Aspek Legal Perubahan Yang Terkandung Dalam RUU Perfilman

Materi-materi berikut merupakan ketentuan yang dirubah atau ditambahkan oleh RUU Perfilman apabila diperbandingkan dengan UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman

KEGIATAN PERFILMAN DAN USAHA PERFILMANmerah putih movie

  1. Selain tentang Usaha Perfilman, RUU Perfilman juga melengkapi pengaturan dengan menambahkan pengaturan tentang Kegiatan Perfilman, suatu ketentuan yang tidak diatur dalam UU 8/1992 tentang Perfilman; (BAB III RUU PERFILMAN) à Merupakan suatu wujud konkrit RUU Perfilman untuk memberikan ikatan regulasi yang lebih luas dan lebih rigid dalam menjangkau para subyek perfilman dalam menjalankan operasional perfilmannya;
  2. Secara keseluruhan RUU Perfilman lebih memberikan pengaturan tentang Kegiatan Perfilman dan Usaha Perfilman yang lebih komprehensif, yakni dengan adanya ketentuan seputar larangan terhadap content film, diversifikasi dan kualifikasi kegiatan perfilman dengan usaha perfilman berikut dengan para pelakunya; (Pasal 5-9 RUU PERFILMAN) à hal-hal baru yang diatur dalam RUU Perfilman lebih mengarah pada suatu upaya ekstensifikasi regulasi perfilman dan upaya yang lebih spesifik dari pemerintah untuk mengatur setiap jengkal operasional perfilman nasional. Suatu fakta yang apabila ditelaah dari aspek legalistik formal merupakan sebuah bentuk progresif penciptaan regulasi oleh Pemerintah (tanpa melihat keseimbangan dan arah pengaturan materiil RUU itu sendiri). Beda halnya apabila hal tersebut dilihat dari sudut pandang para subyek perfilman itu sendiri. Semakin banyaknya kavling yang ”diakuisisi” oleh Pemerintah melalui regulasi pastinya menimbulkan kekhawatiran akan munculnya hambatan-hambatan kreatifitas bagi para sineas nasional;
  3. RUU Perfilman lebih memberikan kualifikasi usaha perfilman yang lebih luas dengan menambahkan bidang penjualan dan penyewaan film serta pengarsipan film sebagai bagian dari usaha perfilman. Penambahan tersebut melengkapi bidang usaha perfilman lainnya yang juga telah sama diatur dalam UU 8/1992, yakni pembuatan film, jasa teknik film, ekspor film, impor film, pengedaran film, pertunjukan dan/atau penayangan film; (Pasal 8 ayat 2 RUU PERFILMAN). à dengan masuknya penyewaan film sebagai salah satu bidang usaha perfilman, pastinya akan berpengaruh terhadap konstelasi bisnis pemyewaan film di Indonesia, baik yang diselenggarakan oleh badan hukum maupun perseorangan. Sebagaimana diketahui, jika selama ini bidang usaha perfilman masih terlihat ”lepas” dari regulasi perfilman atau dengan kata lain, dalam penyelenggaraannya lebih berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum bisnis dan korporasi biasa, maka setelah disahkannya RUU Perfilman ini, para penyelenggara usaha penyewaan film harus senantiasa siap menyesuaikan diri dengan regulasi dan kebijakan pemerintah terkait kegiatan usahanya. Dan hal utama yang disinyalir akan cukup berpengaruh terhadap operasional kegiatan usaha penyewaan film ialah terkait dengan upaya pemerintah untuk menjadikan film-film nasional menjadi ”raja” di negerinya sendiri melalui langkah prioritas film nasional, serta tentunya yang berkaitan dengan tata edar film-film yang akan dijadikan ”bahan baku” penyewaan film tersebut. Poin terakhir tentunya juga tidak bisa dilepaskan dari eksistensi penyakit lokal musik dan film Indonesia, yakni pembajakan…!
  4. RUU Perfilman memuat ketentuan tentang kewajiban memprioritaskan film Indonesia dalam penyelenggaraan kegiatan perfilman dan usaha perfilman; (Pasal 10 RUU PERFILMAN) à Pada titik ini apa yang menjadi misi pemerintah melalui RUU Perfilman ini pada dasarnya sudah sangat baik, karena secara prinsip pemerintah ingin lebih meningkatkan lagi produktivitas film-film nasional, dan menjadikan para sineas Indonesia raja di dunia perfilmannya sendiri;
  5. RUU Perfilman memberikan pengaturan tentang larangan adanya kepemilikan bidang usaha perfilman yang dapat mengakibatkan adanya integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak. RUU Perfilman juga memberikan limitasi atas larangan tersebut; (Pasal 12 RUU PERFILMAN) à sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas perfilman nasional, pemerintah juga melakukan internalisasi regulasi anti monopoli dan persaingan yang tidak sehat dalam industri perfilman. Adanya ketentuan ini sedikit banyak didorong oleh adanya desakan dan problematika yang ada sebelumnya dari beberapa pelaku usaha perfilman, khususnya dalam bidang pertunjukan dan peredaran film yang memiliki kekuatan bisnis relatif kecil. Apabila ditinjau dari logika hukum materiil, pada dasarnya dimasukannya ketentuan anti monopoli dan persaingan tidak sehat dalam RUU tersebut telah memberikan suatu frame tersendiri bagi arah perkembangan perfilman nasional yang sehat, meskipun di sisi lain fakta telah menyebutkan bahwa tanpa adanya limitasi tersebut pun perfilman nasional telah mampu bangkit dan bahkan terus berkembang hingga kini;
  6. RUU Perfilman memberikan pengaturan tentang larangan bagi pelaku usaha pertunjukan film (bioskop), yakni berupa larangan mempertunjukan film dari hanya 1 (satu) pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; (Pasal 13 RUU PERFILMAN) à sama dengan poin penjelasan sebelumnya, apa yang tercantum pada ketentuan ini pada dasarnya sebuah bentuk manifestasi upaya pemerintah dalam mewujudkan iklim usaha dalam industri perfilman nasional yang sehat dan senantiasa dapat memacu perkembangannya. Dengan adanya ketentuan sebagaimana disebutkan, ke depannya tidak ada lagi rumah produksi film yang mendominasi suatu bioskop atau arena pertunjukan lainnya. Sebagaimana diketahui, di beberapa daerah yang belum terjangkau nilai-nilai ”metropolitan” masih ada production house atau rumah produksi film yang seolah-olah menguasai medan bioskop tersebut, seolah tidak terjangkau atau tidak perduli dengan adanya lalu lintas perfilman yang padat. Dan satu hal juga yang perlu diingat bahwa fenomena monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada sektor pertunjukan film ini juga tidak dapat dilepaskan dari praktek-praktek peredaran dan/atau distribusi film nasional, yang sebelum disahkannya RUU ini banyak menjadi permasalahan bagi pelaku usaha pertunjukan film kelas minor. Berdasarkan ketentuan baru dalam RUU Perfilman ini, maka ke depannya dipastikan pemerintah lebih mengambil peran dalam proses distribusi dan tata edar film-film nasional maupun impor tersebut. Dengan adanya peran pemerintah yang masiv tersebut, sepertinya pelaku-pelaku usaha pertunjukan film (bioskop) nasional kelas minor (dan umumnya di daerah) takkan lagi berteriak karena mereka merasa terpinggirkan dalam distribusi film nasional yang sebelumnya begitu dominan dikuasai oleh bioskop-bioskop kelas atas, seperti Cineplex/21 dan Blitz Megaplex;
  7. RUU Perfilman memberikan pengaturan tentang larangan bagi pelaku usaha pembuatan film, jasa teknik film, pengedaran film, pertunjukan film, penjualan dan penyewaan film, ekspor film, dan impor film untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain, memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; (Pasal 14 RUU PERFILMAN) à  Poin ini sebenarnya merupakan wujud konkrit respon dari pemerintah atas adanya keluhan monopoli distribusi dan pertunjukan film di bisokop-bioskop besar yang diajukan oleh kelompok pengusaha bioskop minor atau kelas menengah ke bawah.  Para kelompok bisokop minor yang umumnya kegiatan usahanya tidak terintegrasi dengan mall atau pusat perbelanjaan sudah lama mengeluhkan tentang pasokan film tersebut. Besarnya hegemoni cineplex (menyusul kemudian blitz) dalam distribusi film telah membuat banyak bioskop minor gulung tikar. Hal tersebut tidak lain terjadi karena ketiadaan regulasi yang mengatur tentang distribusi tersebut, sehingga secara tidak langsung para pengusaha biskop besar dan rumah produksi/produser telah saling nyaman dengan konstelasi mutualisme dari kedudukan bisnis keduanya di industri perfilman nasional, suatu hal yang ternyata berimbas buruk pada pengusaha bioskop minor. Dengan adanya rangkaian ketentuan sebagaimana diuraikan sebelumnya, diharapkan ke depannya pengaturan tentang distribusi tersebut akan mampu ’menyehatkan” kembali distribusi film nasional di seluruh Indonesia. Terlepas dari pengaturan legalistik itu semua, bahwa satu hal yang perlu diingat juga bahwa para sineas atau pelaku industri perfilman nasional yang sangat mengandalkan kreatifitas sebagai sumber daya utama mereka pasti merasa tidak nyaman dengan terlalu banyaknya aturan-aturan yang berpotensi membatasi kreatifitas mereka, dan itulah refleksi yang terjadi pada RUU Perfilman ini. Selain hal itu, patut juga dikritisi mengani tidak terdapatnya pasal dalam RUU Perfilman yang mengatur tentang hak pengelola bioskop untuk menolak ataupun menurunkan film yang kurang penonton, hal ini tentunya menjadi penting sebagai suatu upaya untuk menjaga konsistensi lalu lintas produksi dan kualitas perfilman itu sendiri tentunya;
  8. RUU Perfilman memberikan pengaturan yang berbeda dari UU 8/1992, dimana izin usaha perfilman, untuk  jenis usaha penjualan dan penyewaan film, pengarsipan film, dan/atau pertunjukan film yang dilakukan di dalam bioskop dan/atau di tempat yang diperuntukan bagi pertunjukan film, diberikan oleh Bupati atau Walikota. Sedangkan izin untuk bidang usaha lainnya, yakni pembuatan film, jasa teknik film, pengedaran film, ekspor film, dan/atau impor film tetap diberikan oleh Menteri; (Pasal 15 RUU PERFILMAN)
  9. RUU Perfilman memberikan pengaturan mengenai kerja sama antar pelaku usaha perfilman, antar pelaku kegiatan perfilman, dan/atau antara pelaku usaha perfilman dan pelaku kegiatan perfilman wajib dilakukan dengan perjanjian tertulis; (Pasal 16 RUU PERFILMAN) à Merupakan suatu bentuk progresivitas aspek hukum dalam industri perfilman sebagai bagian dari industri kreatif. Dengan adanya ketentuan tersebut telah membuat bisnis film nasional juga menjadi salah satu bidang bisnis yang sensitif akan hukum;
  10. Dalam hal pembuatan film, RUU Perfilman memberikan pengaturan bahwa dalam pelaksanaannya harus didahului dengan mengajukan pendaftaran pembuatan film kepada Menteri, yang disertai dengan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Yang mana pelaku usaha pembuatan film wajib melaksanakan pembuatan film dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pendaftaran. Adapun pendaftaran dimaksud dimaksudkan agar Menteri dapat melindungi pembuatan film agar tidak terjadi kesamaan judul dan isi cerita; (Pasal 18 RUU PERFILMAN) à  Pengaturan RUU Perfilman seputar izin yang harus disampaikan para pembuat dan pelaku film seperti harus mendaftar judul film sebagaimana dimaksud berpotensi menimbulkan permasalahan dalam penerapannya, ditambah lagi adanya potensi pertentangan dengan rezim hak atas kekayaan intelektual (merek dan hak cipta). Sejauh manakah kedudukan hukum pendaftaran judul dan isi cerita film sebagaimana dimaksud dalam aturan tersebut apabila dipersandingkan dengan pendaftaran merek dan hak cipta sebagai kekayaan intelektual? Bukankah menjadi rancu dalam penerapannya. Poin penambahan aturan yang bersifat birokratis ini disinyalir akan menjadi salah satu aturan yang cukup membuat para insan perfilman mengalami hambatan-hambatan dalam menerapkannya;
  11. RUU Perfilman juga secara konkrit telah mendeskripsikan mengenai kualifikasi insan perfilman. Hal mana yang dimaksud dengan insan perfilman ialah penulis skenario film, sutradara film, artis film, juru kamera film, penata cahaya film, penata suara film, penyunting suara film, penata laku film, penata musik film, penata artistik film, karyawan film, penyunting gambar film, produser film, dan/atau perancang animasi. Insan perfilman sebagaimana dimaksud mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan hukum mana yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang mencakup hak dan kewajiban para pihak; (Pasal 21 RUU PERFILMAN) à wujud langkah progresif dalam dunia perfilman nasional yang telah melakukan ekstensifikasi jangkauan subyek insan perfilman dan melindunginya di bawah rezim hukum perfilman nasional. Untuk poin pengaturan ini diyakini akan memberikan suatu atmosfer yang lebih kondusif bagi para insan perfilman nasional dalam mengembangkan bidang-bidang usahanya;
  12. Dalam hal pengedaran film, RUU Perfilman telah memberikan pengaturan bahwasanya pelaku usaha pengedaran film wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film untuk memperoleh film, begitu juga sebaliknya. Yang mana tata edar film dimaksud ditetapkan oleh Menteri; (Pasal 27 jo Pasal 29 RUU PERFILMAN) à Merupakan wujud lain ekstensifikasi peran pemerintah dalam mengatur perfilman nasional. Dengan diaturnya secara rigid dan definitif tata edar perfilman di tangan Manteri, diyakini hal ini akan semakin membebani dan memberikan limitasi bagi para insan perfilman dalam melakukan kegiatan dan usaha perfilmannya. Ketentuan ini semakin menegaskan peran yang dominan dari pemerintah dalam mengurusi operasional perfilman nasional, suatu keadaan yang sangat dikhawatirkan akan menghambat kreatifitas & produktivitas insan perfilman itu sendiri;
  13. RUU Perfilman juga menegaskan adanya kewajiban dari pelaku usaha pertunjukan film untuk mempertunjukan film Indonesia sekurang-kurangnya 50% dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya, kecuali dalam hal ketersediaan film Indonesia tidak cukup; (Pasal 32 RUU PERFILMAN) à ketentuan ini sangat menarik untuk dikaji. Di satu titik terlihat bahwa pengaturan ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan amanat dalam memprioritaskan film nasional sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Terlihat baik memang, karena ketentuan itu akan secara langsung, tegas, dan terang-terangan mendorong film nasional menguasai bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Tapi apabila ditinjau lebih mendalam, apa jadinya jika upaya tersebut dibakukan menjadi sebuah aturan atau standar minimal? Kekhawatiran yang mendasar dan paling utama ialah, adanya frekuensi produksi besar-besaran dari para produser nasional dengan dalih untuk memenuhi kuota minimal 50%. Bisa dibayangkan, trend film-film dewasa yang berbalut horror, film-film komedi dewasa, atau film-film kacangan dengan tema lain akan semakin merajalela. Atau dengan kata lain, produser-produser karbitan yang hanya mengejar uang dan menafikan kualitas dan moralitas karya seni sinematografi akan semakin menjamur, karena pada dasarnya lahan perfilman telah sangat terbuka untuk itu. Sudah banyak film-film kacangan dengan tema yang meleset (seks tapi mengaku horror) lahir di belantika film nasional. Proses produksi yang kurang dari 2 (dua) bulan, aktor dan aktris yang seadanya, jalan cerita dan tema yang entah kemana bisa jadi akan menjadi suatu budaya baru dalam perfilman nasional, atau dengan kata lain kualitas seni perfilman nasional berpotensi jatuh. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena pasar perfilman sudah tidak lagi merangsang proses produksi namun telah menjebak para insan perfilman Indonesia;
  14. Dalam hal pengarsipan film sebagai bagian dari kegiatan perfilman dan usaha perfilman, RUU Perfilman telah mengatur bahwa salah satu kopi film dari setiap film disimpan sebagai arsip paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal terakhir film dipertunjukan; (Pasal 40 RUU PERFILMAN) à sebuah bentuk pengadministrasian dan pengarsipan yang efektif dari pemerintah untuk senantiasa melestarikan perfilman nasional;

HAK DAN KEWAJIBANfilm law

  1. RUU Perfilman memberikan suatu pengaturan khusus dalam satu BAB mengenai Hak dan Kewajiban, dimana di dalamnya terkandung materi seputar hak dan kewajiban masyarakat, hak dan kewajiban insan perfilman, serta hak dan kewajiban pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman; (Pasal 46 – Pasal 51 RUU PERFILMAN) à sebuah bentuk perluasan pengaturan perfilman bagi masyarakat dan insan perfilman. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan para subyek perfilman nasional telah memiliki frame masing-masing dalam melakukan peranannya di perfilman nasional.

TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH

  1. Selain itu RUU PERFILMAN juga memberikan pengaturan khusus tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dimana secara umum disebutkan bahwa Pemerintah memiliki tugas menyusun, menetapkan, dan mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional serta memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman. Yang mana dalam pelaksanaannya di tingkat daerah diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah; (Pasal 53 RUU PERFILMAN) à           RUU Perfilman telah memberikan pengaturan yang mengharuskan pemda untuk berpartisipasi dalam menyediakan fasilitas mendukung berkembangnya perfilman daerah melalui dana APBD. bahwa pembangunan perfilman dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah, mulai dari perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan kekhawatiran sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa apabila semua diatur oleh pemerintah, industri film nasional akan kehilangan kreativitasnya. Selain itu ketentuan-ketentuan dalam RUU Perfilman yang mengatur mulai dari perizinan bioskop, perencanaan film hingga penyelenggaraan dan pengawasannya, serta tata edar film berpotensi menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di tingkat pemerintah daerah;

SENSOR FILM

  1. Sebagaimana UU 8/1992, RUU PERFILMAN juga memberikan pengaturan yang senada tentang Sensor Film, bahkan dalam ketentuannya (BAB VI), RUU Perfilman lebih memberikan pengaturan yang lebih komprehensif tentang kedudukan Lembaga Sensor Film sebagai lembaga yang bersifat tetap dan independen; (Pasal 54 – Pasal 61 RUU PERFILMAN) à salah satu hal yang masih juga dikritisi oleh para pelaku film nasional ialah eksistensi sensor dan Lembaga Sensor Film. Para sineas berpandangan bahwa sensor film telah menghambat kreatifitas dan produktivitas karya-karya perfilman mereka. Sebagaimana diketahui bahwa, umumnya di negara-negara demokrasi, sensor dan lembaga sensor memang relatif minor peranannya bahkan ditiadakan. Atas dasar itulah para sineas berpegangan bahwa mereka tidak lagi membutuhkan sensor dan lembaga sensor film di Indonesia, biarlah pihak yang memproduksi dan masyarakat selaku penikmat film yang melakukan self-sensor atas film tersebut. Atas pandangan tersebut, pemerintah masih bersikeras bahwasanya sensor dan lembaga sensor itu masih sangat dibutuhkan, terlebih untuk negara timur seperti Indonesia;
  2. RUU Perfilman juga menambahkan kewenangan bagi Lembaga Sensor Film untuk dapat mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan tentang larangan content film dan penggolongan usia; (Pasal 57 ayat 4 RUU PERFILMAN) à ketentuan ini justru disinyalir akan semakin memperkuat eksistensi lembaga sensor film dan menempatkan para insan perfilman seolah sebagai target hukuman, dan hal ini dikhawatirkan kembali menjadi suatu potensi yang mampu mematikan kreatifitas para sineas film nasional;

PERAN SERTA MASYARAKAT

  1. RUU Perfilman memberikan pengaturan seputar peran serta masyarakat yang lebih luas dari ketentuan peran serta masyarakat yang tercantum dalam UU 8/1992. Pengaturan yang lebih luas tersebut dapat dilihat pada ketentuan tentang bentuk-bentuk peran serta masyarakat, adanya Badan Perfilman untuk meningkatkan peran serta masyarakat, serta kedudukan, tugas, dan pembiayaan Badan Perfilman tersebut; (Pasal 62 – 65 RUU PERFILMAN)

PENGHARGAAN

  1. RUU Perfilman juga memberikan pengaturan seputar penghargaan perfilman, dimana disebutkan bahwa setiap film, insan perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan pelaku usaha perfilman yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan perfilman diberi penghargaan; (Pasal 66 dan 68 RUU PERFILMAN) à Dengan adanya ketentuan ini, Pemerintah semakin mendorong adanya apresiasi yang efektif bagi seluruh subyek film dan karya film yang berprestasi;

film 1 fixedSTANDAR KOMPETENSI DAN SERTIFIKASI

  1. RUU Perfilman mengatur bahwa setiap insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi. Yang mana standar kompetensi sebagaimana dimaksud dilakukan melalui sertifikasi kompetensi oleh organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau perguruan tinggi; (Pasal 68 RUU PERFILMAN) à selaras dengan bidang-bidang seni dan non-seni lainnya, ketentuan ini diharapkan mampu meningkatkan secara signifikan kualitas-kualitas dalam perfilman nasional, baik itu kualitas para sineasnya maupun karya yang dihasilkan oleh sineas tersebut;

