik yang banyak orang menyebut sebagai televisi.

Pada dasarnya dalam suatu tayangan reality show melekat di dalamnya karakteristik Fidelity or Realism, yakni sebuah ciri yang menggambarkan perwujudan asli dari suatu peristiwa, seseorang, kejadian, dan proses, sehingga masyarakat yang menonton memiliki kepercayaan terhadap objek yang ditontonnya. Tolong di garis bawahi pada bagian SEHINGGA MASYARAKAT YANG MENONTON MEMILIKI KEPERCAYAAN TERHADAP OBJEK YANG DITONTONNYA, sungguh sebuah amanah yang berat pada program reality show. Lantas sudahkah tayangan-tayangan reality show di negeri ini mencerminkan karakteristik fidelity or realism sebagaimana diuraikan tersebut? Ketika tragedi ayah merebut kekasih anaknya, suami ternyata memiliki kelainan seksual, seorang pengacara yang ternyata berpoligami secara tidak sah, atau puluhan cerita dramatis dan di luar kelaziman lainnya ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, maka yang terjadi ialah transformasi paradigma kehidupan sosial di tengah masyarakat cepat ataupun lambat, belum lagi terhadap mereka yang masih di bawah umur dimana karakter imitatif mereka masih begitu kuat, jadilah sebuah transformasi wacana yang begitu masiv dan efektif.

Dengan masyarakat mempercayai apa yang ditayangkan oleh program-program reality show tersebut, maka secara sporadis maupun bertahap akan tumbuh paradigma di masyarakat bahwa hal-hal yang diungkap dalam tayangan-tayangan tersebut ialah cerminan kehidupan nyata masyarakat bangsa ini yang pada perkembangannya cepat atau lambat melahirkan wacana yang permisif atas fenomena-fenomena yang (konon)merupakan kisah nyata diungkap dalam tayangan-tayangan tersebut. Jika dahulu pemerintah mendukung program reality show yang bergenre kompetisi seperti Akademi Fantasi Indosiar (AFI) atau Indonesia Idol yang sukses menina bobokan masyarakat, mungkin kini daftar top ranking rating tayangan televisi yang dikuasai oleh program-program reality show bisa dijadikan indikasi bahwa tayangan reality show yang (konon) menampilkan kisah nyata masyarakat Indonesia akan memberikan efek jangka panjang yang (entahlah) seberapa signifikan terhadap perilaku masyarakat. Dan ingat, itu masih terlepas bahwa apakah sesunggunya tayangan-tayangan reality show tersebut memang nyata? Jika tidak, lengkaplah sudah bad impact yang diberikan oleh tayangan-tayangan tersebut untuk bangsa ini. Sinetron saja yang senyatanya kisah rekayasa sudah cukup memusingkan banyak kalangan, dari politikus, kaum adat, hingga alim ulama, sehingga kemudian lahir berbagai “asesoris” aturan tayangan sinetron, apalagi terhadap tayangan reality show yang (disinyalir) disiarkan dengan latar kebohongan namun berbungkus kisah nyata, karena perlu diingat bahwa reality show memiliki daya pengaruh yang lebih kuat dibanding sinetron.

Saya melihat ada fenomena salah kaprah dalam pengkreasian suatu program reality show di Indonesia, dimana unsur kebenaran dan kisah nyata atau Fidelity or Realism tidak lagi menjadi sebuah patokan, simak saja sejarah perkembangannya, dari mulai tayangan-tayangan yang menjual mistis dengan menantang setan, tayangan-tayangan penjebakan kelakuan buruk sesorang, atau tayangan-tayangan investigatif dan penyelesaian suatu masalah sebagaimana yang menjadi tren akhir-akhir ini. Lihatlah tayangan investigatif TM yang tayang dua kali setiap akhir pekan, dimana unsur rekayasanya sangat kental sekali. Simaklah setiap orang yang dijadikan target/sumber informasi pada tayangan tersebut, tidak pernah lepas dari make up, bahkan yang diset sebagai anak jalanan pun terlihat bermake up atau paling tidak dengan rambut yang di bleaching, belum lagi dengan interaksi-interaksi yang terangkai pada setiap subyek pada acara tersebut yang sangat lekat dengan corak akting. Bagi saya, saat ini yang paling menarik dari tayangan tersebut justru bukan ceritanya, namun rangkaian detail tayangan yang janggal untuk membuat masyarakat percaya bahwa kisah tersebut memang real, namun terlepas dari itu, satu yang tak bisa dipungkiri bahwa pada faktanya tayangan-tayangan itu sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, sungguh ironis. Sulit untuk menemukan program reality show seperti Survivor atau The Apprentice di negeri ini, karena para kreatornya pun terjebak dengan buaian pasar sehingga menafikan unsur utama yang seharusnya melekat pada sebuah tayangan reality show.

Peranan KPI dan SPS

Sudah banyak wacana yang berteriak tentang aspek ke-rekayasa-an program reality show di negeri ini, atau tak perlu rumit-rumit lah, simak saja reality show yang tengah tayang saat ini, dimana beragam kejanggalan menurut saya tidak sulit untuk ditemukan, lantas apakah hal tersebut merupakan sebuah hal yang lumrah dalam industri pertelevisian di Indonesia? Jika tidak, dimana peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap fenomena tersebut?