PENDANAAN

  1. RUU Perfilman mengatur bahwa pendanaan perfilman menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pelaku Kegiatan, Pelaku Usaha, dan Masyarakat. Dengan sumber pendanaan yang telah ditentukan definitif; (Pasal 69 – 71 RUU PERFILMAN)

SANKSI ADMINISTRATIF

  1. RUU Perfilman juga menambahkan ketentuan seputar sanksi administratif, yakni yang berupa teguran tertulis, denda administratif, penutupan sementara, dan pembubaran/pencabutan izin;

SANKSI PIDANA

  1. Sebagaimana UU 8/1992, RUU Perfilman juga memberikan pengaturan seputar sanksi pidana. Bahkan RUU Perfilman juga menambahkan beberapa ketentuan pidana, diantaranya tentang tindak pidana oleh pelaku usaha pembuatan film atau peredaran film atau film impor tertentu yang melebihi 50% jam pertunjukannya yang mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain itu juga terdapat ketentuan sanksi pidana bagi pelaku usaha perfilman yang membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; (Pasal 75 RUU PERFILMAN)
  2. selain itu RUU Perfilman juga memberikan pengaturan seputar tindak pidana perfilman yang dilakukan oleh atau atas nama korporasi berikut dengan uraian unsur-unsur tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korporasi; (Pasal 76 jo 77 RUU PERFILMAN)

KETENTUAN PERALIHAN DAN KETENTUAN PENUTUP

  1. RUU Perfilman menyebutkan bahwa pada saat UU Perfilma yang baru berlaku, anggota lembaga sensor film yang telah ada yang dibentuk berdasarkan UU 8/1992 beserta peraturan pelaksanaannya tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya Lembaga Sensor Film. Yang mana Lembaga Sensor Film sebagaimana dimaksud harus sudah dibentuk paling lama 18 bulan sejak UU Perfilman yang baru diundangkan; (Pasal 78 – 79 RUU PERFILMAN)
  2. RUU Perfilman juga menyebutkan bahwa pada saat UU Perfilman yang baru berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU 8/1992 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UU Perfilman yang baru;(Pasal 80 RUU PERFILMAN)

Secara keseluruhan RUU Perfilman mengandung 31 pasal yang mengatur tata niaga dan perizinan dan mengatur sebanyak 18 pasal pidana dan sanksi. Suatu pengaturan yang dinilai tidak berimbang dalam tujuannya memajukan perfilman nasional. Terlalu banyaknya ketentuan pidana seolah mendudukan para sineas sebagai target sanksi, yang kapan saja dapat dijerat oleh berbagai aturan pidana yang terdapat dalam RUU Perfilman tersebut. Dan hal tersebut pastinya akan berdampak secara sinergis dengan produktivitas dan kreatifitas para sineas itu sendiri. Ditambah lagi dengan adanya pengaturan tata niaga, perizinan dan tata edar film yang sangat dominan oleh pemerintah, semakin lengkaplah limitasi-limitasi yang pemerintah ciptakan untuk perfilman nasional, semoga saja tidak lantas mematikan nadi perfilman nasional yang tengah semangat untuk kembali berkembang;

Published in: on September 10, 2009 at 1:15 pm  Leave a Comment  

[LEGAL TIPS] Apakah yang seharusnya dilakukan saat kena tilang?

polantas

  1. Apabila anda ditilang oleh Polisi lalu lintas, maka sesungguhnya anda memiliki hak untuk memilih 2 (dua) jenis form, yakni form biru dan form merah;
  2. Form biru ialah form yang diperuntukan apabila anda menerima kesalahan/pelanggaran lalu lintas sebagaimana yang dituduhkan oleh si Polisi Lalu Lintas. Sedangkan Form merah dipergunakan apabila anda tidak menerima/mengakui kesalahan/pelanggaran lalu lintas yang anda lakukan. Namun terlepas dari 2 (dua) jenis form tersebut, hal mendasar yang harus anda yakinkan terlebih dahulu ialah apakah anda benar-benar telah melakukan pelanggaran, akui saja jika memang anda melanggar, namun tetap waspada dengan adanya ”penjebakan” secara struktural alias mencari-cari kesalahan anda;
  3. Form biru ini dapat dipergunakan dengan mekanisme anda membayar denda sebagai kompensasi pelanggaran yang telah anda lakukan di BRI yang ditunjuk (lokasi BRI kasuistis). Dengan melakukan mekanisme ini maka uang denda pelanggaran anda akan masuk ke kas negara bukan ke kantong Bapak-Bapak Polisi itu alias sebagai bahan korupsi kecil-kecilan. Mekanisme tersebut dapat dilakukan sebaagai berikut, setelah anda membayar denda sebagaimana dimaksud maka anda dapat mengambil SIM atau STNK yang sebelumnya disita oleh Polisi yang bersangkutan, adapun lokasi pengambilannya ialah di kantor Ditlantas POLDA Metro yang terletak di daerah Pancoran. Namun dari beberapa info yang saya peroleh, konon pengambilan SIM atau STNK yang disita itu dapat langsung dilakukan di Pos Polisi setempat (lokasi penilangan), sejauh memang SIM atau STNK anda belum “diproses” ke kantor Dislantas, tapi saya kurang yakin apakah cara yang saya sebutkan terakhir ini merupakan standar prosedural, namun yang pasti meskipun langkah ini dilakukan jangan sampai memicu timbulnya “biaya-biaya tak terduga” alias korupsi jilid II;
  4. Hati-hati terhadap oknum Polisi lalu lintas yang menyatakan secara represif kepada anda bahwa form biru itu sudah tidak berlaku, hal ini mereka lakukan dalam upayanya untuk tetap mendapatkan “bagian” dari uang tilang yang mereka harapkan. Jangan mudah tertipu, karena sebenarnya slip biru sebagaimana dimaksud tetap berlaku, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Kepala Direktorat Lalu Lintas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Yudi Susharyanto dengan berdasar pada Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April 1998 (SK 1998);
  5. Dalam penggunaan form merah, maka langkah yang harus ditempuh ialah menghadapi proses persidangan di muka hakim, tapi proses ini bukan layaknya persidangan sebagaimana umumnya, tapi dengan proses persidangan acara cepat sebagaimana ketentuan Pasal 212 KUHAP, dimana tidak diperlukan BAP. Dalam persidangan sebagaimana dimaksud anda dapat membela diri dan memperdebatkan tuduhan pelanggaran lalu lintas yang ditujukan kepada anda (tapi umumnya sich jarang, biasanya langsung bayar denda aja);
  6. Umumnya tanggal sidang adalah maksimum 14 hari dari tanggal peristiwa penilangan, tergantung hari sidang Tilang di PN (Pengadilan Negeri) bersangkutan. Oleh polisi, barang sitaan (SIM or STNK) akan disetor dari kantor Ditlantas pancoran itu sampai dengan H-1 tanggal sidang. Sehingga selama masih di Ditlantas POLDA Metro SIM/STNK itu dapat ditebus tanpa sidang ke PN, cukup dengan menuju loket dengan menyerahkan form merah yang diikuti dengan pembayaran denda anda, maka kemudian SIM/STNK anda akan kembali dengan sukses;
  7. 1 (satu) hari sebelum tanggal sidang dan seterusnya, SIM/STNK sudah beralih ke pengadilan sesuai daerah kompetensi peristiwa pelanggaran, sehingga anda harus menebus di Pengadilan Negeri dimaksud;
  8. Apabila anda ingin menghadiri persidangan sebagaimana yang telah dijadwalkan, maka anda dapat merujuk pada tanggal yang tertera pada surat tilang yang anda terima. Sebagai catatan, dalam prakteknya pelaksanaan sidang dimaksud itu tidaklah protokoler, melainkan Hakim Cuma menyebutkan nama dan mengetuk palu setelah menetapkan denda, hal ini didasarkan pada asas beracara In Absentia, yakni tidak memerlukan kehadiran pihak yang didakwa melakukan pelanggaran. Dan sesuai dengan “culture” negara ini, dalam konteks-konteks seperti itu pasti ada saja calo yang menawarkan bantuan untuk menyelesaikan dengan “cara cepat”, sehingga sebenarnya secara keseluruhan proses ini cukup makan waktu, biaya, dan emosi juga, jadi sebaiknya difikir-fikir terlebih dahulu untuk menempuhnya;
  9. Untuk menghindari proses yang maha rumit itu, ada baiknya anda mengabaikan tanggal sidang, namun menghadirinya di lain hari yang anda anggap relatif lebih “sepi”, dengan cara menuju loket khusus tilang di PN yang ditunjuk, maka setelah denda itu anda bayar, kemudian SIM/STNK yang sebelumnya disita akan kembali ke tangan anda;
  10. Hal lain yang patut untuk dicermati ialah mengenai denda resminya, karena biasanya nanti akan disodorkan angka yang sedikit ganjil, seperti Rp. 27.200, seolah itu berasal dari sebuah hitung-hitungan yang baku, padahal dari beberapa info yang saya peroleh, official fine-nya tidak lah seperti itu, biasanya dalam angka bulat (tergantung pelanggaran), seperti contoh Rp. 15.000, Rp. 20.000, Rp. 25.000. biasanya, denda yang disodorkan pada anda itu di-mark up, yang mana selisihnya masuk kantong pribadi (selalu ada aja celah untuk dikorup);
  11. Dari uraian di atas sepertinya cukup jelas, sehingga apabila nanti ada bertemu dengan kasus penilangan, janganlah terjebak dengan apa yang dikenal dengan tajuk “damai”, atau biasanya polisi akan memberikan 2 (dua) opsi: “mau sidang langsung atau sidang titip?’ yang mana sesungguhnya sidang titip itu ialah menitip uang ke kantong mereka namun tidak disetorkan ke kas negara, karena sesungguhnya konsep “titip” yang mereka maksud saja sudah sangat “blur” alias tidak sama dengan kuasa khusus sebagaimana yang disyaratkan dalam Hukum Acara yang berlaku. Sehingga baiknya ikuti aja prosedur yang ada dengan menempuh langkah-langkah sebagaimana tips yang diuraikan di atas. Dengan begitu anda akan turut membantu “menyehatkan” kembali alur pemasukan untuk negara ini dan ikut berpartisipasi pemberantasan tindak pidana korupsi di skala yang kecil, biarlah korps kepolisian memulihkan reputasinya dengan cara yang memang benar-benar tepat;

 

Selamat Mencoba…
Halaman 18, Buku Petunjuk Teknis Tentang Penggunaan Blanko Tilang (Lampiran SKEP KAPOLRI Skep/443/IV/1998) 

Terdakwa:

  1. Menandatangani Surat Tilang (Lembar Merah dan Biru) pada kolom yang telah disediakan apabila menunjuk wakil di sidang dan sanggup menyetor uang titipan di Bank yang ditunjuk.
  2. Menyetor uang titipan ke petugas khusus bila kantor Bank (BRI) yang ditunjuk untuk menerima penyetoran uang titipan terdakwa (pelanggar-red) tutup, karena hari raya/libur, dan sebagainya.
  3. Menyerahkan lembar tilang warna biru yang telah ditandatangani/dicap petugas kepada penyidik yang mengelola barang titipan tersebut.
  4. Menerima tanda bukti setor dari petugas khusus (Polri) apabila peneyetor uang tititpan terpaksa dilakukan diluar jam kerja Bank (BRI).
  5. Menerima penyerahan kembali barang titipannya dari penyidik/petugas barang bukti/pengirim berkas perkara berdasarkan bukti setor dari petugas khusus atau lembaran tilang warna biru yang telah disyahkan oleh petugas Bank (BRI).
  6. Menerima penyerahan barang sitaannya dari petugas barang bukti setelah selesai melaksanakan vonis hakim (dengan bukti eksekusi dari Eksekutor/Jaksa dan melengkapi kekurangan-kekurangan lainnya (SIM, STNK/kelengkapan kendaraan)  (bila memilih sidang).
Published in: on May 14, 2009 at 1:30 pm  Comments (2)  
Tags: , , , , , ,

SEBUAH CATATAN TENTANG PLAGIARISME KARYA CIPTA LAGU: Benarkah D’Masiv Band Plagiat?

d'masiv24 April 2009, bertempat di Balai Sarbini Plaza Semanggi, Setelah membacakan para Nominator, dengan lantang lalu diumumkanlah “Kategori Album Terbaik 2009 adalah……..”The Special One” YOVIE & NUNO…!!!” Segeralah Yovie Widianto, Dudi, Dikta, dan Diat segera naek ke atas panggung untuk menerima penghargaan tersebut, hingga kemudian Yovie, sang leader mengucap seraya kaget melihat trophy:”Ini bener Anugerah Musik Indonesia kan? Bukan anugerah musik Melayu…?” sebuah sindiran yang cukup menghenyakkan seisi gedung (terlebih ST 12, yang sebelumnya didaulat sebagai Band Terbaik 2009, mengalahkan Yovie & Nuno). Tak berhenti di situ, di kesempatan lain, dengan venue yang sama, Yovie kembali berujar: “yang terpenting ialah kami mampu menghasilkan karya yang orisinil dan tidak menjadi Band Plagiat”. Dua “scene” itu merupakan bagian dari sebuah rutin besar, bahkan mungkin yang terbesar dalam ranah Musik di Indonesia, yakni Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2009. Dua sindiran yang dilontarkan oleh Yovie Widianto sebagai musisi kawakan malam itu sepertinya cukup menutup megahnya pagelaran acara dengan tembakan-tembakan sindiran yang sesungguhnya sudah sangat sering ia lemparkan sebelum bahkan sesudah ajang tersebut, dan tersangkanya ialah satu: D’Masiv, band pendatang baru yang menuai sukses dalam debutnya. Pertanyaannya, benarkan yang dilakukan oleh D’Masiv merupakan salah satu bentuk plagiasi karya musik? Sepertinya untuk menilai hal tersebut tak semudah melemparkan tudingan layaknya yang dilakukan oleh Yovie.

Sesungguhnya bukan hanya Yovie Widianto yang menuding Band D’Masiv sebagai plagiator, banyak insan musik hingga media yang turut memojokan D’Masiv sebagai band peniru lagu-lagu musisi luar negeri, meskipun tidak se-intens dan se-pedas tudingan-tudingan Yovie, yang membuat saya takjub, koq bisa ya seniman melemparkan tudingan sporadik semacam itu? Berjuang atas nama orisinalitas kaum atau iri dengan kesuksesan Band-band fresh yang melesat bak Apollo 11?

Plagiarisme Dalam Hukum Indonesia

Untuk melakukan “eksaminasi” terhadap fenomena tersebut, maka hal yang pertama yang harus didudukan ialah bagaimanakah plagiarisme musik itu diatur dalam hukum Republik ini. Banyak insan musisi hingga pengamat musik macam Bens Leo yang mengatakan bahwa sebuah lagu dikatakan meniru/menjiplak karya lagu yang lain apabila memiliki kesamaan hingga 8 bar. Namun satu yang pertanyaan yang kemudian muncul ialah dari manakah aturan 8 bar itu timbul? Karena segala peraturan di negara ini, dari mulai UU Hak Cipta hingga berbagai kode etik tidak menyebutkan hal itu. UU Hak Cipta hanya menyebutkan pelarangan pengeksploitasian, pengumuman, maupun perbanyakan karya cipta (termasuk lagu) yang setidaknya memenuhi persyaratan memiliki kesamaan pada pokoknya. Apakah lagu-lagu D’Masiv memang telah memenuhi ketentuan tersebut (persamaan pada pokoknya)? Saya bukan musisi ataupun Masiver (sebutan para fans D’Masiv), tapi saya akan coba melakukan telaah lebih mendalam dari bidang yang saya kuasai, yakni legalitas sebuah “tudingan publik” pada fenomena tersebut. Benarkan D’Masiv band plagiat?

Setidaknya terdapat 8 lagu D’Masiv yang diduga merupakan plagiat dari Band-Band Internasional. Berikut lagu-lagu dimaksud:

1).     Cinta Ini Membunuhku = I Don’t Love You – My Chemical Romance

2).     Diam Tanpa Kata = Awakening – Switchfoot

3).     Dan Kamu = Head Over Heels (in This Life) – Switchfoot

4).     CInta Sampai di Sini = Into The Sun – Lifehouse

5).     Sebelah Mata = The Take Over, The Break’s Over – Fall Out Boy

6).     Dilema = Soldier’s Poem – Muse

7).     Tak Pernah Rela = Is It Any Wonder – Keane

8).     Lukaku = Drive – Incubus

 

Setelah saya mencoba melakukan perbandingan dengan mendengarkan lagu-lagu tersebut secara bergantian, dan kesimpulan saya ialah iya, memang ada persamaan, yang mana persamaan pada lagu-lagu yang ditudingkan tersebut umumnya terdapat pada intro lagu, bahkan kemiripannya sangat kental pada lagu “Cinta Ini Membunuhku” yang diduga mencontek lagu “I Don’t Love You”-nya My Chemical Romance serta pada lagu “Cinta Sampai Di Sini” yang diduga mencontek lagu “Into The Sun”-nya Lifehouse. Meskipun memiliki kemiripan pada intro, namun tidak pada keseluruhan/pokoknya atau bahkan reff lagunya yang seringkali menjadi inti popularitas sebuah lagu. Sehingga saya dapat katakan, lagu-lagu D’Masiv tidak terasosiasikan dengan lagu-lagu band luar yang ditudingkan alias tidak memiliki kesamaan pada pokoknya dengan lagu-lagu yang ditudingkan tersebut, dimana apabila kita hilangkan/ganti intro dengan not yang lain tidak serta merta akan menggubah reff atau inti lagu-lagu tersebut, terkecuali apabila kunci dasar yang dimainkan memang sama mutlak, dari awal hingga akhir, namun saya tidak menemukan kesamaan ekstrim seperti itu. Ketika mendengar lagu “Cinta Ini Membunuhku” (meskipun mirip) namun saya tidak lantas teringat pada “I Don’t Love You”-nya MCR, karena memang kesamaannya hanya pada intro-nya saja, tidak pada kunci dasar, pokok atau “jiwa” dari lagu-lagu tersebut, dimana not selanjutnya jelas berbeda, dan itu terjadi di hampir semua dugaan kemiripan lagu-lagu D’Masiv. So, sense otak kanan saya tidak menyatakan itu plagiasi.

Menurut saya, justru lebih menarik untuk mengeksaminasi lagu “Perempuan Yang Paling Cantik Di Negeriku Indonesia”- Dewa 19 yang diduga memiliki kemiripan dengan lagu “Kekasih Yang Tak Dianggap”- Kertas (terakhir dibawakan oleh Pinkan Mambo) serta “Change The World” yang merupakan OST. Inuyasha yang dibawakan oleh sebuah Band Jepang, dimana ketiga lagu tersebut memiliki kesamaan yang cukup jelas pada reff, yang merupakan bagian sentral dari sebuah lagu. Atau pada contoh kasus kemiripan lain, yakni “Bukan Superstar” yang dibawakan oleh Project Pop yang diduga mencontek lagu Kangen Band yang berjudul “DOY”. Bahkan Gumilar alias Gugum Project Pop pun tidak menafikan jika lagu yang diciptakannya tersebut mirip dengan DOY-nya Kangen Band, dan dia hanya mengatakan bahwa ialah sebuah kewajaran sebuah lagu memiliki kemiripan, itu yang namanya terinspirasi, asalkan tidak benar-benar mencontek. Belum lagi lagu “Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki” -Sheila on 7 yang memiliki kemiripan dengan lagu lawasnya Cat Stevens yang berjudul “Father and Son”. Menurut saya kasus-kasus sebagaimana disebutkan itu jauh lebih sensitif kemiripannya dibanding dengan karya-karya lagu D’Masiv, namun entah kenapa Yovie dan pihak-pihak lainnya banyak yang memojokan D’Masiv seraya membentuk opini publik bahwa D’Masiv merupakan band plagiat. Apakah hanya karena banyak (8 lagu dalam satu album) yang memiliki kesamaan, yang sesungguhnya pun hanya pada bagian kecil dan bukan “core song”?

Definisi Plagiarisme

Baiknya lagi kita perlu menyimak terlebih dahulu apa itu plagiarisme yang plagiat“hidup” di dunia musik internasional. Blacks Law Dictionary memberikan definisi plagiarism sebagai Tindakan meniru komposisi liteatur atau bahagian dari atau kutipan pendek dari tulisan atau ide-ide atau bahasa-bahasa yang sama dan menjadikannya sebagai hasil pemikiran sendiri, bila material ini dilindungi Hak Cipta, maka tindakan-tindakan tersebut merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta. Sedangkan Wikipedia memberikan definisi bahwa plagiarisme musik adalah penggunaan atau proses imitasi yang dilakukan pencipta lagu lain dan menyajikannya kembali sekaligus mengklaimnya sebagai karya asli sendiri.

Satu hal yang perlu diingat dalam plagiarisme ialah mengenai adanya kemiripan alamiah, yakni kemiripan yang murni lahir secara alamiah dan naluriah akal manusia tanpa adanya pengaruh dari luar pemikirannya. Bisa saja 2 (dua) orang menciptakan sebuah karya lagu yang memang memiliki kunci dasar sama baik di waktu yang sama ataupun beda tanpa adanya pengaruh satu sama lain, hal yang seperti itu tidak bisa diperbataskan oleh undang-undang. Meskipun demikian, kemiripan alamiah tidak serta merta dapat dijadikan “tameng” terhadap adanya dugaan suatu tindakan plagiat, apabila ada dugaan plagiarisme sebagaimana dimaksud, maka yang perlu dibuktikan terlebih dahulu ialah access factor  (faktor akses) dari si pencipta lagu terhadap lagu yang telah lahir terlebih dahulu yang diduga sebagai lagu yang diconteknya. Sejauh mana si pencipta lagu yang dituding plagiat memiliki akses yang cukup terhadap lagu yang dianggap mirip tersebut. Apabila faktor akses telah terpenuhi dan ditambah dengan adanya indikasi kemiripan lagu melalui identifikasi telinga, maka cukuplah kiranya hal tersebut untuk dijadikan dugaan awal terjadinya sebuah plagiarisme karya cipta lagu. Namun eksaminasi sebuah dugaan plagiarisme karya cipta lagu tidak selesai pada titik itu, pada tingkat yang lebih formal legalistik harus dibuktikan beberapa elemen substansial yang terdapat pada karya cipta lagu tersebut. apa sajakah elemen dimaksud?

Robert C. Osterberg dan Eric C. Osterberg dalam bukunya “Substansial Similarity In Copyright Law” menyatakan bahwa “Substantial similarity in music may be found through an examination of any of a large array of elements including melody, harmony, rhythm, pitch, tempo, phrasing, timbre, tone, spatial organization, consonance, dissonance, accents, basslines, new technological sounds dan overall structure”. Dari uraian tersebut telah jelas bahwa untuk mengidentifikasi sebuah plagiarisme karya lagu ialah tidak semudah yang dibayangkan dan tidak sesederhana hanya menyatakan ukuran 8 bar (bahkan saya pun ragu lagu-lagu D’Masiv apakah memang memenuhi ketentuan 8 bar tersebut). Melodi, harmoni, rithem, pitch, tempo, penyusunan kata-kata, warna nada, nada, pengaturan spasial, konsonan, kejanggalan bunyi, aksen, bassline, serta struktur dan teknologi suara baru merupakan elemen-elemen yang perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk mendapatkan suatu simpulan plagiarisme karya cipta lagu. Begitu banyak elemen identifikasi yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah pada sebuah lagu terdapat persamaan pada pokoknya (substantial similarity) atau tidak, sehingga untuk menentukan sebuah lagu itu memiliki persamaan pada pokoknya dengan lagu lain ialah sebuah hal yang kompleks, terlebih di negara ini belum ada sebuah bentuk pengaturan yang konkrit tentang plagiarisme karya lagu sebagaimana dimaksud.

Kasus Joe Satriani vs Coldplay

Sebagai perbandingan konkrit ialah pada perkara Joe Satriani vs Coldplay, dimana Joe Satriani menuding Chris Martin cs telah menjiplak lagunya yang telah lahir terlebih dahulu yang berjudul “If I Could Fly” pada lagu “Viva La Vida” yang dirilis oleh Coldplay dan cukup menuai kesuksesan. Adapun perkara tersebut tengah diproses di Pengadilan Federal Los Angeles, Amerika Serikat. Perkara tersebut memang dapat menjadi sebuah refleksi yang konkrit dari pembahasan ini, dimana memang dugaan kemiripan itu ada pada bagian inti lagu yang menjadi not dasar lagu, yakni bagian Chorus dari “If I Could Fly” bahkan memiliki struktur melodi, harmoni dan rhythm yang sama dengan “If I Could Fly”. Bagi orang awam seperti saya, sekilas yang terdengar pada melodi vokal Chris Martin memang sangat identik dengan melodi gitar Joe Satriani, sehingga saat mendengar lagu “Viva La Vida” kita akan lantas teringat (terasosiasikan) dengan lagu ”If I Could Fly”, ilustrasi “keteringatan” atau kemiripan pada persamaan pada pokoknya sebagaimana dimaksud merupakan syarat mutlak untuk terbuktinya sebuah plagiarisme karya cipta lagu.

Dengan demikian, di tengah ketiadaan perangkat hukum yang mumpuni dan tegas dalam mengaturnya, maka tidaklah arif (apalagi untuk seorang seniman/musisi) untuk melakukan tudingan-tudingan sporadik terhadap sebuah Band yang dituding plagiat, biarlah masyarakat yang menilai. Kalau memang masyarakat suka, ya biarkanlah masyarakat menikmati rasa sukanya, sejauh memang kemiripan-kemiripan itu tidak jatuh pada ketentuan persamaan pada pokoknya (substantial similarity). Bahkan rocker gaek Ahmad Albar pernah berujar bahwa biarkan saja ada Band Plagiat, karena memang negeri ini negeri plagiat. Ada betulnya memang, jangan sampai semakin sering orang berteriak (seperti Yovie) tentang plagiarisme sempit justru akan semakin mempersempit jarak antara plagiarisme dengan inspirasi, sebagai catatan, inspirasi ialah “oksigen” bagi musisi dalam menciptakan sebuah karya lagu. Kalau itu sampai terjadi, hancurlah dinamika musik dalam negeri. Dewa 19 yang mengorbit pada Queen, Nidji pada Coldplay, The Fly pada U2, Saint Loco pada Linkin Park, Netral pada Blink 182 dan banyak yang lainnya pastinya akan kelimpungan menerima dampaknya. Belum lagi band-band pendatang baru yang justru mengorbit pada band-band lokal sendiri, pasti akan lebih sensitif mengundang kekisruhan, Bahkan jika memang tudingan-tudingan murahan tentang plagiarisme lagu semakin gencar didengungkan tanpa dasar, maka akibatnya ialah mungkin akan muncul tudingan-tudingan plagiarisme lagu seperti ini:

Ari Lasso (Tulus) => Bryan Adams (When You Love Someone)

BIP (1000 Puisi) => U2 (I Still Haven’t Found What I’m Looking For)

Boomerang (Gadis Extravaganza) => Guns N Roses (Welcome To The Jungle)

Caffeine (Tiara) => U2 (Stay)

Dewa (Arjuna Mencari Cinta) => U2 (I Still Haven’t Found What I’m Looking For) + The Police (Roxanne)

Dewa (Pangeran Cinta) => Led Zeppelin (Immigrant Song)

Dewa (Hadapi Dengan Senyum) => Queen (Let Us Cling Together)

Ratu (Lelaki Buaya Darat) => Chantal Kreviazuk (Another Small Adventure)

Sheila On 7 (Karna Aku Setia) => Oasis ((What’s The Story) Morning Glory)

Sheila On 7 (Kita) => Blur (Coffee & TV)

Sheila On 7 (Percayakan Padaku) => The Beatles (Blackbird)

Sheila On 7 (Saat Aku Lanjut Usia) => The Beatles (When I’m Sixty Four)

Sheila On 7 (Seandainya) => Blur (No Distance Left To Run)

Sheila On 7 (Temani Aku) => Oasis (She’s Electric

Sheila On 7 (Tunggu Aku Di Jakarta) => Oasis (Champagne Supernova)

Titi DJ (Bahasa Kalbu) => Nikka Costa (First Love)

Titi DJ (Sang Dewi) => Garbage (The World Is Not Enough)

Anda (Tentang Seseorang) => Coldplay (Don’t Panic)

Bondan (Bunga) => Mel C (Never Be The Same Again)

Caffeine (Hidupku Kan Damaikan Hatimu) => Saigon Kick (I Love U)

Diah Iskandar (Surat Undangan) => The Jackson Five (I’ll Be There)

Dewa (Satu Sisi) => Duran-Duran (Save A Prayer)

Dhani & Chrisye (Jika Surga Dan Neraka) => Portishead (Glorybox)

Element (Kupersembahkan Nirwana) => Theme 007
Glenn Fredly (Cinta Silver) => Bachelor Number One (Dream I’m In)

J-Rocks (Hampir Semua Lagunya) => Lagu-lagu L’Arc~en~Ciel

Krisdayanti (Cobalah Untuk Setia) => Penny Taylor (Total Eclipse Of My Heart)

Melly (Ada Apa Dengan Cinta => Mono (Life In Mono)

Melly (Demikianlah) => Blink 182 (First Date)

Melly (Dunia Milik Berdua) => Avril Lavigne (Sk8er Boi)

Melly (Ku Bahagia) => Shades Apart (Stranger By The Day)

Melly (Tak Tahan Lagi) => T.A.T.U (Not Gonna Get Us)

Pas Band (Biarlah & Kumerindu) => The Nixons (Sister)

Peterpan (Ada Apa Denganmu) => U2 (Bad) & Simple Plan (Every Time)

Peterpan (Di Atas Normal) => Muse (Jimmy Cane)

Potret (17 tahun) => The Cardigans (Carnival)

Potret (Bagaikan Langit) => Weezer (The Good Life)

Potret (Diam) => Weezer (Say It Ain’t So)

Potret (Jadi Kekasihku) => Ligthning Seeds (Lucky You)

Potret (Mak Comblang) => Supergrass (Alright)

Radja (Jujur) => The Radios (Teardrops)

Radja (Tulus) => Stevie Wonder (Lately)

Saint Loco (Microphone Anthem) => RUN DMC (Me Myself And Microphone)

Seurieus (Rocker Juga Manusia) => Queensryche (Silent Lucidity)

Sheila On 7 (Berhenti Berharap) => Steel Heart (Mama Don’t Cry)

T-Five (MIRc) => House Of Pain (Jump Around)

Published in: on May 13, 2009 at 10:47 am  Comments (15)  
Tags: , , , , , , , , ,

Tugas dan Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Otoritas KPI dalam Pengawasan Penyiaran

tv-kpiEksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat (UU Penyiaran, pasal 8 ayat 1). Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU Penyiaran, pasal 7 ayat 2). Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution.

Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.

 

RESUME KEWENANGAN, TUGAS, DAN KEWAJIBAN KPI

Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan Yang Berlaku

Kewenangan

§   Menetapkan standar program siaran;

§   Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI);

§   Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;

§   Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;

§   Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat;

Tugas dan Kewajiban

§   Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;

§   Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;

§   Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;

§   Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;

§   Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran;

§   Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran;

 

URAIAN TUGAS DAN KEWENANGAN KPI

BERDASARKAN UU PENYIARAN, PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN (P3), DAN STANDAR PROGRAM SIARAN (SPS)

 

BERDASARKAN UU NO. 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN

EKSISTENSI KPI

Pasal 1

Angka 4

Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

 

Angka 9

Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Angka 13

Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.

 

Pasal 6 ayat (4)

Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.

 

Pasal 7

(1)        Komisi penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) disebut Komisi Penyiaran Indonesia, disingkat KPI.

(2)        KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.

(3)        KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk di tingkat provinsi.

(4)        Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

 

TUGAS DAN KEWENANGAN KPI

Pasal 8

(1)        KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

(2)        Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai wewenang:

a.      menetapkan standar program siaran;

b.      menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;

c.      mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;

d.      memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;

e.      melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.

(3)        KPI mempunyai tugas dan kewajiban :

a.      menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;

b.      ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;

c.      ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;

d.      memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;

e.      menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan

f.       menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

 

Pasal 18 ayat (3)

Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

 

KEWENANGAN KPI DALAM PERIZINAN PENYIARAN

Pasal 53

(1)        Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran.

(4)        Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:

a.      masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;

b.      rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;

c.      hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan

d.      izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.

(5)        Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.

(8)        Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

 

TUGAS DAN KEWENANGAN KPI TERKAIT PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN

Pasal 48

(1)        Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI.

(2)        Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan bersumber pada:

a.      nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

b.      norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran.

(3)        KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum.

(4)        Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:

a.      rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;

b.      rasa hormat terhadap hal pribadi;

c.      kesopanan dan kesusilaan;

d.      pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;

e.      perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;

f.       penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak;

g.      penyiaran program dalam bahasa asing;

h.      ketepatan dan kenetralan program berita;

i.         siaran langsung; dan

j.        siaran iklan.

(5)        KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran.

 

Pasal 49

KPI secara berkala menilai pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

 

Pasal 50

(1)        KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran.

(2)        KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran.

(3)        KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e.

(4)        KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab.

(5)        KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.

 

Pasal 51

(1)        KPI dapat mewajibkan Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan dan/atau menerbitkan pernyataan yang berkaitan dengan aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) apabila terbukti benar.

(2)        Semua Lembaga Penyiaran wajib menaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI yang berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.

 

PERTANGGUNGJAWABAN KPI

Pasal 53

(1)        KPI Pusat dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2)        KPI Daerah dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya bertanggung jawab kepada Gubernur dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

 

SANKSI-SANKSI YANG DAPAT DIJATUHKAN OLEH KPI

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :

a.            teguran tertulis;

b.            penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;

c.            pembatasan durasi dan waktu siaran;

d.            denda administratif;

e.            pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;

f.             tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;

g.            pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.

 

 

BERDASARKAN PERATURAN KOMISI PENYIARAN INDOENSIA  NOMOR 2 TAHUN 2007  TENTANG  PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN

PENGAWASAN KPI TERHADAP PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN

Pasal 17

(1)        KPI mengawasi pelaksanaan Pedoman Perilaku Penyiaran.

(2)        Pedoman Perilaku Penyiaran harus menjadi pedoman lembaga penyiaran dalam memproduksi suatu program siaran.

(3)        Pedoman Perilaku Penyiaran wajib dipatuhi oleh semua lembaga penyiaran

 

KEWENANGAN KPI TERKAIT DENGAN PENGADUAN TERHADAP ADANYA PELANGGARAN PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN

Pasal 19

Setiap orang atau sekelompok orang yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku dapat mengadukan ke KPI.

Pasal 20

KPI menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran.

Pasal 21

Dalam hal KPI memutuskan untuk mempertimbangkan keluhan dan atau pengaduan, Lembaga Penyiaran tersebut diundang untuk didengar keterangannya guna mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut tentang materi program yang diadukan tersebut.

 

Hak Jawab

Pasal 22

1.      KPI memberikan kesempatan kepada Lembaga Penyiaran yang diduga melakukan pelanggaran atas Pedoman Perilaku Penyiaran untuk melakukan klarifikasi berupa hak jawab, baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk didengar langsung keterangannya sebelum keputusan ditetapkan.

2.      Berkaitan dengan ketentuan ayat (1) di atas, setiap Lembaga Penyiaran harus menunjuk seorang ‘penangan pengaduan’ yang akan menangani setiap laporan dan pengaduan tentang kemungkinan pelanggaran.

 

Pencatatan Pelanggaran

Pasal 25

Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh Lembaga Penyiaran terhadap Pedoman Program Penyiaran akan dicatat dan direkam oleh KPI dan akan menjadi bahan pertimbangan bagi KPI dalam hal memberikan keputusan-keputusan yang menyangkut Lembaga Penyiaran, termasuk keputusan dalam hal perpanjangan izin siaran.

 

KEWENANGAN KPI TERKAIT MATERI REKAMAN SIARAN DAN KEPUTUSAN

Pasal 23

1.      Untuk kepentingan pengambilan keputusan, KPI memiliki wewenang untuk meminta kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan untuk memperlihatkan rekaman bahan siaran yang diadukan lengkap dengan penjelasan-penjelasan tertulis dari penanggung jawab program lembaga penyiaran tersebut.

2.      Berkaitan dengan ayat (1), lembaga penyiaran wajib menyimpan materi rekaman siaran selama minimal satu tahun.

 

 

BERDASARKAN PERATURAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PROGRAM SIARAN

Pengawasan

Pasal 67

(1)        KPI mengawasi pelaksanaan Standar Program Siaran.

(2)        Standar Program Siaran wajib dipatuhi oleh semua lembaga penyiaran.

(3)        Lembaga penyiaran wajib memperhatikan Standar Program Siaran dalam proses pengolahan, pembuatan, pembelian, penayangan, penyiaran dan pendanaan program siaran lembaga penyiaran bersangkutan, baik lokal mau pun asing.

 

Pasal 70

KPI menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran.

 

Pasal 71

Dalam hal KPI memutuskan untuk mempertimbangkan keluhan dan atau pengaduan, Lembaga Penyiaran tersebut diundang untuk didengar keterangannya guna mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut tentang materi program yang diadukan tersebut.

 

HAK JAWAB LEMBAGA PENYIARAN KEPADA KPI

Pasal 72

(1)        KPI memberikan kesempatan kepada Lembaga Penyiaran yang diduga melakukan pelanggaran atas Standar Program Siaran tersebut untuk melakukan klarifikasi berupa hak jawab, baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk didengar langsung keterangannya sebelum keputusan ditetapkan.

 

Pasal 73

(1)        Untuk kepentingan pengambilan keputusan, KPI memiliki wewenang untuk meminta kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan, untuk memperlihatkan rekaman bahan siaran yang diadukan, lengkap dengan penjelasan-penjelasan tertulis dari penanggung jawab program lembaga penyiaran tersebut.

(2)        Berkaitan dengan ayat (1), lembaga penyiaran wajib menyimpan materi rekaman siaran selama minimal satu tahun.

 

Pasal 75

(1)        Setiap pelanggaran yang terbukti dilakukan oleh lembaga penyiaran akan tercatat secara administratif dan akan mempengaruhi keputusan KPI berikutnya, termasuk dalam hal perpanjangan izin lembaga penyiaran yang bersangkutan.

(2)        Bila KPI menemukan bahwa terjadi pelanggaran oleh lembaga penyiaran, KPI akan mengumumkan pelanggaran itu kepada publik, sementara lembaga penyiaran bersangkutan wajib mengumumkan pula keputusan tersebut melalui siarannya.

Published in: on March 27, 2009 at 11:54 am  Comments (3)  
Tags: , , ,

Akta Otentik Dalam Hukum Positif Indonesia

Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yag dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan (lihat pasal 165 HIR, 1868 BW, dan 285 Rbg). Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja biuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Dalam versi lainnya dapat dikatakan bahwa Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak.

Pejabat resmi lainnya atau Pegawai umum yang dimaksud dapat berlaku pada seorang hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai catatan sipil, dan sebagainya. Dengan demikian maka suatu akte notaris, suatu surat putusan hakim, suatu surat proses verbal yang dibuat oleh seorang juru sita pengadilan dan suatu surat perkawinan yang dibuat oleh pegawai catatan sipil adalah termasuk ke dalam akte-akte otentik.

Tiga Macam Kekuatan Akta Otentik:

1.      Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte tadi (kekuatan pembuktian formil);

2.      Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan disitu telah terjadi (kekuatan pembuktian materiel atau yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat);

3.      membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akte ke dua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut. Kekuatan yang kedua tersebut itu sebagaimana sudah diuraikan di atas , dinamakan kekuatan mengikat yang pada hakekatnya bertujuan menetapkan kedudukan antara para pihak satu sama lain pada kedudukan yang teruraikan dalam akte. Kekuatan poin ini dinamakan kekuatan pembuktian keluar (artinya ialah terhadap pihak ke-tiga)

AKTA OTENTIK

Yang Dibuat Oleh pegawai umum sesuai dengan perundang-undangan

Yang dibuat Di hadapan pegawai umum yang sesuai dengan perundang-undangan

Ex:

Seorang notaries yang membuat suatu laporan tentang suatu rapat yang dihadirinya dari para pemegang sero dari suatu perseroan terbatas, maka proses verbal itu merupakan suatu akte yang telah dibuat oleh notaries tersebut.

Ex:

Apabila dua orang datang kepada seorang notaries, menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian (misalnya jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain sebagainya) dan meminta kepada notaries tadi supaya tentang perjanjian tersebut dibuatkan suatu akte. Notaries hanya mendengarkan apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang menghadap itu dan meletakan perjanjian yang dibuat oleh dua orang tersebut dalam suatu akte.

Akta Otentik Menurut 1868 KUHPerdata

akta-otentik

Pergeseran Persepsi Mengenenai Nilai Kebenaran

Yang Terkandung Dalam Suatu Akta Otentik

pergeseran-ttg-akta-otentik

Suatu surat yang dibuat secara demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang membuatnya, menjadikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut di dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan kemudian itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu.

 

Akta Otentik menurut Pasal 285 Rbg:

Yaitu yang dibuat, dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat, merupakan bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya  dan mereka yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka; hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok akta itu.

 

Akta mempunyai dua fungsi : fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa). Formalitas Causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Dalam konteks ini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Kekuatan pembuktian akta ini dibedakan menjadi tiga macam :

1). Kekuatan pembuktian lahir (kekuatan pembuktian yang didasarkan pada keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya; acta publica probant sese ipsa);

2). Kekuatan pembuktian formil (memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yag dimuat dalam akta);

3). Kekuatan pembuktian materiiil (memberikan kepastian tentang materi suatu akta).