Pasal 3 Peraturan KPI tentang Standar Program Siaran (SPS) menyebutkan bahwa Lembaga penyiaran dalam menyajikan informasi program faktual wajib mengindahkan prinsip jurnalistik, yaitu akurat, adil, berimbang, ketidakberpihakan, tidak beritikad buruk, tidak mencampuradukan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Belum lagi ketentuan Pasal 50 yang tegas menyatakan bahwa Dalam menyelenggarakan suatu program siaran baik itu bersifat langsung (live) atau rekaman (recorded), lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi, sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subyek dan obyek berita. Kemudian muncul pertanyaan, dimana eksitensi ruang privasi itu berada dalam tren program-program reality show belakangan ini? Apakah itu yang disebut dengan implementasi prinsip jurnalistik? Atau memang tidak ada sesuatu yang real diangkat dalam program tersebut? lantas apa bedanya dengan core characteristic yang terdapat pada sinetron?

Sangat terlihat bahwa pengangkatan kisah-kisah nyata seseorang yang sangat menyerempet privasi orang lain tidak dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan aturan penyiaran, simak ketentuan Pasal 51 SPS sebagai berikut:

Pelaporan mengenai masalah kehidupan pribadi dan hal-hal negatif dalam keluarga, misalnya konflik antar anggota keluarga, perselingkuhan, dan perceraian, disajikan dengan mengikuti syarat-syarat berikut:

a. tidak dilakukan dengan niat merusak reputasi obyek yang diberitakan;

b. tidak dilakukan dengan cara yang justru memperburuk keadaan, atau memperuncing konflik yang ada;

c. tidak dilakukan dengan cara yang mendorong berbagai pihak yang terlibat dalam konflik mengungkapkan secara terperinci aib dan atau kerahasiaan masing-masing pihak yang berkonflik;

d. tidak dilakukan dengan menyajikan informasi tentang perilaku seks secara terperinci;

e. harus memperhatikan dampak terhadap keluarga, terutama anak-anak dan remaja, yang mungkin ditimbulkan oleh pelaporan;

f. harus berdasarkan fakta dan data;

g. pembawa acara atau narator tidak menjadikan laporan konflik keluarga sebagai bahan tertawaan dan/atau bahan cercaan;

h. pembawa acara atau narator dilarang mengambil kesimpulan secara tidak proporsional, menghakimi, dan/atau mengambil sikap berpihak kepada salah satu pihak yang berkonflik;

i. pembawa acara atau narator tidak boleh menggiring opini khalayak ke arah yang menjatuhkan martabat obyek yang diberitakan.

Belum lagi dengan praktek perekaman secara tersembunyi (candid camera) yang seringkali dilakukan dan tidak jarang membuat murka objek yang menjadi target rekaman. SPS sudah mengatur bahwa perekaman tersembunyi hanya diizinkan bila siaran tersebut memiliki nilai kepentingan publik yang tinggi, dan kepentingannya jelas yakni tidak untuk merugikan pihak tertentu. Adapun yang dimaksud dengan kepentingan publik ialah dimana terdapat bukti atau dokumentasi atas sebuah perilaku atau niat dan/atau upaya untuk melakukan pelanggaran atau dimana wartawan dapat menunjukkan bahwa pendekatan terbuka tidak akan berhasil, dan rekaman tersebut digunakan untuk tujuan pembuktian. See? apakah tayangan-tayangan reality show yang tengah beredar saat ini telah merefleksikan hal tersebut? Belum lagi dengan tidak diterapkan salah satu ketentuan yang mengatur tentang hak si objek penjebakan, dimana SPS telah mengatur bahwa orang yang menjadi objek perekaman tersembunyi memiliki hak untuk menolak hasil rekaman yang telah diambil untuk disiarkan dan bahkan si objek atau korban juga berhak untuk meminta penghentian perekaman tersebut, dimana di sisi lain lembaga penyiaran wajib untuk memenuhi permintaan tersebut. It’s clear enough…!

berdasar pada uraian tersebut, kemudian saya menghasilkan 2 (dua) buah pertanyaan untuk kemudian kita cermati dan renungkan (karena jika langsung menjawab, biasanya kita akan lantas berhenti berelaborasi), yang pertama ialah dimana taring KPI terhadap berlangsungnya fenomena tersebut? jika kemarin KPI sukses untuk ”menundukan” Trans 7 dalam penghentian tayangan ”Empat Mata”, yang kemudian diakali dengan munculnya ”Bukan Empat Mata” (ujung-ujungnya KPI juga yang kalah…), maka kini patut untuk dipertanyakan mengenai peranannya terhadap fenomena reality show di negeri ini. Pura-pura tidak tahu atau memang terbentur aspek bisnis privat? Premis kedua ialah sekedar mengajak merenung saja, bahwa dibalik balutan lembutnya yang menyenangkan sesungguhnya tayangan reality show di negeri ini patut untuk difiltrasi juga oleh para penontonnya, terlebih jika nanti terbukti adanya unsur rekayasa pada tayangan-tayangan tersebut, jadilah negeri ini terbelah menjadi dua unsur masyarakat, yang membohongi (sebagai konsekwensi KPI bisa juga nih dikualifisir ke dalam bagian ini) dan yang terbohongi (Mass victims). Sepertinya pemerintah kita patut untuk meniru langkah Federal Comunication Comission (FCC), KPI-nya Amerika Serikat, yang menjatuhkan hukuman terhadap pembuat reality show yang terbukti telah memproduksi acara yang penuh rekayasa dan dibuat-buat. Terlepas dari itu semua, untuk saat ini dan dengan menafikan semua dampak yang saya uraikan, saya kira menonton tayangan reality show memang lebih realistis dibanding menyaksikan sinetron yang semakin lama semakin menjenuhkan, jelas lebih baik reality show, ceritanya dramatis, (seolah) real, dan selesai dalam 1 (satu) episode. Setuju? Selamat menikmati…

Published in: on March 8, 2009 at 5:53 pm  Comments (1)  
Tags: , , , ,