 

Secara mendasar, Hukum Acara Perdata mengenal 3 macam surat, yaitu: surat biasa, akta di bawah tangan dan akta otentik. Dibandingkan dengan surat biasa dan akta di bawah tangan, akta otentik merupakan bukti yang cukup atau bukti yang sempurna, artinya bahwa isi fakta tersebut oleh hakim dianggap benar, kecuali apabila diajukan bukti lawan yang kuat. Hal mana berarti bahwa hakim harus mempercayai apa yang tertulis dalam akta tersebut, dengan perkataan lain apa yang termuat dalam akta tersebut harus dianggap benar selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Terhadap pihak ketiga

Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dinyatakan dalam Ordonansi tahun 1867 no 29 yang intinya menyatakan bahwa barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan d bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya; tetapi bagi para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya, cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Akta di bawah tangan yang diakui isi dan tandatangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan. Surat-surat lain selain akta mempunyai nilai pembuktian sebagai bukti bebas.

Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.

Notaris adalah Pejabat Umum yang dimaksud dalam pasal 1868 BW. juncto pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tabun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang memiliki wewenang membuat akta otentik.

Menurut hukum acara perdata, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat. Artinya apabila akta otentik yang diajukan memenuhi syarat formil dan materiil serta bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak bertentangan, maka pada akta otentik langsung melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dengan nilai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang melekat pada akta otentik, pada dasarnya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain dan dengan sendirinya mencapai batas minimal pembuktian.

Menurut hukum acara pidana, seluruh jenis alat bukti mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas dan batas minimum pembuktiannya harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Hal ini dapat dilihat dalam kasus pemalsuan akta otentik oleh Notaris – PPAT Ujung Pandang. Sebagaimana dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Notaris — PPAT Ujung Pandang sebagai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan pemalsuan akta otentik serta menghukum terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun. Keyakinan hakim tersebut, didasarkan pada alat-alat bukti yang sah berupa Akta Jual Beli Nomor 71/ WJ 1980 beserta sertifikat-sertifikatnya, surat pernyataan dari pemilik tanah yang dilegalisasi dikantor Notaris dan keterangan terdakwa. Akibat hukum akta otentik yang memuat keterangan palsu dalam kasus ini. hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.  Sebagaimana perjanjian yang tertulis dalam akta jual beli tanah tersebut adalah batal demi hukum, artinya sejak lahirnya perjanjian jual beli tanah itu sudah batal atau tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada. Dengan kata lain sejak awal dibuatnya akta itu sudah tidak mempunyai kekuatan hukum bagi para pihak.

Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.

Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.

 

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

 

Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.

 

Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.

 

Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.

 

1867. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.

1868. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

1869. Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.

1870. Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.

1871. Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta.

Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.

1872. Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.

1873. Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga.

1874. Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan.

Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut.

Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.

1874 a. Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.

Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat dan pasal yang lalu.

1875. Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.

1876. Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.

1877. Jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.

1878. Perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penanda tangan sendiri; setidak-tidaknya, selain tanda tangan, haruslah ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri suatu tanda setuju yang menyebut jumlah uang atau banyaknya barang yang terutang.

Jika hal ini tidak diindahkan, maka bila perikatan dipungkiri, akta yang ditandatangani itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.

Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap surat-surat andil dalam suatu utang obligasi, terhadap perikatan-perikatan utang yang dibuat oleh debitur dalam menjalankan perusahaannya, dan terhadap akta-akta di bawah tangan yang dibubuhi keterangan sebagaimana termaksud dalam Pasal 1874 alinea kedua dan Pasal 1874 a.

1879. Jika jumlah yang disebutkan dalam akta berbeda dari jumlah yang dinyatakan dalam tanda setuju, maka perikatan itu dianggap telah dibuat untuk jumlah yang paling kecil, walaupun akta beserta tanda setuju itu ditulis sendiri dengan tangan orang yang mengingatkan diri, kecuali bila dapat dibuktikan, dalam bagian mana dari keduanya telah terjadi kekeliruan.

1880. Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi pernyataan sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam Pasal 1874 a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga kecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang atau sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang penanda tangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi akta itu.

1881. Daftar dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan bukti untuk keuntungan pembuatnya; daftar dan surat itu merupakan bukti terhadap pembuatnya:

1. dalam hal surat itu menyebutkan dengan tegas suatu pembayaran yang telah diterima;

2. bila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan dalam suatu alas hak untuk kepentingan orang yang disebutkan dalam perikatan.

Dalam segala hal lainnya, Hakim akan memperhatikannya sepanjang hal itu dianggap perlu.

1882. Dihapus dengan S. 1827-146.

1883. Selama di tangan seorang kreditur, catatan-catatan yang dibubuhkan pada suatu tanda alas hak harus dipercayai, walaupun catatan-catatan itu tidak ditandatangani dan tidak diberi tanggal, bila apa yang tertulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur.

Demikian pula catatan-catatan yang oleh seorang kreditur dibubuhkan pada salinan suatu tanda alas hak atau suatu tanda pembayaran, asalkan salinan atau tanda pembayaran ini masih di tangan kreditur.

1884. Atas biaya sendiri, pemilik suatu tanda alas hak dapat mengajukan permintaan agar tanda alas hak itu diperbarui bila karena lamanya atau suatu alasan lain tulisannya tidak dapat dibaca lagi.

1885. Jika suatu tanda alas hak menjadi kepunyaan bersama beberapa orang, maka masing-masing berhak menuntut supaya tanda alas hak itu disimpan di tempat netral, dan berhak menyuluh membuat suatu salinan atau ikhtisar atas biayanya.

1886. Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak dapat meminta kepada Hakim, supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan surat-surat kepunyaan kedua belah pihak yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan.

1887. Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan pasangannya, jika digunakan di antara orang-orang yang biasa menggunakannya untuk membuktikan penyerahan atau penerimaan barang dalam jual beli secara kecil-kecilan.

1888. Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan.

1889. Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka;

2. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karena jabatannya menyimpan akta asli (minut) dan berwenang untuk memberikan salinan-salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang;

3. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;

4. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

1890. Penyalinan suatu akta dalam daftar umum hanya dapat memberikan bukti permulaan tertulis.

1891. Akta pengakuan membebaskan seseorang dari kewajiban untuk menunjukkan tanda alas hak yang asli, asal dari akta itu cukup jelas isi alas hak tersebut.

1892. Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya dapat menjadi dasar tuntutan itu.

Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela, setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah.

Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela dalam bentuk daripada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga.

1893. Seorang pemberi hibah tidak dapat menghapuskan suatu cacat-cacat bentuk penghibah itu dengan membuat suatu akta pembenaran; penghibahan itu, agar sah, harus diulangi dalam bentuk yang ditentuakan oleh undang-undang.

1894. Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan secara sukarela suatu penghibahan oleh ahli waris atau oleh mereka yang mendapatkan hak dari pemberi hibah setelah pemberi hibah ini meninggal, menghapuskan hak mereka untuk mengajukan tuntutan berdasarkan cacat dari bentuk penghibahan itu.

Published in: on March 23, 2009 at 12:05 pm  Leave a Comment  
Tags: ,

Pengaturan Rahasia Dagang di Indonesia

Rahasia Dagang: Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaanya oleh pemilik Rahasia Dagang.

LINGKUP PERLINDUNGAN

1).     Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/ atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

2).     Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiannya melalui upaya sebagaimana mestinya.

3).     Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu dan tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.

4).     Informasi dianggap tersebut nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi.

5).     Informasi dianggap dijaga kerahasiannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.

PELANGGARAN

1).     Pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengajukan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan.

2).     Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KETENTUAN PIDANA

Brang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan atau mengungkapkan Rahasia Dagang, atau mengingkari kesepakatan untuk menjaga Rahasia Dagang atau memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang dengan cara yang bertentangan dangan peraturan perundang-undangan yang berlaku: dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

 

PERLINDUNGAN RAHASIA DAGANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG

Indonesia kini telah memiliki pengaturan tentang rahasia dagang yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang (selanjutnya disebut UU Rahasia Dagang) yang telah diundangkan Pemerintah pada tanggal 20 Desember 2000. UU ini dibuat dalam rangka memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional, dimana diperlukan adanya jaminan perlindungan terhadap rahasia dagang, terutama dari tindakan persaingan curang. Lahirnya UU Rahasia Dagang juga penting untuk menjamin perlindungan yang efektif terhadap pemilikan, penguasaan dan penggunaan rahasia dagang sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak atas Kepemilikan Intelektual (HaKI).

Pengertian dan Ruang Lingkup Rahasia Dagang 

Rahasia dagang didefinisikan sebagai berikut : “Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.”

Hal ini berarti bahwa UU Rahasia Dagang tidak membatasi obyek informasi di bidang teknologi semata tetapi di dalamnya juga mencakup informasi non-teknologi. UU Rahasia Dagang dimaksudkan pula melindungi obyek rahasia dagang tanpa perlu melalui proses pendaftaran ataupun penerapan stelsel deklaratif. Hal ini sejalan dengan pengaturan rahasia dagang di Amerika Serikat yang juga mencakup segala informasi baik yang bersifat teknologi maupun non-teknologi.

Sebagai perbandingan, dalam perundang-undangan di Amerika Serikat saat ini pengertian rahasia dagang dalam pengertian luas terdapat dalam Uniform Trade Secret Act (UTSA), suatu undang-undang yang telah diadopsi oleh 39 negara bagian di Amerika Serikat.

Rahasia dagang didefinisikan sebagai informasi termasuk suatu rumus, pola-pola, kompilasi, program, metoda teknik atau proses yang menghasilkan nilai ekonomis secara mandiri, nyata dan potensial. Informasi itu sendiri bukan merupakan informasi yang diketahui umum dan tidak mudah diakses oleh orang lain untuk digunakan sehingga yang bersangkutan mendapat keuntungan ekonomis.

Terminologi rahasia dagang sebagai perbandingan dapat dilihat dari Uniform Trade Secret Act (Canada) yang menyatakan bahwa rahasia dagang merupakan setiap informasi yang dapat digunakan dalam suatu perdagangan yang tidak merupakan informasi umum dan memiliki nilai ekonomis. Dari ketentuan Uniform Trade Secret Act (Canada) tampak bahwa undang-undang tersebut tidak hanya membatasi bentuk rahasia dagang pada suatu rumus, pola rencana, kompilasi, program komputer, teknik, proses, produk, perangkat atau mekanisme semata-mata.

Dalam UU Rahasia Dagang Indonesia juga ditegaskan bahwa yang menjadi obyek perlindungan rahasia dagang adalah informasi yang bersifat rahasia yang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

Rahasia dagang itu pun harus mempunyai nilai ekonomis karena kerahasiaannya dan dipertahankan kerahasiaannya melalui upaya-upaya sebagaimana mestinya. Informasi itu dianggap bersifat rahasia apabila tidak diketahui secara umum oleh masyarakat atau hanya diketahui secara terbatas oleh pihak-pihak tertentu baik yang menemukan maupun yang menggunakan untuk kegiatan yang menghasilkan keuntungan atau kepentingan yang bersifat komersial.

Untuk dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang, informasi itu pun harus memiliki nilai ekonomis dan terjaga kerahasiaannya. Informasi dianggap memiliki nilai ekonomis apabila dengan status kerahasiannya, informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial dan meningkatkan keuntungan secara ekonomi. Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau pihak-pihak yang menguasainya telah melakukan upaya perlindungan melalui langkah-langkah yang semestinya dan memadai untuk menjaga dan mempertahankan kerahasiaan serta penguasaannya.9 Penjelasan Pasal 3 UU Rahasia Dagang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “upaya-upaya sebagaimana mestinya” adalah semua langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan. Misalnya, didalam perusahaan harus ada prosedur baku berdasarkan praktik umum yang berlaku di tempat-tempat lain dan / atau yang dituangkan ke dalam ketentuan internal perusahaan itu sendiri. Demikian pula dalam ketentuan internal perusahaan dapat ditetapkan bagaimana rahasia dagang itu dijaga dan siapa yang bertanggung jawab atas kerahasiaan itu.

Berbeda dengan paten yang lahir karena pendaftaran, rahasia dagang dianggap lahir pada saat seseorang menemukan suatu penemuan baru berupa informasi yang mempunyai nilai ekonomis, yang karena pertimbangan tertentu oleh penemunya, sengaja disimpan sendiri dan dipertahankan sebagai informasi yang bersifat rahasia. Terdapat kemungkinan bahwa rahasia dagang itu suatu saat akan berubah menjadi paten, misalnya ketika oleh penemunya informasi tersebut didaftarkan sebagai paten. Dalam hal suatu informasi yang semula diperlakukan sebagai rahasia dagang telah diungkapkan dalam suatu spesifikasi paten atau permintaan paten maka informasi tersebut dianggap tidak merupakan rahasia dagang lagi.


Hak dan Kewajiban Pemilik Rahasia Dagang

Pasal 4 UU Rahasia Dagang mengatur tentang kewenangan atau hak yang dimiliki oleh pemilik rahasia dagang terhadap rahasia dagangnya untuk :

1.  menggunakan sendiri rahasia dagang yang dimilikinya;

2. memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan rahasia dagang atau mengungkapkan rahasia dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Berdasarkan pasal ini, pemilik rahasia dagang mempunyai hak monopoli untuk menggunakan sendiri rahasia dagang yang dimilikinya dalam kegiatan bisnis untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Ketentuan ini juga berarti bahwa hanya pemilik rahasia dagang yang berhak untuk memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakan rahasia dagang yang dimilikinya melalui perjanjian lisensi. Selain itu, pemilik rahasia dagang juga berhak melarang pihak lain untuk menggunakan atau mengungkapkan rahasia dagang yang dimilikinya kepada pihak ketiga apabila pengungkapan tersebut dilakukan untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Di samping hak-hak tersebut dalam UU Rahasia Dagang disebutkan pula bahwa pemilik rahasia dagang juga memiliki kewajiban, yaitu harus bersedia mengungkapkan setiap bagian dari rahasia dagang serta proses penggunaannya secara lengkap untuk kepentingan pembuktian di hadapan pengadilan. Hal ini memang memiliki risiko bahwa rahasia dagang dapat terpublikasi, maka untuk mencegah hal tersebut hakim dapat memerintahkan agar sidang dilakukan secara tertutup atas permintaan para pihak yang bersengketa, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

Hal yang sama dilakukan pula oleh pengadilan di Amerika Serikat, di mana pengadilan harus melindungi kerahasiaan suatu rahasia dagang dalam rangka proses pemeriksaan dan proses litigasi pada umumnya. Setiap orang yang terlibat dalam proses litigasi itu pun tidak boleh mengungkapkan rahasia dagang sebelum memperoleh persetujuan dari pengadilan.

Hal yang senada dianut pula oleh Kanada yang menetapkan bahwa pengadilan dapat membuat perintah untuk melindungi rahasia dagang. Selama dalam proses perkara pengadilan dapat melangsungkan dengar pendapat secara tertutup, memerintahkan semua atau beberapa catatan proses penuntutan untuk disegel, atau memerintahkan setiap orang yang terlibat dalam proses penuntutan untuk tidak mengungkapkan rahasia dagang dimaksud tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pengadilan.

 

Pengalihan Hak dan Lisensi Rahasia Dagang

Pasal 1 angka 2 UU Rahasia Dagang menyatakan bahwa hak rahasia dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbul berdasarkan undang-undang rahasia dagang ini (UU No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang). Hak rahasia dagang ini diklasifikasikan sebagai hak milik, sehingga sebagai hak milik, rahasia dagang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

UU Rahasia Dagang dalam Pasal 5 ayat (1) menyebutkan peristiwa-peristiwa hukum yang dapat mengakibatkan beralihnya hak rahasia dagang. Pengalihan rahasia dagang dapat dilakukan melalui proses pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Khusus untuk pengalihan hak atas dasar perjanjian, diperlukan adanya suatu pengalihan hak yang didasarkan pada pembuatan suatu akta, terutama akta otentik. Hal ini penting mengingat aspek yang dijangkau begitu luas dan pelik, selain untuk menjaga kepentingan masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian pengalihan hak atas rahasia dagang tersebut. 

Pengalihan hak rahasia dagang yang disebabkan oleh “sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan” dapat dijelaskan di sini misalnya putusan pengadilan yang menyangkut kepailitan. Di samping itu pemilik rahasia dagang atau pemegang hak rahasia dagang juga dapat memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi untuk melaksanakan atau menggunakan hak rahasia dagang dalam kegiatan yang bersifat komersial.

Berbeda dengan perjanjian yang menjadi dasar pengalihan rahasia dagang, lisensi hanya memberikan hak secara terbatas dan dengan waktu yang terbatas pula. Dengan demikian, lisensi diberikan untuk pemakaian atau penggunaan rahasia dagang dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan pertimbangan bahwa sifat rahasia dagang yang tertutup bagi pihak lain, pelaksanaan lisensi dilakukan dengan mengirimkan atau memperbantukan secara langsung tenaga ahli yang dapat menjaga rahasia dagang itu. Hal ini berbeda, misalnya, dari pemberian bantuan teknis yang biasanya dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek, pengoperasian mesin baru atau kegiatan lain yang khusus dirancang dalam rangka bantuan teknik.

Selama memberikan lisensi, pemilik rahasia dagang tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga berkaitan dengan rahasia dagang yang dimilikinya. Dengan demikian pada prinsipnya perjanjian lisensi bersifat non-eksklusif, artinya tetap memberikan kemungkinan kepada pemilik rahasia dagang untuk memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya. Apabila diinginkan untuk perjanjian lisensi yang bersifat eksklusif, artinya hak rahasia dagang tidak dapat diberikan lagi kepada pihak ketiga lainnya maka hal tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian lisensi dimaksud.

Sebagai catatan, perlu dikemukakan pada prinsipnya perjanjian lisensi seharusnya tidak boleh memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung merugikan perekonomian Indonesia, atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.16 Peraturan perundang-undangan dimaksud dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam mekanisme administrasi atau pencatatan, baik berbagai bentuk pengalihan hak rahasia dagang maupun perjanjian lisensi rahasia dagang wajib dicatatkan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Ketentuan tentang wajib catat ini tidak akan membuka akses terpublikasinya rahasia dagang, karena yang dicatatkan bukanlah substansi dari rahasia dagang melainkan hanya data yang bersifat administratif dari dokumen pengalihan hak maupun dokumen perjanjian lisensi. Ketentuan wajib catat ini tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) jo Pasal 8 ayat (1) UU Rahasia Dagang. Demikian pula halnya dengan pengumuman yang dilakukan terhadap pengalihan hak rahasia dagang dan perjanjian lisensi dalam Berita Resmi Rahasia Dagang, juga tidak mencantumkan hal-hal yang bersifat substansial melainkan hanya data yang bersifat administratif saja. 

Baik dokumen pengalihan hak rahasia dagang maupun dokumen perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan kepada Direktorat Jenderal HaKI akan mempunyai konsekuensi bahwa tanpa pencatatan maka dokumen dimaksud tidak akan memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga.

Sebagai tambahan dapat dikemukakan bahwa pemerintah sendiri sampai saat ini belum memiliki peraturan pelaksanaan tentang pencatatan perjanjian lisensi. Hal ini merupakan kelemahan yang sangat mendasar karena UU Paten, Merek dan Hak Cipta yang ada telah memerintahkan pengaturan hal ini.


Perlindungan Rahasia Dagang Berdasarkan Perjanjian

Perlindungan rahasia dagang berdasarkan perjanjian telah dicantumkan secara eksplisit dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d UU Rahasia Dagang, yang menyatakan bahwa perlindungan rahasia dagang lahir antara lain berdasarkan perjanjian tertulis. Khusus untuk pengalihan hak atas dasar perjanjian, diperlukan adanya suatu pengalihan hak yang didasarkan pada pembuatan suatu akta, terutama akta otentik. Hal ini penting mengingat aspek yang dijangkau begitu luas dan pelik, selain untuk menjaga kepentingan masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian pengalihan hak atas rahasia dagang tersebut. 


Subyek Hukum Rahasia Dagang

Dalam UU Rahasia Dagang sama sekali tidak disinggung masalah subyek hukum rahasia dagang, padahal masalah ini penting karena menyangkut siapa yang berhak atas informasi tersebut. 

Dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Dagang sebelumnya, yang dianggap sebagai pemilik rahasia dagang adalah penemu yang secara teknis menguasai rahasia dagang tersebut. Apabila dalam suatu kedaan tertentu informasi tersebut ditemukan oleh lebih dari satu orang maka yang dianggap sebagai pemilik ialah orang yang memimpin serta mengawasi kegiatan yang menghasilkan rahasia dagang itu, atau jika tidak ada orang itu, orang yang menghimpunnya, dengan tidak mengurangi hak masing-masing atas bagian rahasia dagangnya. Dalam kasus tertentu di mana suatu rahasia dagang dirancang seseorang dan diselesaikan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka pemiliknya adalah orang yang merancang rahasia dagang itu.

Hal ini berbeda dengan UTSA yang secara tegas memberikan terminologi tentang apa yang dimaksud pribadi, yaitu orang-perorangan, perusahaan, kelompok  bisnis, perkumpulan, persekutuan, perhimpunan, usaha patungan, pemerintah, bagian dari pemerintah atau agensi, atau badan hukum atau komersial lainnya.

Dalam hal rahasia dagang ditemukan dalam hubungan perjanjian kerja maka maka pihak yang untuk dan dalam dinasnya rahasia dagang itu dihasilkan adalah pemilik rahasia dagang. Hal ini dikecualikan jika ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pegawai sebagai pembuatnya apabila penggunaan rahasia dagang itu diperluas keluar hubungan dinas. Apabila suatu rahasia dagang dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, maka pihak yang membuat rahasia dagang itu dianggap sebagai pemilik rahasia dagang, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.

Berkaitan dengan hal ini perlu diperhatikan apakah pemilik rahasia dagang seharusnya adalah pihak pemberi pekerjaan di mana karyawan itu bekerja selama tidak diperjanjikan lain. Sebagai perbandingan dapat dirujuk ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten, yang mengatur subyek paten atas hasil penemuan dalam rangka suatu perjanjian kerja.

Pelanggaran Rahasia Dagang

Ketentuan tentang pelanggaran rahasia dagang diatur dalam Bab VII Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 UU Rahasia Dagang. Pasal 13 menyatakan :

“Pelanggaran rahasia dagang dapat juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan rahasia dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga rahasia dagang yang bersangkutan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut , maka pelanggaran rahasia dagang dianggap telah terjadi jika terdapat seseorang dengan sengaja mengungkapkan informasi atau mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban (wanprestasi) atas perikatan yang telah dibuatnya baik tersurat maupun tersirat untuk menjaga rahasia dagang dimaksud. 

Seseorang pun dianggap telah melanggar rahasia dagang orang lain jika ia memperoleh atau menguasai rahasia dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kekecualian terhadap ketentuan pelanggaran rahasia dagang ini diberikan terhadap pengungkapan atau penggunaan rahasia dagang yang didasarkan untuk kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, dan keselamatan masyarakat di samping berlaku pula untuk tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan rahasia dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan.

Ketentuan tentang pengecualian terhadap pelanggaran rahasia dagang tersebut seharusnya juga dilengkapi dengan ketentuan yang secara tegas mengatur tentang pengungkapan rahasia dagang oleh seseorang di depan sidang pengadilan atas perintah hakim. Atas perintah hakim, seseorang yang mengungkapkan rahasia dagang di depan sidang pengadilan seharusnya juga ditetapkan sebagai suatu kekecualian sehingga yang bersangkutan tidak dianggap telah melakukan pelanggaran rahasia dagang. Ketentuan Pasal 18 tentang dimungkinkannya sidang pengadilan berkaitan dengan rahasia dagang bersifat tertutup (atas permintaan para pihak yang bersengketa) juga tidak secara tegas maupun tersirat bermaksud mengatur pengecualian di atas. 

Di Amerika Serikat tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran rahasia dagang antara lain berupa tindakan perolehan rahasia dagang secara tidak patut, pengungkapan atau penggunaan rahasia dagang milik orang lain tanpa izin ataupun pada saat pengungkapan atau penggunaan rahasia dagang tersebut ia mengetahui dan patut menduga bahwa informasi itu telah diperoleh secara tidak patut, atau diperoleh dari pihak yang seharusnya berkewajiban memelihara rahasia dagang itu.

Tindak Pidana Pencurian Rahasia Dagang dan Spionase Ekonomi

Dalam UU Rahasia Dagang tidak ada ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana pencurian dan spionase ekonomi berkaitan dengan rahasia dagang. Tindak-tindak pidana spionase ekonomi merupakan hal yang amat serius bagi negara-negara maju. 

Dalam RUU Rahasia Dagang sebelumnya, spionase ekonomi ini telah sempat dimasukkan sebagai suatu ketentuan yang perlu diatur. Spionase ekonomi berkaitan dengan rahasia dagang dapat diartikan sebagai suatu pelanggaran rahasia dagang yang sengaja dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan pemerintah asing dikategorikan sebagai tindakan spionase ekonomi. Tindakan spionase ekonomi itu sendiri meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut:

a.     mencuri, atau tanpa ijin mengambil untuk diri sendiri, membawa, atau menyembunyikan, atau dengan penipuan, kelicikan, atau dengan cara curang memperoleh rahasia dagang;

b.     tanpa ijin memperbanyak, meniru, mensketsa, menggambar, memotret, mengambil data, memasukkan data, merubah, memusnahkan, memfoto kopi, mereplikasi, melakukan transmisi, mengantarkan, mengirim, mengirimkan melalui pos, mengkomunikasikan, atau menyampaikan rahasia dagang;

c.     menerima, membeli, atau memiliki rahasia dagang, dengan maksud mencuri, memperoleh, atau mengubah tanpa ijin;

d.     berusaha untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.

Di Indonesia sendiri saat ini terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan informasi yang harus dirahasiakan untuk kepentingan negara seperti yang dimuat dalam Pasal 112, 113, 114, 115 dan 116 KUHP.

Di Amerika Serikat pencurian rahasia dagang juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan federal dengan kualifikasi spionase ekonomi. Undang-undang Spionase Ekonomi AS disahkan pada tanggal 11 Oktober 1996 oleh Presiden Bill Clinton.

Kasus yang diputus berdasarkan Economic Espionage Act of 1996 antara lain adalah kasus United States of America v. Patrick and Daniel Worthing. Kasus ini bermula ketika Patrick Worthing bekerja pada pusat penelitian serat optik industri PPG. Berdasarkan atas laporan yang dipublikasikan, Patrick Worthing menyalahgunakan disket, blueprint dan tipe lain dari informasi riset rahasia dagang industri PPG, di mana ia mencoba menjual ke pihak kompetitor yaitu Owens Corning pesaing PPG. Biarpun Owens Corning bersiap-siap memenangkan gugatan industri PPG dan pemerintahan federal.

Patrick Worthing dan saudaranya Daniel Worthing didakwa atau dituntut berdasarkan Undang-undang Spionase Ekonomi, 18 U.S.C. Pasal 1832 (a)(1), (3) dan (5). Patrick Worthing menjalani hukuman pada 5 Juni 1997 selama 15 bulan setelah didakwa bersalah. Daniel Worthing, yang menurut laporan setuju untuk membantu saudaranya malam sebelumnya untuk memberi uang sebesar US $100,000, dihukum 5 tahun masa percobaan termasuk 6 bulan tahanan rumah.


Penyelesaian Sengketa di Bidang Rahasia Dagang

Dalam UU Rahasia Dagang disebutkan mekanisme penyelesaian sengketa yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“(1)  Pemegang hak rahasia dagang atau penerima lisensi dapat menggugat siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 4, berupa :

a. gugatan ganti rugi; dan/atau

b. penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(2) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan ke Pengadilan Negeri.”
Penyelesaian sengketa di bidang rahasia dagang dapat diajukan penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri, namun demikian, Pengadilan bukanlah 

satu-satunya jalan atau cara penyelesaian perkara berkaitan dengan rahasia dagang. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU Rahasia Dagang maka penyelesaian perkara berkaitan dengan rahasia dagang dapat pula dilakukan melalui arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan cara-cara lain yang disepakati para pihak) sesuai dengan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase. 

Mekanisme penyelesaian sengketa di bidang rahasia dagang dapat diselesaikan melalui dua sistem penyelesaian sengketa, yaitu baik melalui sistem ajudikasi maupun non-ajudikasi. Bahkan dalam mekanisme ajudikasi juga dapat ditempuh dua jalur penyelesaian sengketa, yaitu litigasi maupun non-litigasi.

Dengan demikian diharapkan bahwa sengketa-sengketa berkaitan dengan rahasia dagang dapat diselesaikan sebaik-baiknya melalui penerapan secara optimal lembaga dan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada, serta penerapan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa yang optimal pula.


Keterkaitan UU Rahasia Dagang dengan TRIPs-WTO

Sebagai negara yang telah meratifikasi TRIPs melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia memiliki keterikatan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang rahasia dagang dan ketentuan-ketentuan HaKI lainnya yang terdapat dalam TRIPs. Sampai saat ini RI telah memiliki perundang-undangan di bidang Hak Cipta, Paten, Merek, Rahasia Dagang, Disain Industri, dan Disain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang telah mengakomodasi dan memuat ketentuan-ketentuan pelaksanaan (implementing legislation) dari TRIPs. Beberapa Undang-undang tentang HAKI tersebut yang saat berlaku seringkali memberi kesan tambal sulam karena hanya mengadakan perubahan dalam berbagai pasal yang sebenarnya sangat banyak berbeda. Kenyataan ini menurut Sudargo Gautama justru membingungkan dalam penerapannya karena kemungkinan akan menimbulkan kekeliruan dalam penerapannya, oleh karenanya lebih baik dibuat suatu undang-undang baru.

Berkenaan dengan lahirnya UU No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, dapat dikatakan merupakan peraturan implementasi dari TRIPs – GATT. Pengaturan tentang hal ini sebelumnya tidak berarti sama sekali tidak ada, sebab jauh sebelum TRIPs disepakati di Indonesia telah ada ketentuan-ketentuan tentang rahasia dagang yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan, meskipun belum secara tegas mengelompokkan hal itu sebagai bagian dari HaKI yang merupakan implementasi dari TRIPs. 

Informasi yang dirahasiakan diatur dalam Bab 7 Pasal 39 TRIPs ayat (1) sampai dengan ayat (3). 

Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) selengkapnya menyatakan :

(1)         In the course of ensuring effective protection againts unfair competition as provided in Article 10 bis of the Paris Convention (1967), Members shall protect undisclosed information in accordance with paragraph 2 below and data submitted to governments or govermental agencies in accordance with paragraph 3 below.

(2)         Natural and legal persons shall have the possibility of preventing information lawfully within their control from being disclosed to, acquired by, or used by others without their consent in a manner contrary to honest commercial practices so long as such information :

a.     is secret in the sense it is not, as abody or in the precise configuration and assembly of its components, generally known among or readily accessible to persons within the circles that normally deal with the kind of information in question;

b.     has commercial value because it is secret, and

c.     has been subject to reasonable steps under the circumstances, by the person lawfully in control of the information, to keep it secret

 

Dari ketentuan – ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai negara anggota Indonesia diwajibkan untuk memberikan perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan (rahasia dagang) untuk menjamin perlindungan secara efektif dalam menghadapi persaingan curang sesuai dengan Pasal 10 bis Konvensi Paris versi 1967.Penunjukan berlakunya Pasal 10 bis Konvensi Paris merupakan  konsekuensi sifat keberlakuan TRIPs yang juga berfungsi sebagai kaidah penunjuk. Konvensi Paris telah diratifikasi tanpa reservasi oleh RI melalui Keppres No. 15/1997. Sebagai negara anggota Indonesia memiliki kewajiban untuk menyediakan instrumen dan bentuk perlindungan yang memungkinkan perorangan dan badan hukum untuk dipublikasikannya, diberikannya kepada pihak lain, atau penggunaan secara melawan hukum dan tanpa izin suatu informasi yang dikuasainya secara sah dengan cara yang bertentangan dengan praktik-praktik komersial yang jujur, sepanjang informasi tersebut merupakan rahasia, baik yang mempunyai bentuk tertentu atau dalam bentuk konfigurasi dan gabungan komponen-komponennya, yang tidak diketahui secara umum atau tidak memungkinkan akses terhadapnya oleh pihak-pihak yang berkecimpung di dalam lingkungan yang secara normal berhadapan dengan informasi tersebut.

Pemilik informasi ini juga harus menunjukkan upaya bahwa ia telah memperlakukan informasi itu sebagai rahasia dagang yang memiliki nilai ekonomis. Sesuai dengan ketentuan TRIPs, bahwa informasi tersebut harus memiliki nilai komersial karena kerahasiaannya, dan telah ditangani sedemikian rupa oleh pihak yang secara sah menguasainya dalam rangka menjaga kerahasiaannya itu.

Masalah rahasia dagang ini lebih lanjut diatur sebagai berikut:

“Member, when requiring, as a condition of approving the marketing of pharmaceutical or of agricultural chemical product which utilize new chemical entities, the submission of undisclosed test or other data, the origination of which involves a considerable effort, shall protect such data against unfair coomercial use. In addition, Member shall protect such data against disclosure, except where necessary to protect the public, or unless steps are taken to ensure that the data are protected against unfair commercial use.”

Perlindungan juga diberikan terhadap data yang diserahkan kepada pemerintah atau badan pemerintah, dalam hal ini pemerintah negara peserta yang mewajibkan diserahkannya rangkaian percobaan yang dirahasiakan atau data lain yang diperoleh sebagai syarat persetujuan pemasaran atau produksi farmasi baru atau produk kimia pertanian baru yang memanfaatkan unsur kimia baru. Pemerintah negara tersebut wajib memberikan perlindungan yang memadai agar data yang diserahkan kepadanya itu tidak digunakan secara komersial dan secara tidak adil. Dalam hal ini pemerintah tersebut harus melindungi dari kemungkinan publikasi atas data yang bersangkutan, kecuali jika diperlukan untuk melindungi masyarakat atau didasarkan atas jaminan bahwa data tersebut tidak akan disalahgunakan secara komersial.

Berkenaan dengan perlindungan rahasia dagang ini, TRIPs memberikan penekanan terhadap apa yang dimaksud praktik-praktik komersial yang tidak jujur seperti tertuang dalam ketentuan TRIPs yang mengatakan :

“For the purpose of this provision, “a manner contraty to honest commercial practices” shall mean at least practices such as breach of contract, breach of confidence and inducement to breach, and includes the acquisition of undisclosed information by third parties who knew, or were grossly negligent in failing to know, that such practices were involved in the acquisition.”

Dalam kalimat negatif dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan praktik-praktik komersial yang tidak jujur atau bertentangan dengan praktik-praktik komersial yang jujur adalah suatu tindakan yang paling tidak mencakup praktik berupa tindakan ingkar janji (wanprestasi atas suatu kontrak), wanprestasi atas kerahasiaan dan bujukan untuk melakukan wanprestasi, termasuk diperolehnya informasi yang dirahasiakan oleh pihak ketiga yang mengetahui atau yang sepatutnya mengetahui bahwa praktik-praktik tersebut terjadi dalam upaya untuk mendapatkan informasi tersebut. Masalah praktik persaingan curang ini pun diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebagai anggota World Trade Organization (selanjutnya disebut : WTO), maka Indonesia harus menyesuaikan semua ketentuan HAKI yang ada dengan ketentuan TRIPs, dengan catatan bahwa dalam hal ini harus sejauh mungkin diupayakan agar penerapan dan implementasi ketentuan TRIPs tersebut tidak merugikan kepentingan Indonesia. 

Khusus untuk rahasia dagang lahirnya UU No. 30 tahun 2000 menunjukkan bahwa Pemerintah telah membuat peraturan implementasi dalam bentuk undang-undang yang mengatur dan mengelompokkan rahasia dagang secara spesifik sebagai bagian dari HaKI sesuai dengan klasifikasi TRIPs.

Published in: on March 23, 2009 at 11:34 am  Comments (1)  
Tags: ,

BUTTERFLY EFFECT: [Antara Takdir, Relativitas Einstein, dan De Javu]

waktu

Bertemu kembali dengan Kayleigh, teman masa kecilnya yang begitu ia cintai memiliki kehidupan yang sangat suram dan berantakan, Evan bermaksud untuk merubah takdir kehidupan sang gadis pujaannya tersebut. Berbekal kemampuan otak yang berefleksi dengan jurnal catatan hidupnya, Evan dianugerahi kemampuan untuk mampu kembali ke masa lalu dan melakukan berbagai hal yang pada akhirnya akan merubah takdir masa depan orang-orang yang terlibat pada kehidupannya itu. Sukses untuk kembali ke masa lalu (masa kanak-kanaknya) dan merubah masa lalu Kayleigh yang menjadi biang kehancuran masa depannya, lalu Evan kembali lagi ke masa depan hidupnya, dimana ia terkejut dengan perubahan yang terjadi. Evan dan Kayleigh menjadi sejoli mahasiswa yang borjuis dan berbahagia, tentunya Evan senang, namun tidak hingga ia melihat realita kehidupan kampus yang sesungguhnya, dimana ia kehilangan teman-teman dan lingkungan yang (pada kehidupan sebelumnya) begitu respek padanya. Evan galau, karena ternyata takdir tidak bisa begitu saja ia pilih dan ia rancang, lantunan “Stop to crying your heart out” dari Oasis sebagai latar suara semakin menambah kesan kebimbangan dan kegalauan yang sedang dialaminya.

Kutipan di atas ialah salah satu bagian cerita dari Film “Butterfly Effect”, sebuah film bergenre science fiction yang saya akui hingga saat ini merupakan film terbaik yang pernah saya tonton. Diperankan dan diproduseri oleh Ashton Kutcher, film ini terkesan mkinimalis, tidak menyuguhkan scene-scene berkelas Hollywood, tidak ada effect gambar yang luar biasa, tidak ada pemeran kelas movie star ala Hollywood (hanya Ashton saja yang cukup punya nama, itupun karena film itu ia modali sendiri), tak ada dramatisasi visual melalui tayangan mewah ala Hollywood, bahkan adegan peledakan sebuah kotak surat pun hanya ditampilkan sebagai sebuah audio belaka tanpa visualisasi.

Bukan resensi, ataupun ulasan tentang film tersebut yang coba saya angkat di sini, tapi teori ilmiah yang menjadi latar dan pesan utama dari film tersebut, yakni teori chaos (yang kemudian Edward Norton Lorenz juga menyebutnya sebagai Butterfly Effect Theory), yang secara umum dapat digariskan dengan bahwa “satu kepakan sayap kupu-kupu di langit Indonesia bisa mengakibatkan badai Tornado di belahan dunia yang lain…”. Apa maksud dari bunyi teori tersebut?

Satu frase dasar yang dapat mengilustrasikannya ialah bahwa satu peristiwa kecil saja yang terjadi di masa yang lalu akan mampu memberikan perubahan yang begitu besar pada kehidupan kita saat ini. Pernah terbayang, apa yang terjadi saat ini apabila kita dahulu tidak memilih kampus di mana kita kuliah/lulus saat ini? Bagi yang lulus SPMB, apa yang terjadi saat ini apabila dulu kita salah mengerjakan 2 (dua) nomor saja saat ujian itu? Atau bahkan yang lebih ekstrim, apa yang terjadi saat ini andai dahulu ayah dan ibu kita ternyata tidak berjodoh? Sebuah perbedaan takdir yang maha dahsyat dan mencengangkan pastinya akan berkelahi di otak kita yang memikirkannya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah takdir bisa dirubah, Layaknya Evan di dalam film Butterfly Effect? Tanpa mendiskreditkan nilai-nilai agama, saya meyakini bahwa kembali ke masa lalu bukanlah sesuatu yang mustahil. What…???

relativitas

Coba simak teori relativitas Albert Einstein, yang menyatakan bahwa Manusia di dunia ini tidak memiliki ruang dan waktu yang absolute, namun seluruh ruang dan waktu yang manusia miliki ialah relatif, dimana segala hal yang dilakukan oleh manusia yang satu dengan yang lainnya ialah berbeda konfigurasi dengan kecepatan cahaya yang ada di bumi. Sebuah landasan teori yang kemudian melahirkan ide kontroversial Einstein tentang perjalanan waktu, yang pada intinya menyatakan bahwa sesungguhnya manusia bisa berpindah ruang dan waktu kehidupannya ke masa lalu maupun masa depannya. Meskipun dinyatakan kontroversial, namun harus diakui teori relativitas Einstein memang memiliki dasar dan presisi yang kuat di mata dunia scientific hingga saat ini.

Hipotesis yang cukup terkenal terkait dengan teori tersebut ialah hipotesis “paradoks kembar”, dimana hipotesis tersebut menyebutkan bahwa sepasang manusia kembar dipisahkan, dimana yang satu menjadi astronot untuk diterbangkan ke luar angkasa dengan kecepatan yang maha tinggi untuk menjelajahi galaksi dan kembali lagi ke bumi, sedangkan saudara kembarnya tetap berada di bumi. dari perjalanan sang astronot tersebut, meskipun kecepatannya roketnya mendekati kecepatan cahaya, tetap dibutuhkan 10.000 tahun untuknya agar kembali ke bumi setelah menjelajahi galaksi.  karena gerak relatifnya yang begitu tinngi, usia astronot tersebut akan lebih lama dibandingkan manusia-manusia lain di bumi, termasuk saudara kembarnya, hal mana dibuktikan dengan saat astronot tersebut kembali ke bumi, ia hanya lebih tua beberapa tahun sejak meroket dari bumi, sedangkan saudara kembarnya telah lama meninggal.

prediksi melambatnya waktu tersebut juga telah dibuktikan dengan eksperimen penerbangan jam-jam atomik menggunakan pesawat jet yang mengelilingi bumi, dari eksperimen tersebut diketahui bahwa jika manusia melakukan penerbangan mengelilingi bumi dengan arah keberangkatan ke timur, maka manusia tersebut akan lebih muda 59 nanodetik dibanding manusia yang tidak melakukan perjalanan sama sekali. Pembuktian lainnya dikemukakan oleh ahli astrofisika dari Princetown University di New Jersey, Dr. J. Richard Gott, yang menyatakan bahwa terdapat rekor dunia yang membuktikan hal tersebut, yakni Sergei Krikalev, seorang kosmonot Rusia yang kembali ke bumi setelah tinggal di stasiun antaraiksa Rusia Mir selama 748 hari, dimana terbukti bahwa usianya lebih muda seperlimabelasdetik dari pada ia tetap berada di bumi. sungguh logika yang semakin menguatkan hipotesa tentang mesin waktu einstein. namun melihat dari apa yang dilakukan oleh kosmonot tersebut, dapatlah terbayang bahwa berapa energi waktu yang diperlukan guna memundurkan waktu di bumi hingga hitungan tahunan, bahkan ratusan tahun hingga kita bisa kembali ke zaman perjuangan kerajaan-kerajaan dahulu. hal tersebut searah dengan kegagalan ekperimen yang dilakukan oleh Dr. Vadin A. Cernobrov, dimana eksperimennya terhadap mesin waktu gagal karena kurangnya energi yang dieksplorasi dalam eksperimen tersebut. apakah dugaan terhadap adanya mesin waktu telah pupus?

Sepertinya tidak, karena dalam perkembangannya, ahli-ahli fisika akhir-akhir ini yang semakin menegaskan bahwa mesin waktu sesungguhnya ada atau dapat diciptakan, dengan tetap berbasis pada teori relativitas yang pernah Einstein ungkapkan. Banyak pakar fisika dunia telah mempublikasikan hal tersebut, seperti Daniel Greenberger dari City University of New York dan Karl Svozil dari Vienna University of Technology di Austria. Sungguh sebuah fenomena yang mengundang perdebatan. Meskipun demikian, walau meyakini tentang teori tersebut, saya juga masih berpandangan bahwa kalaupun memang manusia mampu kembali ke masa lalunya, namun manusia tersebut tidak bisa serta merta untuk merubah takdir hidupnya yang sesungguhnya juga turut berkorelasi secara sinergis dengan takdir hidup orang lain. Sebagai contoh, apa yang akan terjadi bila saya merubah masa lalu saya? Dimana teman dan orang tua saya juga pastinya memiliki takdir yang dalam skrip takdir hidupnya saya juga memiliki peranan. simak saja ilustrasi saya berikut ini, jika seseorang (sebut saja Budi) memutar waktu puluhan tahun ke belakang dimana  kemudian ia membunuh orang tuanya jauh sebelum waktu ia lahir  (mirip dengan skenarionya video klip “permintaan hati” dari letto), lantas bagaimana dengan takdir Budi yang sesungguhnya (di waktu sebelum ia memutar balik waktu)? apakah Budi tetap ada di muka bumi, mengingat orang tuanya saja telah ia bunuh sebelum melahirkannya? dengan demikian tak akan ada budi yang melakukan perjalanan memutar waktu untuk kemudian membunuh orang tuanya. sungguh sebuah logika sirkulasi  hidup yang memusingkan…

Terlepas dari realistis atau tidaknya teori mesin waktu tersebut untuk diterapkan, saya masih merasa takjub dengan adanya fenomena ilmiah tersebut, dimana secara ilmiah manusia memiliki ruang dan waktu dimana mereka bisa saling berjalan di antaranya. Lantas bagaimanakah kaitannya fenomena ilmiah ini dengan de javu? Karena dalam film Butterfly Effect, akhir dari cerita film tersebut menampilkan scene dimana Evan dan Kayleigh berpapasan di tengah jalan, dimana Evan sangat mengetahui bahwa perempuan yang ia lihatnya itu ialah Kayleigh, gadis teman kecilnya, yang hidup sebagai akibat dari metamorfosa takdir yang ia ciptakan, sedangkan Kayleigh hanya menatap tipis dan tertegun seraya meyakini itu hanya sebuah de javu. Adakah korelasinya?

Pada dasarnya fenomena deja vu telah melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan apa yang menjadi latarnya. Namun satu yang paling membuat saya tertarik ialah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Could U believe it?

Terlepas dari eksitensi teori-teori psikologi dan teori penyakit degenaratif yang ada, saya melihat terdapat sebilah korelasi yang menarik untuk diperbincangkan antara fenomena takdir, relativitas, dan de javu itu sendiri. Pertanyaan konyol pertama yang saya munculkan ialah apakah kita pernah berfikir bahwa de javu yang kita rasakan merupakan sebuah manifestasi dari adanya pergeseran ruang dan waktu yang (secara tidak sadar) sesungguhnya pernah kita alami, atau dengan kata lain saat kita merasa “koq, kayanya saya pernah datang ke tempat ini sebelumnya ya, padahal ini pertama kali saya datang ke sini…”, padahal jangan-jangan kita memang pernah ke tempat itu sebelumnya, namun dengan ruang dan waktu yang berbeda dengan kehidupan kita sekarang… entahlah… belum lagi sewaktu saya pertama kali saya selesai menonton film Butterfly Effect, seorang teman (yang merekomendasikan film tersebut) berdiskusi dengan saya dan menyampaikan bahwa terdapat satu lagi teori yang cukup mengusik alam fikiran saya terkait teori di film tersebut, beliau menyampaikan (tanpa mengingat asal-usul dan nama ilmiah dari teori tersebut) bahwa orang yang mengalami gangguan kejiwaan (orang gila) sebenarnya punya kehidupannya sendiri yang tidak sejalan dengan ruang dan waktu kehidupan orang-orang yang lainnya, jadilah orang-orang gila tersebut “hidup” dalam kehidupannya sendiri. Hal ini terefleksi juga dari salah satu bagian cerita film Butterfly Effect dimana Evan sempat dianggap mengalami gangguan jiwa karena memiliki “kehidupan” yang variatif karena dirinya telah pernah beberapa kali memutar ruang dan waktu hidupnya sehingga akhirnya memiliki takdir dianggap sebagai orang gila. Untuk teori yang satu ini saya belum punya hipotesa yang dapat memperkeruh fenomenanya, tapi setidaknya ada beberapa poin yang saling berkorelasi secara sinergis dengan fenomena teori chaos sebagaimana yang saya uraikan.

Lantas apa hal mendasar yang dapat kita tarik dari pembahasan tersebut? tanpa melihat seberapa besar posibilitas realisasi dari mesin waktu maupun seberapa gigih para ilmuwan mewujudkan teori tersebut,  setidaknya saya dapat menggariskan sebuah hikmah yang menarik bahwa ialah begitu penting arti terjadinya suatu peristiwa sekecil apapun di kehidupan kita saat ini, karena kita takkan pernah tahu bagaimana manifestasinya peristiwa yang sepele tersebut untuk kehidupan kita, 5, 10, atau 20 tahun yang akan datang. Entah apa yang terjadi di negeri kita saat ini andai dulu Chaerul Saleh Dkk tidak menculik Soekarno di Rengasdengklok. Atau mungkin saja tragedy Tsunami Aceh 2004 tidak akan terjadi andai tidak ada aktivitas pengeboran sumur yang berlebihan di Pulau Jawa beberapa tahun sebelumnya. Kita tidak pernah tahu, tapi yang jelas selalu ada hukum aksi dan reaksi. So, pastikanlah setiap jengkal langkah hidup kita saat ini merupakan langkah yang tepat, tanpa celah, dan tanpa kesalahan fatal, demi terciptanya masa depan hidup yang searah dengan apa yang kita citakan selama ini.


Published in: on March 8, 2009 at 5:59 pm  Comments (5)  
Tags: , , , , , ,

Fenomena Reality Show di Indonesia

Dalam lensa hukum dan sosial yang (tidak) realistis

tvSeorang Bapak kepergok tengah berselingkuh dengan kekasih anak lelakinya, seorang pemuda yang telah lama dicari istrinya tertangkap basah tengah bercumbu dengan seorang waria di dalam sebuah mobil, dan seorang pengacara terungkap tabir perilakunya yang ternyata memiliki banyak istri di berbagai kota tanpa sedikitpun diketahui oleh istri-istrinya tersebut.

Tiga kutipan peristiwa di atas merupakan sebuah “peak moment” sebuah reality show investigatif tentang pencarian orang-orang yang (konon) telah hilang untuk waktu yang lama. Sebuah program reality show karya dari sebuah rumah produksi milik seorang entertainer yang belum lama ini gagal dalam pilkada suatu provinsi di tanah andalas telah begitu diminati oleh masyarakat Indonesia, termasuk saya (pada awalnya). Dua kali tayang di weekend plus durasi yang melebihi program reality show pada umumnya cukup membuktikan bahwa program tersebut telah mencuri perhatian masyarakat.

Tiga bagian cerita sebagaimana diuraikan di awal merupakan klimaks dari program reality show tersebut, dimana kemudian diikuti oleh closing dari 2 orang presenter (yang sepertinya tidak punya job lain lagi, karena divisualisasikan bahwa investigasi yang mereka lakukan dalam program itu berhari-hari bahkan hingga hitungan mingguan). Begitu selesai presenter menutup acara tersebut, munculah sebuah quotation yang selalu saya tunggu dan menyedot perhatian saya: “Tayangan ini telah mendapatkan persetujuan dari semua pihak yang terlibat”. What? Apa masyarakat bangsa ini sudah gila? Rela menggadaikan martabat dan harga dirinya demi sekedar tampil kurang dari 5 menit di televisi, dengan identitas yang “telanjang” serta dalam frame imej yang buruk pula…!! coba bayangkan saja tiga cerita yang saya sajikan di awal, apakah mungkin seluruh orang-orang yang menjadi objek cerita tersebut menyerahkan izin kisahnya kelamnya kepada kru produksi hingga menjadi sebuah tayangan yang mungkin saja dapat ditonton oleh seluruh masyarakat di negeri ini?

Berpijak pada quotation yang selalu timbul di akhir program tersebut, saya selalu saja bertanya, apa masyarakat bangsa ini sudah banci tampil yang gila sampai rela menggadaikan martabat hidupnya atau memang mereka memberikan izin atas sebuah kisah yang sesungguhnya tidak nyata alias rekayasa belaka!!!?

Reality Show dan Pengaruhnya

Pada konsepnya program televisi dirancang sebagai mass distribution for common experience, hal mana yang berarti bahwa informasi yang disiarkan dapat diterima oleh sejumlah masyarakat penonton pada saat bersamaan maupun tidak dengan lintas ruang sehingga penonton tersebut akan merasa memiliki pengalaman yang sama. Televisi memang memiliki porsi pengaruh yang cukup besar atau mungkin sangat besar saat ini terhadap masyarakat (bersaing dengan internet). Bagaimana sebuah opini publik dibentuk, bagaimana membelokan perhatian masyarakat dengan manuver-manuver fenomena sosial yang digambarkan begitu dramatis dan instensif, atau bahkan bagaimana seseorang yang tak bersalah bisa “di-labelkan” sebagai seorang yang bersalah dengan rangkaian visualisasi media televisi. Kita tidak akan pernah mengenal dan mendalami peristiwa yang terjadi seputar robot gedek, sumanto, atau yang teranyar si penjagal berdarah dingin Very Idam Heniansyah alias Ryan tanpa adanya sebuah kotak elektronik yang banyak orang menyebut sebagai televisi.

Pada dasarnya dalam suatu tayangan reality show melekat di dalamnya karakteristik Fidelity or Realism, yakni sebuah ciri yang menggambarkan perwujudan asli dari suatu peristiwa, seseorang, kejadian, dan proses, sehingga masyarakat yang menonton memiliki kepercayaan terhadap objek yang ditontonnya. Tolong di garis bawahi pada bagian SEHINGGA MASYARAKAT YANG MENONTON MEMILIKI KEPERCAYAAN TERHADAP OBJEK YANG DITONTONNYA, sungguh sebuah amanah yang berat pada program reality show. Lantas sudahkah tayangan-tayangan reality show di negeri ini mencerminkan karakteristik fidelity or realism sebagaimana diuraikan tersebut? Ketika tragedi ayah merebut kekasih anaknya, suami ternyata memiliki kelainan seksual, seorang pengacara yang ternyata berpoligami secara tidak sah, atau puluhan cerita dramatis dan di luar kelaziman lainnya ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, maka yang terjadi ialah transformasi paradigma kehidupan sosial di tengah masyarakat cepat ataupun lambat, belum lagi terhadap mereka yang masih di bawah umur dimana karakter imitatif mereka masih begitu kuat, jadilah sebuah transformasi wacana yang begitu masiv dan efektif.

Dengan masyarakat mempercayai apa yang ditayangkan oleh program-program reality show tersebut, maka secara sporadis maupun bertahap akan tumbuh paradigma di masyarakat bahwa hal-hal yang diungkap dalam tayangan-tayangan tersebut ialah cerminan kehidupan nyata masyarakat bangsa ini yang pada perkembangannya cepat atau lambat melahirkan wacana yang permisif atas fenomena-fenomena yang (konon)merupakan kisah nyata diungkap dalam tayangan-tayangan tersebut. Jika dahulu pemerintah mendukung program reality show yang bergenre kompetisi seperti Akademi Fantasi Indosiar (AFI) atau Indonesia Idol yang sukses menina bobokan masyarakat, mungkin kini daftar top ranking rating tayangan televisi yang dikuasai oleh program-program reality show bisa dijadikan indikasi bahwa tayangan reality show yang (konon) menampilkan kisah nyata masyarakat Indonesia akan memberikan efek jangka panjang yang (entahlah) seberapa signifikan terhadap perilaku masyarakat. Dan ingat, itu masih terlepas bahwa apakah sesunggunya tayangan-tayangan reality show tersebut memang nyata? Jika tidak, lengkaplah sudah bad impact yang diberikan oleh tayangan-tayangan tersebut untuk bangsa ini. Sinetron saja yang senyatanya kisah rekayasa sudah cukup memusingkan banyak kalangan, dari politikus, kaum adat, hingga alim ulama, sehingga kemudian lahir berbagai “asesoris” aturan tayangan sinetron, apalagi terhadap tayangan reality show yang (disinyalir) disiarkan dengan latar kebohongan namun berbungkus kisah nyata, karena perlu diingat bahwa reality show memiliki daya pengaruh yang lebih kuat dibanding sinetron.

Saya melihat ada fenomena salah kaprah dalam pengkreasian suatu program reality show di Indonesia, dimana unsur kebenaran dan kisah nyata atau Fidelity or Realism tidak lagi menjadi sebuah patokan, simak saja sejarah perkembangannya, dari mulai tayangan-tayangan yang menjual mistis dengan menantang setan, tayangan-tayangan penjebakan kelakuan buruk sesorang, atau tayangan-tayangan investigatif dan penyelesaian suatu masalah sebagaimana yang menjadi tren akhir-akhir ini. Lihatlah tayangan investigatif TM yang tayang dua kali setiap akhir pekan, dimana unsur rekayasanya sangat kental sekali. Simaklah setiap orang yang dijadikan target/sumber informasi pada tayangan tersebut, tidak pernah lepas dari make up, bahkan yang diset sebagai anak jalanan pun terlihat bermake up atau paling tidak dengan rambut yang di bleaching, belum lagi dengan interaksi-interaksi yang terangkai pada setiap subyek pada acara tersebut yang sangat lekat dengan corak akting. Bagi saya, saat ini yang paling menarik dari tayangan tersebut justru bukan ceritanya, namun rangkaian detail tayangan yang janggal untuk membuat masyarakat percaya bahwa kisah tersebut memang real, namun terlepas dari itu, satu yang tak bisa dipungkiri bahwa pada faktanya tayangan-tayangan itu sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, sungguh ironis. Sulit untuk menemukan program reality show seperti Survivor atau The Apprentice di negeri ini, karena para kreatornya pun terjebak dengan buaian pasar sehingga menafikan unsur utama yang seharusnya melekat pada sebuah tayangan reality show.

Peranan KPI dan SPS

Sudah banyak wacana yang berteriak tentang aspek ke-rekayasa-an program reality show di negeri ini, atau tak perlu rumit-rumit lah, simak saja reality show yang tengah tayang saat ini, dimana beragam kejanggalan menurut saya tidak sulit untuk ditemukan, lantas apakah hal tersebut merupakan sebuah hal yang lumrah dalam industri pertelevisian di Indonesia? Jika tidak, dimana peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap fenomena tersebut?

Pasal 3 Peraturan KPI tentang Standar Program Siaran (SPS) menyebutkan bahwa Lembaga penyiaran dalam menyajikan informasi program faktual wajib mengindahkan prinsip jurnalistik, yaitu akurat, adil, berimbang, ketidakberpihakan, tidak beritikad buruk, tidak mencampuradukan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Belum lagi ketentuan Pasal 50 yang tegas menyatakan bahwa Dalam menyelenggarakan suatu program siaran baik itu bersifat langsung (live) atau rekaman (recorded), lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi, sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subyek dan obyek berita. Kemudian muncul pertanyaan, dimana eksitensi ruang privasi itu berada dalam tren program-program reality show belakangan ini? Apakah itu yang disebut dengan implementasi prinsip jurnalistik? Atau memang tidak ada sesuatu yang real diangkat dalam program tersebut? lantas apa bedanya dengan core characteristic yang terdapat pada sinetron?

Sangat terlihat bahwa pengangkatan kisah-kisah nyata seseorang yang sangat menyerempet privasi orang lain tidak dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan aturan penyiaran, simak ketentuan Pasal 51 SPS sebagai berikut:

Pelaporan mengenai masalah kehidupan pribadi dan hal-hal negatif dalam keluarga, misalnya konflik antar anggota keluarga, perselingkuhan, dan perceraian, disajikan dengan mengikuti syarat-syarat berikut:

a. tidak dilakukan dengan niat merusak reputasi obyek yang diberitakan;

b. tidak dilakukan dengan cara yang justru memperburuk keadaan, atau memperuncing konflik yang ada;

c. tidak dilakukan dengan cara yang mendorong berbagai pihak yang terlibat dalam konflik mengungkapkan secara terperinci aib dan atau kerahasiaan masing-masing pihak yang berkonflik;

d. tidak dilakukan dengan menyajikan informasi tentang perilaku seks secara terperinci;

e. harus memperhatikan dampak terhadap keluarga, terutama anak-anak dan remaja, yang mungkin ditimbulkan oleh pelaporan;

f. harus berdasarkan fakta dan data;

g. pembawa acara atau narator tidak menjadikan laporan konflik keluarga sebagai bahan tertawaan dan/atau bahan cercaan;

h. pembawa acara atau narator dilarang mengambil kesimpulan secara tidak proporsional, menghakimi, dan/atau mengambil sikap berpihak kepada salah satu pihak yang berkonflik;

i. pembawa acara atau narator tidak boleh menggiring opini khalayak ke arah yang menjatuhkan martabat obyek yang diberitakan.

Belum lagi dengan praktek perekaman secara tersembunyi (candid camera) yang seringkali dilakukan dan tidak jarang membuat murka objek yang menjadi target rekaman. SPS sudah mengatur bahwa perekaman tersembunyi hanya diizinkan bila siaran tersebut memiliki nilai kepentingan publik yang tinggi, dan kepentingannya jelas yakni tidak untuk merugikan pihak tertentu. Adapun yang dimaksud dengan kepentingan publik ialah dimana terdapat bukti atau dokumentasi atas sebuah perilaku atau niat dan/atau upaya untuk melakukan pelanggaran atau dimana wartawan dapat menunjukkan bahwa pendekatan terbuka tidak akan berhasil, dan rekaman tersebut digunakan untuk tujuan pembuktian. See? apakah tayangan-tayangan reality show yang tengah beredar saat ini telah merefleksikan hal tersebut? Belum lagi dengan tidak diterapkan salah satu ketentuan yang mengatur tentang hak si objek penjebakan, dimana SPS telah mengatur bahwa orang yang menjadi objek perekaman tersembunyi memiliki hak untuk menolak hasil rekaman yang telah diambil untuk disiarkan dan bahkan si objek atau korban juga berhak untuk meminta penghentian perekaman tersebut, dimana di sisi lain lembaga penyiaran wajib untuk memenuhi permintaan tersebut. It’s clear enough…!

berdasar pada uraian tersebut, kemudian saya menghasilkan 2 (dua) buah pertanyaan untuk kemudian kita cermati dan renungkan (karena jika langsung menjawab, biasanya kita akan lantas berhenti berelaborasi), yang pertama ialah dimana taring KPI terhadap berlangsungnya fenomena tersebut? jika kemarin KPI sukses untuk ”menundukan” Trans 7 dalam penghentian tayangan ”Empat Mata”, yang kemudian diakali dengan munculnya ”Bukan Empat Mata” (ujung-ujungnya KPI juga yang kalah…), maka kini patut untuk dipertanyakan mengenai peranannya terhadap fenomena reality show di negeri ini. Pura-pura tidak tahu atau memang terbentur aspek bisnis privat? Premis kedua ialah sekedar mengajak merenung saja, bahwa dibalik balutan lembutnya yang menyenangkan sesungguhnya tayangan reality show di negeri ini patut untuk difiltrasi juga oleh para penontonnya, terlebih jika nanti terbukti adanya unsur rekayasa pada tayangan-tayangan tersebut, jadilah negeri ini terbelah menjadi dua unsur masyarakat, yang membohongi (sebagai konsekwensi KPI bisa juga nih dikualifisir ke dalam bagian ini) dan yang terbohongi (Mass victims). Sepertinya pemerintah kita patut untuk meniru langkah Federal Comunication Comission (FCC), KPI-nya Amerika Serikat, yang menjatuhkan hukuman terhadap pembuat reality show yang terbukti telah memproduksi acara yang penuh rekayasa dan dibuat-buat. Terlepas dari itu semua, untuk saat ini dan dengan menafikan semua dampak yang saya uraikan, saya kira menonton tayangan reality show memang lebih realistis dibanding menyaksikan sinetron yang semakin lama semakin menjenuhkan, jelas lebih baik reality show, ceritanya dramatis, (seolah) real, dan selesai dalam 1 (satu) episode. Setuju? Selamat menikmati…

Published in: on March 8, 2009 at 5:53 pm  Comments (1)  
Tags: , , , ,

Eksistensi Etnis Tionghoa Sebagai Socially Weak Victims [Sebuah Studi Viktimologi]

mei-98Etnis Tionghoa, sebagai kaum minoritas di Republik Indonesia yang seringkali menjadi objek kejahatan. Berdasar kepada Sensus penduduk tahun 2000, jumlah etnis Tionghoa sekitar 1,8 juta, atau 0,91% dari total jumlah penduduk Indonesia, jumlah yang semakin menegaskan eksistensinya sebagai etnis minoritas. Dan menarik untuk dikaji bagaimana kedudukan seorang korban yang berasal dari etnis Tionghoa dalam sebuah peristiwa kejahatan dimana tindak kejahatan tersebut terjadi karena status korban yang merupakan seorang etnis minoritas. Analisa dalam tulisan  ini berdasar pada klasifikasi korban menurut Schafer yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai socially weak victims, yaitu kaum minoritas yang memiliki posisi ssosial lemah dalam tatanan masyarakat dan memiliki tendensi yang cukup tinggi untuk menjadi korban ataupun dieksploitasi oleh elemen kejahatan.

Dan melalui tulisan ini penulis coba menganalisa eksistensi korban dari kaum minoritas dalam kaitannya dengan studi ilmu viktimologi. Karena pada dasarnya Viktimologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dan segala aspeknya, namun pengertian korban disini sangatlah luas, yaitu tidak hanya korban tindak kejahatan namun juga korban dari kebijakan pemerintah. Dan penulis mencoba menuangkan ide pemikirannya mengenai kedudukan korban dari etnis minoritas yang tidak terlepas dari pengaruh kebijakan pemerintah yang sangat signifikan.

Selain itu penulis juga coba mengkaji lebih lanjut mengenai peranan tanggung jawab pemerintah terhadap adanya fenomena kejahatan yang menimpa etnis Tionghoa baik yang berifat riil maupun abstrak. Karena jika kita mengkaji eksistensi etnik Tionghoa berdasarkan sudut pandang historis, maka akan semakin memperjelas dan menegaskan peranan pemerintah dalam mengarahkan kedudukan etnis minoritas.

Berdasar pada perspektif sejarah kita bisa menganalisa bahwa eksistensi etnis Tionghoa sebagai korban tidak bisa dilepaskan dari peranan maupun andil pemerintahan yang berlaku pada masa itu. Mengutip pernyataan dari Schafer yang mengungkapkan bahwa etnis Tionghoa sebagai kaum yang memiliki posisi lemah di masyarakat, dan apabila suatu peristiwa kejahatan menimpa dirinya, maka pertanggung jawaban atas tindak pidana dibagi antara pelaku dengan masyarakat, karena masyarakat dianggap bertanggung jawab terhadap adanya prasangka terhadap berbagai kelompok yang secara sosial lemah. Namun setelah menganalisa berbagai aspek mengenai keberadaan etnis Tionghoa dan dalam kaitannya dengan studi Viktimologi, maka penulis berani berkesimpulan bahwa Pemerintah turut bertanggung jawab terhadap peristiwa kejahatan yang menempatkan kaum Tionghoa sebagai korban baik secara langsung maupun tidak.

Secara luas Viktimologi merupakan ilmu yang tidak hanya mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan namun juga korban dari suatu penyalahgunaan kekuasaan politik. Berpijak pada ketentuan tersebut maka penulis mencoba menganalisis eksistensi etnis Tionghoa sebagai korban kejahatan baik secara langsung maupun tidak, yaitu karena adanya kebijakan dari pemerintahan yang berkuasa.

Tentunya kita masih mengingat peristiwa Mei 1998 dimana etnis Tionghoa sebagai kaum minoritas menjadi objek utama dari terjadinya peristiwa kejahatan yang merupakan substansi utama dari terjadinya peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemusnahan segala hal yang beratribut Tionghoa, penganiayaan, pembunuhan, maupun pemerkosaan terhadap kaum perempuan etnis Tionghoa merupakan sample yang utama dan sangat efektif untuk mendeskripsikan kedudukan mereka sebagai korban dari suatu fenomena kejahatan secara langsung. Sesungguhnya fenomena kejahatan pada peristiwa Mei 1998 yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai korban utama tidak bisa dilepaskan dari apa yang telah dilakukan ataupun dikonsep oleh Pemerintahan yang berkuasa baik pra maupun pasca kejadian.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa etnis Tionghoa telah menjadi etnis yang paling dirugikan di masa pemerintahan rezim Soeharto. Penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa (termasuk penutupan sekolah Tionghoa, pembubaran organisasi etnik Tionghoa dan pemberedelan mass media Tionghoa) serta simbol-simbol dan adat istiadat etnik Tionghoa merupakan segelintir contoh dari fenomena yang terjadi di masa kekuasaan Soeharto. Tidak hanya itu, kedudukan etnis Tionghoa yang memiliki kedudukan ekonomi yang relatif lebih tinggi dari pribumi dijadikan tameng alasan untuk menekan keberadaan mereka bahkan pada tingkatan yang lebih tinggi lagi seperti penganiayaan bahkan pembunuhan. Dan banyak persepsi yang menempatkan hal tersebut sebagai alasan utama di balik terjadinya peristiwa Mei 1998. Ironisnya pemerintah pada masa itu seolah memberikan legalisasi secara terselubung kepada mereka yang memang ingin menekan kaum minoritas, yaitu etnis Tionghoa.

Kedudukan etnis Tionghoa sebagai korban merupakan produk utama dari politik asimilasi yang diterapkan pada masa itu. Dan seolah-olah etnis Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen ( Foreign Oriental ) yang dianggap bukan merupakan bagian dari nasion Indonesia. Dan hal itu semua tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan tanggung jawab pemerintah yang eksis pada masa itu.

Penjelasan itu bisa merepresentasikan kedudukan etnis Tionghoa sebagai korban yang tercipta karena adanya penyalahgunaan kekuasaan politik yang dilakukan rezim pemerintahan pada masa itu. Tidak bisa bergerak secara luas dan tidak bisa beraktifitas secara leluasa yang merupakan dasar dari ajaran agama yang mereka anut merupakan stereotipe fenomena kejahatan yang mereka derita. Merujuk pada penjelasan Separovic ada beberapa point tentang kebutuhan korban yang tidak diperoleh secara proporsional yaitu, kebutuhan keamanan, kebutuhan untuk menghilangkan perasaan takut terhadap kejahatan, dan kebutuhan perlindungan dari pemerintah/negara. Hal itu semakin mempertegas kedudukan etnis Tionghoa sebagai korban yang seharusnya mendapatkan kedudukan yang lebih layak menurut studi viktimologi.

Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah sebagai salah satu pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap etnis Tionghoa sebagai korban dari keberadaannya sebagai kaum minoritas yang memiliki posisi sosial lemah. Karena pemerintah yang memiliki kewenangan, tidak mampu memberikan perlindungan yang layak kepada etnis Tionghoa sebagai korban dari suatu rangkaian peristiwa yang notabenenya merupakan efek dari kebijakan-kebijakan yang pemerintah keluarkan.

 

Published in: on March 8, 2009 at 5:09 pm  Leave a Comment  
Tags: , ,

Korelasi Antara Kecelakaan Kerja Dengan Manajemen K3 Dalam Hukum Perburuhan di Indonesia

kecelakaan-kerja Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Subdirektorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Depnakertrans, bahwa dari tahun 2002 hingga 2005 di Indonesia terjadi 78.000 kasus kecelakaan kerja, 5.000 orang di antaranya meninggal dunia. Data yang diumumkan itu tidak terlalu mengejutkan banyak orang. Karena pada dasarnya menurut hemat penulis aplikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K-3) di Indonesia memang sangat buruk. Di kawasan ASEAN saja, Indonesia masih kalah dari Vietnam. Mungkin saja angka itu hanya yang tampak di permukaan atau yang sempat tercatat di Depnakertrans. Tingkat kecelakaan kerja yang tidak dilaporkan mungkin jauh lebih banyak. Soalnya, pengawas keselamatan kerja tidak mungkin bisa mengawasi semua industri dan bidang pekerjaan berisiko tinggi di seluruh pelosok tanah air.

Menurut Kepala Subdirektorat Pengawasan Lingkungan Kerja Indonesia seperti yang dimuat pada Harian Umum Pikiran Rakyat 21 Maret 2007, halaman 6 Depnakertrans hanya memiliki 1.760 pengawas yang harus memonitor pekerja dan bidang pekerjaan di 170.000 perusahaan. Jumlah itu sudah termasuk pengawas yang melaksanakan pekerjaan di kantor atau di tempat lain yang bukan di lapangan. Tenaga pengawas yang langsung mengawasi pelaksanaan K-3 di lapangan, hanya 200-300 orang.

Menurut persepsi penulis, lemahnya pengawasan berakibat meningkatnya kasus kecelakaan kerja. Keamanan, kesehatan, dan kenyamanan kerja di berbagai bidang pekerjaan di Indonesia menjadi sesuatu yang dianggap mewah. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja sering terabaikan. Pada dasarnya perkembangan dan pertumbuhan suatu bangsa, baik sekarang maupun yang akan datang tentunya tidak bisa lepas dari peranan proses industrialisasi. Maju mundurnya suatu industri sangat ditunjang oleh peranan tenaga kerja. Dalam membangun tenaga kerja yang produktif, sehat, dan berkualitas perlu adanya manajemen yang baik, khususnya yang berkait dengan masalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

K3 yang termasuk dalam suatu wadah higene perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes) terkadang terlupakan oleh para pengusaha. Betapa tidak? Sebab, K3 mempunyai tujuan pokok dalam upaya memajukan dan mengembangkan proses industrialisasi, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan para buruh. Jika kita coba uraikan tujuan dari manajemen K3, antara lain; Pertama, sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya, baik buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, atau pekerja-pekerja bebas. Kedua, sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit dan kecelakaan-kecelakaan akibat kerja, pemeliharaan, dan peningkatan kesehatan, dan gizi tenaga kerja, perawatan dan mempertinggi efisiensi dan daya produktivitas tenaga manusia, pemberantasan kelelahan kerja dan penglipat ganda kegairahan serta kenikmatan kerja. Lebih jauh sistem ini dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat sekitar suatu perusahaan agar terhindar dari bahaya pengotoran oleh bahan-bahan dari proses industrialisasi yang bersangkutan, dan perlindungan masyarakat luas dari bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh produk-produk industri.

Dalam konteks ini, kiranya tidak berlebihan jika K3 dikatakan merupakan modal utama kesejahteraan para buruh/tenaga kerja secara keseluruhan. Selain itu, dengan penerapan K3 yang baik dan terarah dalam suatu wadah industri tentunya akan memberikan dampak lain, salah satunya tentu sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Di era pasar bebas tentu daya saing dari suatu pro-ses industrialisasi semakin ketat dan sangat menentukan maju tidaknya pembangunan suatu bangsa.

Dalam pasar bebas tingkat ASEAN saja, yang dikenal dengan istilah AFTA (ASEAN Free Trade Area) sangat membutuhkan peningkatan produktivitas kerja untuk dapat bersaing dan mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi. Untuk itu, penerapan peraturan perundang-undangan dan pengawasan serta perlindungan para buruh/ karyawan sangat memerlukan sistem manajemen industri yang baik dengan me-nerapkan K3 secara optimal. Sebab, faktor kesehatan dan keselamatan kerja sangat mempe-ngaruhi terbentuknya SDM yang terampil, profesional, dan berkualitas dari tenaga kerja itu sendiri.

Hingga kini masih banyak kasus kecelakaan kerja yang terjadi di negara kita. Itu bisa menjadi modal utama dalam upaya menjadikan sistem ini sebagai langkah awal. Dalam kaitan ini peranan pemerintah dan beberapa instansi terkait diharapkan bisa menekan tingkat kecelakaan dan memberikan perlindungan maksimal terhadap tenaga kerja, dalam hal ini buruh. Sebab, proses industrialisasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemajuan di sektor ekonomi. Inilah sebenarnya yang perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan para pengusaha di negeri ini.

Deskripsi Mengenai Manajemen K3

Dalam pasar bebas yang marak dengan berbagai persaingan, penerapan manajemen K3 sangat penting untuk dijalankan dengan baik dan terarah. Proses industrialisasi merupakan “syarat mutlak” dalam pembangunan di negeri ini. Pengalaman di negara-negara lain mewujudkan bahwa tren suatu pertumbuhan dari sistem K3 adalah melalui fase-fase, yaitu kesejahteraan, produktivitas kerja, dan toksikologi industri.

Sekarang ini, K3 sebagaimana halnya aspek-aspek tentang pengaturan tenaga kerja, terutama para buruh pada umumnya sedang berada pada fase ‘kesejahteraan’. Mungkin setelah tercapainya kestabilan politik, hukum, dan ekonomi, kita bisa memulai menginjakkan kaki ke fase produktivitas kerja. Sedangkan fase toksikologi industri, cepat lambatnya dicapai tergantung kepada kemampuan untuk mengembangkan perindustrian pada umumnya.

Penerapan pengaturan perundang-undangan dan pengawasan serta perlindungan para buruh merupakan prinsip dasar dalam sistem manajemen ini. Kesehatan dan keselamatan kerja yang disesuaikan dengan “sistem ergonomi” ( penyesuaian beban kerja/alat kerja dengan kemampuan dan fisik pekerja), merupakan salah satu usaha untuk mencetak para buruh yang produktif dengan peningkatan SDM yang profesional dan handal.

Agar buruh (buruh pabrik, misalnya) dapat terjamin keadaan kesehatan dan produktivitas kerja setinggi-tingginya, maka perlu keseimbangan yang menguntungkan dari faktor beban kerja, beban tambahan akibat lingkungan kerja dan kapasitas kerja. Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban dimaksud mungkin fisik, mental atau sosial.

Seorang pekerja berat, seperti pekerja bongkar dan muat barang di pelabuhan, tentu lebih banyak beban fisiknya dari pada beban mental atau sosial. Sebaliknya, seorang pengusaha, mungkin beban mentalnya relatif lebih besar. Begitu pula petugas sosial, tentu lebih menghadapi beban-beban sosialnya.

Gangguan-gangguan pada kesehatan dan daya kerja akibat berbagai faktor dalam pekerjaan bisa dihindari. Asal saja pekerja dan pihak pengelola perusahaan ada kemauan dalam me-ngantisipasi terjadinya kecelakaan kerja. Tentunya perundangan tidak akan ada faedahnya, apalagi pemimpin perusahaan atau industri tidak melaksanakan ketetapan-ketetapan perundangan itu.

Korelasinya Dengan Kesejahteraan buruh

Secara prinsip modal utama dalam upaya mensejahterakan para buruh, bukan saja terletak dari tingkat pendapatan (upah) yang diberikan pihak perusahaan. Namun, faktor-faktor lainnya cukup mempunyai peranan penting, yaitu adanya perhatian dari para pengusaha berkaitan dengan masalah kesehatan dan adanya jaminan keselamatan kerja.Kesegaran jasmani dan rohani adalah merupakan faktor penunjang untuk meningkatkan produktivitas seseorang dalam bekerja. Kesegaran tersebut dimulai sejak memasuki pekerjaan dan terus dipelihara selama be-kerja, bahkan sampai setelah berhenti bekerja. Kesegaran jasmani dan rohani tidak saja pencerminan kesehatan fisik dan mental, tetapi juga gambaran adanya keserasian penyesuaian seseorang dengan pekerjaannya, yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan, pengalaman, pendidikan dan pengetahuan yang dimilikinya.

Published in: on March 8, 2009 at 4:05 pm  Comments (1)  
Tags: , ,

Masyarakat Indonesia Yang Tax Minded (Telaah Kritis Terhadap Pencapaian Utopis Dari Pajak Indonesia)

tax Pada dasarnya, pajak yang sering juga disebut fiskal merupakan kewenangan dari pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, dan hukum pajak sendiri bisa dikatakan merupakan bagian dari hukum publik. Secara frontal dapat dikatakan bahwa pajak merupakan sebuah pengambilan hak privat rakyat demi penyelenggaraan negara. Dengan berbagai rangkaian dalam pemungutannya sesungguhnya pajak memiliki suatu pencapaian yang fundamen yaitu untuk menciptakan masyarakat yang tax minded, atau masyarakat yang bergantung pada perputaran pajak di negerinya, secara tidak langsung menyiratkan sebuah cita-cita masyarakat yang tunduk pada pajak sepenuhnya.

Tapi nampaknya target tersebut hanyalah sebuah pencapaian yang utopis, yang artinya merupakan pencapaian yang sangat ideal namun tidak mungkin terealisasi. Secara tegas saya bisa mengatakan bahwa faktor sosiologis yang sangat kultural telah mendasari reasoning tersebut. Karena berdasar dari ilmu perkuliahan yang saya peroleh dikatakan bahwa pajak juga memiliki aspek sebagai gejala sosial, dimana masyarakat yang bersifat gemeinschaft memiliki pluralisme hak dan kewajiban yang bergerak menjadi sebuah kepentingan umum yang harus pemerintah emban dan penuhi, dimana artinya pemerintah memiliki kewajiban untuk memajukan kepentingan umum tersebut dari pajak yang telah dipungut dari rakyat. Namun gagalnya pemerintah dalam mengelola hasil pajak menjadi sebuah income yang berguna bagi rakyat telah membuat masyarakat apatis terhadap eksistensi dan fungsional pajak. Terlalu banyak penyalahgunaan dan trik-trik kotor dalam lahan basah pajak yang dilakukan oleh aparatur negara telah membuat perputaran hasil pajak menjadi tidak mampu direalisasikan menjadi sebuah keuntungan konkrit bagi rakyat. Secara ekonomi terlihat bahwa buruknya iklim dalam aspek mikro maupun makro ekonomi tidak mampu terakomodir oleh eksistensi pajak yang seharusnya bersifat lebih aspiratif. Ditambah lagi terlalu seringnya terjadi perubahan peraturan membuat iklim perekonomian baik makro maupun mikro sulit untuk berkembang pesat. Berangkat dari hal-hal tersebut sangat wajar bila masyarakat telah menanggalkan harapannya terhadap pajak, atau dengan kata lain tak akan ada masyarakat yang bergantung akan pajak.

Published in: on March 8, 2009 at 3:58 pm  Leave a Comment  
Tags: ,

Telaah Terhadap Efektivitas Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS)

bkn Secara relatif penulis dapat beranggapan bahwa birokrasi di Indonesia adalah birokrasi multi komplikatif. Birokrasi multi komplikatif tidak lain disebabkan karena faktor lemahnya kualitas dari kinerja pegawai negeri sipil di Indonesia, yang notabenenya berperan sebagai ”operator” dari birokrasi tersebut. Presiden juga menyatakan bahwa dirinya enggan menaikkan gaji PNS karena dinilai kurang produktif dengan indikasi pelayanan yang diberikannya dinilai lamban dan berbelit-belit (tapi pada akhirnya Pada Maret 2009 justru Presiden sendiri yang memutuskan bahwa gaji PNS naik sebesar 15%). Birokrasi PNS sebagai birokrasi yang multi komplikatif bukan hanya isu belaka karena hampir 60% PNS bekerja serabutan dan tanpa punya keinginan dan motivasi kuat untuk bekerja secara profesional sebagaimana dinyatakan sendiri oleh mantan Menpan, Feisal Tamim. Menurut Feisal, PNS yang profesional yang bekerja di instansi pemerintah hanya 40% saja.

Beberapa kritikan pedas terhadap kinerja PNS dan sistem birokrasinya hendaknya dapat memacu instansi terkait untuk sesegera mungkin mereformasi manajemen PNS karena data base PNS sudah dimiliki dengan telah selesainya kegiatan sensus kepegawaian melalui Pendaftaran Ulang PNS (PUPNS) tahun 2003. Masyarakat sedang menunggu apa gerakan Menpan selanjutnya untuk memperbaiki citra PNS dan birokrasi yang makin merosot. Apalagi dengan adanya data kuantitatif dalam artikel yang menyatakan bahwa 55% PNS memiliki kinerja yang buruk. Sungguh suatu realita yang ironis.

Ada beberapa usulan untuk merubah birokrasi multi komplikatif menjadi birokrasi yang efektif dan efisien. Di antaranya, pertama, kebijakan zero growth harus segera diganti dengan kebijakan reduction growth. Kedua, kekurangan jumlah PNS di suatu departemen dapat dipenuhi dari departemen lainnya. Ketiga, struktur gaji PNS dibenahi dengan menerapkan merit system. Keempat, penyusunan kriteria dan indikator kinerja untuk masing-masing instansi pemerintah harus segera dilaksanakan dikaitkan dengan Laporan Kinerja Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP), dan terakhir, pejabat yang dipilih untuk jabatan tertentu harus dipertimbangkan kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitasnya.

Di Indonesia gaji bukanlah penghasilan karena gaji merupakan upah yang diperoleh seseorang dari pekerjaan “tetapnya”. Sedangkan penghasilan adalah seluruh pendapatan yang dia peroleh dari pendapatan yang pertama (gaji) tadi plus pendapatan-pendapatan lain yang diperoleh dari pekerjaan-pekerjaan tambahan. Dikatakannya juga bahwa besar kecilnya penghasilan PNS sangat bergantung kepada fasilitas dan fasilitas tersebut sangat terkait dan melekat dengan jabatan.

Jadi pernyataan bahwa jabatan itu suatu amanah adalah suatu hal yang bisa dibilang nyaris mustahil dibuktikan dan akal-akalan belaka karena tanpa suatu jabatan sulit dibedakan antara penghasilan seorang dosen bergelar doktor dengan seorang satpam lulusan SLTA. Hal ini menjadi faktor penyebab utama mengapa banyak orang pintar yang menduduki jabatan tertentu di suatu departemen, tetapi hanya bisa mengangguk-angguk sebagai tanda pemberian konfirmasi atas semua usulan atasannya karena takut kehilangan jabatan yang sedang didudukinya. Walaupun hati kecilnya jelas-jelas mengatakan bahwa kebijakan yang diambil atasannya adalah suatu kebijakan yang tidak rasional dan sangat amat memalukan jika harus dikeluarkan dan kemudian dibaca atau dimengerti oleh pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal inilah yang serta merta membuat kinerja pegawai negeri tersebut menjadi cenderung tidak berkualitas, bahkan bisa berdampak pada pegawai-pegawai tingkatan lainnya yang berhubungan.

Kesan takut kehilangan jabatan dapat dimengerti sepenuhnya karena hanya negara Indonesia dari negara-negara yang ada di dunia yang memberikan tunjangan jabatan pejabatnya sebesar 1-4 kali lebih besar dari gaji resminya. Rasa takut kehilangan jabatan inilah yang membuat para doktor dan akademisi sebagai pejabat penting di suatu departemen menjadi gagap dan gugup serta kelihatannya dungu dalam menerapkan dan mengamalkan bidang ilmu yang dikuasainya untuk memperbaiki kekeliruan dalam perumusan suatu kebijakan di instansi tempatnya mengabdi.

Oleh karena itu, untuk mengurangi usaha perburuan jabatan, hendaknya dalam seleksi penetapan pejabat dilakukan secara adil, transparan, dan profesional. Sehingga pejabat terpilih benar-benar mampu (profesional) dan tepat untuk jabatan tersebut. Ciri utama pejabat profesional adalah tidak pernah memiliki rasa takut kehilangan jabatan karena jabatan tersebut bukan segala-galanya. Yang bersangkutan yakin betul dapat hidup dari profesi yang digelutinya. Usulan fit and proper test untuk semua jabatan publik patut dipikirkan karena kenyataannya kasus-kasus suap dan pungli terjadi pada lini paling bawah dengan dalih minta uang rokok/uang lelah.

Dalam Undang-undang 43 Tahun 1999 antara lain dinyatakan bahwa sebagai unsur aparatur negara Pegawai Negeri Sipil harus memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional. Ciri- ciri profesional adalah memiliki wawasan yang luas dan dapat memandang masa depan, memiliki Kompetensi di bidangnya, memiliki jiwa berkompetisi/bersaing secara jujur dan sportif, serta menjunjung tinggi etika profesi.

Dua kata kunci yaitu Kompetensi dan etika Profesi adalah Basic prerequisite dari profesionalisme yang harus ditetapkan landasan dasarnya dalam rangka pembangunan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil. Kompetensi adalah sebagai tolok ukur seseorang untuk menduduki jabatan tertentu, sedangkan etika profesi unsur aparatur negara. Oleh karena itu untuk dapat membentuk Pegawai Negeri Sipil yang profesional perlu ditetapkan standar kompetensi jabatan dan kode etik Pegawai Negeri Sipil.

Yang dimaksud dengan kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif, dan efisien. Sedangkan pengertian kompetensi adalah persyaratan kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang Pegawai Negeri Sipil dalam pelaksanaan tugas organisasi.

Adapun pengertian kode etik Pegawai Negeri Sipil adalah kewajiban, tanggungjawab, tingkah laku, dan perbuatan sesuai dengan nilai-nilai hakiki profesinya yang dikaitkan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat serta pandangan hidup Bangsa dan Negara Indonesia.

Sebagai panduan bagi instansi untuk menyusun standar kompetensi melalui Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003 telah ditetapkan Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan Struktur Pegawai Negeri Sipil yang pada akhir tahun 2004 seluruh instansi baik Pusat maupun Daerah telah dapat menyelesaikan standar kompetensi jabatan di setiap wilayahnya.

Disamping itu pada saat ini telah dirancang Peraturan Pemerintah mengenai kode etik Pegawai Negeri Sipil yang pada hakikatnya mengatur tentang nilai-nilai perilaku kedinasan Pegawai Negeri Sipil, baik sebagai profesional maupun sebagai aparatur negara.

Materi Nilai-nilai Perilaku Kedinasan antara lain :

1. Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya wajib berusaha meningkatkan kemampuan, pengetahuan, dan profesionalisme di bidang tugasnya.

2. Pegawai Negeri Sipil karena kedudukan atau jabatannya wajib menyimpan informasi resmi negara yang sifatnya rahasia.

3. Pegawai Negeri Sipil wajib mentaati dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya segala Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kedinasan yang berlaku.

4. Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.

5. Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya senantiasa mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam rangka penegakan kode etik dibentuk komisi kehormatan Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai fungsi untuk menjabarkan lebih lanjut kode etik Pegawai Negeri Sipil, didalam implementasi penugasannya melakukan pemantauan dan pengendalian perilaku Pegawai Negeri Sipil yang melanggar kode etik serta merekomendasikan pada pejabat pembina kepegawaian dalam rangka pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan selanjutnya.

Untuk itu pada saat ini sedang disusun Rencana Peraturan Pemerintah tentang Penilaian Pegawai Berbasis Kinerja dengan tujuan untuk :

1. Memperoleh gambaran langsung tentang kinerja seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas pokoknya;

2. Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat kinerja, baik yang berasal dari individu Pegawai Negeri Sipil maupun unit kerja lain atau instansinya, yang dapat digunakan sebagai input bagi perbaikan atau peningkatan kinerja Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sekaligus bagi penyerpurnaan aspek manajemen dan organisasi dari unit kerja atau instansi dimana Pegawai Negeri Sipil itu bekerja.

3. Memeberikan gambaran tentang kinerja unit kerja dan instansi dimana Pegawai Negeri Sipil tersebut bekerja, dan mencari jalan keluar untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja unit kerja dan instansinya.

Penilaian Pegawai Negeri Sipil berbasis kinerja dilaksanakan melalui Pendekatan hasil dan Pendekatan Kualitan. Kedua pendekatan ini dikombinasikan dalam salah satu pendekatan yang disebut dengan Pendekatan Pencapaian Tujuan/Target, artinya penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil, yang didasarkan pada target dan telah disepakati atau ditentukan terlebih dahulu.

Adapun standar penilaian kinerja yang digunakan meliputi aspek-aspek sebagai berikut :

1. Aspek Kuantitas, menggambarkan kesepakatan tentang jumlah barang yang dihasilkan, atau jumlah pelayanan atau jasa yang diberikan dalam pelaksanaan suatu tugas pokok seorang Pegawai Negeri Sipil pada periode tertentu.

2. Aspek Kualitas, menggambarkan kesempatan tentang mutu barang yang dihasilkan, atau mutu pelayanan/jasa yang diberikan, dalam pelaksanaan suatu tugas pokok seorang Pegawai Negeri Sipil pada periode tertentu.

3. Aspek waktu, menggambarkan kesempatan tentang lamanya seoarang Pegawai Negeri Sipil menghasilkan jumlah barang dan pelayanan dengan kualitas yang telah disepakati, dalam pelaksanaan tugas pokoknya.

4. Aspek biaya, menggambarkan kesepakatan tentang besarnya anggaran yang digunakan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk menghasilkan jumlah barang dan memberikan pelayanan dengan kualitas yang telah ditentukan, dengan pelksanaan tugas pokoknya.

Published in: on March 8, 2009 at 3:48 pm  Comments (2)  
Tags: ,

Sebuah Review: North Atlantic Treaty Organization (NATO)

nato Pada era setelah Perang dunia II ( 1939-1945), banyak para pemimpin Barat percaya kebijakan dari USSR akan mengancam stabilitas internasional seperti instalasi secara paksa dari pemerintah Komunis kepada seluruh Eropa timur, permintaan wilayah oleh Soviet, dan pendukungan perang gerilya mereka di Yunani dan paham pecah belah/sepratisme regional di Iran yang muncul seperti langkah-langkah Perang dunia III. Peristiwa seperti itu menandatangani Perjanjian Dunkirk pada 1947 antara Inggris dan Perancis, yang mana berisi suatu pertahanan umum melawan terhadap agresi. Peristiwa yang berikut, mencakup penolakan oleh negara-negara Eropa dari Program Kesembuhan Eropa ( Rencana Marshall) dan ciptaan Cominform, suatu organisasi Komunis Mengenai Eropa, pada 1947, mendorong Perjanjian Brussels yang ditandatangani oleh Negara-Negara eropa Barat pada 1948. Di antara gol pakta itu yaitu menjadi pertahanan yang kolektif bagi anggotanya . Blokade Berlin pada Maret 1948 mendorong negosiasi antara Eropa Barat, Canada, dan Amerika Serikat yang mengakibatkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara.

A. Perkembangan Awal NATO

Sampai 1950 NATO terutama berisi suatu kesepakatan oleh Amerika Serikat untuk mempertahankan anggota yang lain menyangkut persekutuan di bawah istilah Artikel 5 perjanjian itu. Bagaimanapun, tidak ada militer efektif atau struktur administratif untuk menerapkan kesepakatan ini. Pertikaian antara Korea pada bulan Juni 1950 meyakinkan musuh Soviet untuk bertindak melawan terhadap suatu Negara Jerman. Hasilnya tidaklah hanya menciptakan suatu sistem komando militer, tetapi juga perluasan dari organisasi. Di tahun 1952 Yunani dan Turki bergabung dalam persekutuan, dan di tahun 1955 Jerman Barat diterima di bawah suatu pengaturan yang diperumit dengan tidak diijinkan untuk membuat nuklir, biologi, atau senjata kimia. Dalam dekade pertama NATO sebagian besar suatu organisasi berbentuk militer bergantung pada U.S. yaitu kekutan untuk keamanan dan untuk melawan ekonomi Eropa dan pemerintah nasional.

B. Perkembangan NATO pada Era Perang dingin

Arti penting NATO tumbuh dengan memburuknya hubungan antara Soviet dan kekuasaan Barat. Ketika Perserikatan Soviet mencapai kesamaan di dalam persenjataan nuklir dengan kekuasaan Barat, beberapa negara-negara Eropa mengkhawatirkan Amerika Serikat tidak akan menghormati ikrarnya untuk mempertahankan anggota persekutuan lain. 1960 ditandai oleh dua pengembangan sebagai akibat dari NATO: penarikan Perancis, di bawah Presiden Charles de Gaulle, dari organisasi tetapi bukan dari persekutuan pada1966; dan pengaruh peningkatan negara-negara yang lebih kecil, yang mencari untuk menggunakan NATO sebagai suatu instrumen détente seperti halnya pertahanan.

Krisis di Cekoslovakia pada 1968 adalah titik balik untuk NATO, sesudah itu dipandang sebagai suatu sumber keamanan untuk Eropa. Keterlibatan Amerika di perang Vietnam ( 1957-1975) disusutkan lebih lanjut oleh Amerika Serikat dengan otoritas dan mendukung ketidakpuasan di dalam NATO. Walaupun tahun 1970 mulai dengan beberapa persetujuan sebagai hasil yang strategis mengenai Pembatasan Berbicara ( SALT I), pada akhir dekade dengan kekecewaan Soviet yang dengan cepat membangun gudang senjata militer mereka. NATO memecahkan masalah ini dengan dual-track program 1979, di mana usaha pertahanan baru ditemani oleh usaha baru pada détente. 1980 yang dibuka dengan suatu krisis yang memperdalam antara Timur dan Barat. Pada 1983 USSR gagal untuk mencegah penyebaran intermediate-range balistik proyektil, merancang untuk mengatasi Senjata Soviet yang menargetkan pada kota besar Eropa. Tanda dari Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty ( INF) pada 1987 ditandai dengan gangguan Dari Pakta Warsawa. Dekade diakhiri dengan sukses NATO yang menaklukan tantangan blok komunis.

C. Akhir Perang dingin

Di akhir 80-an pemerintahan Komunis mulai untuk meremukkan seluruh Eropa timur. Jerman Barat mengajak Jerman Timur untuk membentuk Negara Republik Jerman pada 1990, dan Pakta Warsawa dihancurkan pada awal 1991. Perserikatan Soviet runtuh pada tahun berikutnya, yang secara drastis mengurangi ancaman militer ke NATO. Meskipun demikian, banyak peninjau Barat melihat NATO pasca perang dingin sebagai suatu payung keamanan Eropa yang kuat oleh penderitaan nasionalis melepaskan tali Eropa timur dan USSR.

Berikut pemutusan dari USSR, NATO mencari untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara mandiri yang baru saja yang telah dahulu menyusun USSR dan dengan Pusat Ketimuran lain Negara-negara eropa yang mepunyai Pakta Warsawa. Dewan Kooperasi Atlantik utara, dirikan pada bulan November 1991, menyediakan suatu forum untuk konsultasi antara anggota NATO, negara-negara Eropa timur, dan Republik Soviet yang terdahulu. pada 1993 anggota NATO menguasakan suatu proposal untuk menawarkan pakta Warsaw terdahulu untuk membatasi Anggota asosiasi dengan NATO. Di bawah rencana, mengetahui Persekutuan untuk Damai ( PFP), selain anggota bisa diundang untuk mengambil bagian dalam berbagi informasi, mengikuti latihan, dan operasi penjaga keamanan. Persekutuan untuk Damai adalah menyediakan kooperasi dan keamanan bagi seluruh Eropa. Banyak Satelit Soviet terdahulu bersiap-siap untuk bergabung. Walaupun Rusia menentang keanggotaan mereka dan mengancam untuk tidak hadir dalam Persekutuan Damai tetapi akhirnya mereka bergabung dengan secepatnya. Anggota PFP boleh secepatnya mencapai keanggotaan penuh dalam NATO jika kebutuhan keanggotaan lain, seperti suatu angkatan perang dilatih untuk bergabung dengan pasukan NATO.

Pada tahun 1995, setelah 30 tahun diboikot, Perancis kembali ke NATO, menerima suatu tempat duduk pada panitia militer setelah presiden Amerika Serikat saat itu Bill Clinton mempercepat rencana untuk perluasan NATO. Juga pada waktu itu, Amerika Serikat dan NATO mulai serius untuk mengakhiri peperangan yang berlanjut di Bosnia dan Herzegovina yang mengancam stabilitas Eropa. Para pemimpin persekutuan NATO memberi hak suatu kampanye udara melawan terhadap Serbia Bosnian untuk memaksa Bosnia Serbia untuk merundingkan suatu penyelesaian damai. Setelah seminggu serangan udara, para pemimpin Serbia Bosnian menyetujui diwakili pada suatu konferensi damai dekat Dayton, Ohio, dan pada bulan Desember 1995 mereka yang sedang berperang menandatangani suatu perdamaian dan menyetujui untuk mengakhiri peperangan ( lihat Perstujuan Damai Dayton). Bulan selanjutnya, sebagai bagian dari persetujuan Dayton, NATO menyebar suatu perusahaan multinasional kekuatan berpuluh-ribu pasukan, sebagai Implementasi Kekuatan ( IFOR), untuk memonitor dan melakukan gencatan senjata di Bosnia. Satu tahun kemudian NATO menggantikan kekuatan ini dengan suatu Kekuatan Stabilisasi yng lebih kecil (SFOR). Misinya diperluas dengan tak terbatas untuk menjamin keaman ke semua daerah.

D. Perkembangan Terbaru NATO

Pada Maret 1999 tiga anggota Pacta Warsaw Hungaria, Poland, dan Republik Cekoslovakia bergabung dalam persekutuan. Pada bulan yang sama, kekuatan NATO memulai suatu kampanye udara melawan terhadap pusat pemerintah Republik Yugoslavia ( FRY, sekarang Republik Serbia dan Montenegro). Serangan NATO diluncurkan setelah Presiden Yugoslavia Slobodan Miloševic ditolak untuk menerima suatu rencana perdamai internasional untuk mengabulkan masa otonomi untuk Provinsi Yugoslavia yaitu Kosovo. Provinsi didiami sebagian besar oleh kesukuan Albanians. Banyak dari mereka sedang memperjuangkan kemerdekaan atau otonomi untuk Kosovo. Para pemimpin barat mengharapkan serangan NATO akan membawa Miloševic kemeja perundingan. Mereka juga mengharapkan untuk mengakhiri penindasan berkelanjutan dari yang minoritas kesukuan Albanians oleh mayoritas Serbian kesukuan FRY.

Serangan NATO yang pertama terbatas pada beberapa target militer, tetapi persekutuan secara tiba – tiba memperluas kampanye angkasa melawan FRY setelah laporan tentang kekejaman tersebar luas oleh serangan serbia terhadap populasi orang Albania kesukuan Kosovo. Pada April 1999 lebih dari 1,000 pesawat perang di bawah perintah NATO dilibatkan dalam serangan ke seluruh republik. Ini menjadi operasi militer yang paling besar yang pernah dikerjakan oleh NATO.

Sebagai ganti orang Yugoslavia yang membujuk para pemimpin untuk menerima suatu perundingan damai akan tetapi serangan angkasa akan memperkuat tekad Serbia untuk menentang NATO yaitu menuntut dan memperhebat kekerasan dan mengarahkan pada kesukuan Albanians. Angkatan perang dan kepolisian Serbia membinasakan desa, membunuh warganegara Kosovo, dan memaksa beratus ribu kesukuan Albanians untuk melarikan diri dari provinsi. Penerbangan pengungsi menjadi migrasi massa yang paling besar di Eropa karena Perang dunia II. Kritikus membebankan bahwa NATO gagal untuk mengantisipasi krisis pengungsi.

Oposisi internasional kepada NATO menyerang dengan cepat. Rusia, Negeri China, dan India menuduh NATO melakukan pelanggaran hukum internasional dengan tidak meminta izin persetujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) sebelum menyerang Yugoslavia. Rusia tiba-tiba memutus semua tali diplomatik dengan NATO dan memperkenalkan suatu resolusi kepada UN Dewan Keamanan yang menuntut agar mengakhir pemboman. Resolusi ditolak dengan jelas. ( Rusia dan NATO tidak secara formal tidak melakukan hubungan sampai awal 2000.)

NATO dikritik lebih lanjut setelah pesawat perang di bawah perintahnya membom kawalan dan struktur warganegara kesukuan Albanians yang berusaha untuk melarikan diri dari Kosovo. Pemimpinan NATO minta maaf untuk serangan yang dimaksud karena ini adalah ketidak sengajaan, tetapi meminta dengan tegas Miloševic untuk bertanggung jawab atas konflik yang berlanjut . Setelah pesawat perang NATO membom kedutaan Cina di Belgrade sebagai kelalaian, Pejabat Cina memohon NATO untuk mengakhiri serangan angkasa.

Pada bulan Juni 1999, setelah 11 minggu NATO membom menjadikannya tidak mampu dan membinasakan banyak infrastruktur Yugoslavia. FRY menyetujui hampir dari keseluruhan permintaan persekutuan. Para pemimpin FRY menandatangani suatu persetujuan yang mengakhiri pemboman dan Kosovo ditempatkan di bawah pengendalian internasional. Sebagai bagian dari persetujuan, suatu perusahaan multinasional kekuatan NATO-LED beribu-ribu pasukan menduduki Kosovo untuk membantu memastikan kembalinya keamanan dari orang Pengungsi Albania. Kekuatan penjaga keamanan Kosovo, dikenal sebagai KFOR, memperluas misi dengan tak terbatas untuk melindungi keselamatan publik, mengosongkan Kosovo, dan menyediakan bantuan berperikemanusiaan. Persetujuan juga mengamanatkan perlucutan senjata Dari Angkatan perang Pembebasan Kosovo (KLA), suatu angkatan perang gerilya mengorganisir sebelum NATO berkampanye itu telah mencoba untuk memandu pasukan Serbia dan kepolisian dari provinsi itu.

Kampanye melawan terhadap FRY menjadikan kesulitan tindakan militer yang memerlukan konsensus dari keseluruhan persekutuan 19 negara NATO, dan mengarahkan perbedaan pendapat dalam organisasi yang diperluas. Sepanjang konflik, Para pemimpin Inggris yang didukung untuk menyerang FRY dengan angkatan darat, ketika anggota persekutuan yang lain menentang rencana untuk menyerbu Kosovo. Di samping perselisihan paham ini, anggota inti dari persekutuan tetap mendukung serangan udara.

Keterlibatan NATO dalam Kosovo juga menandai peran yang diperluas mengenai peraturan persekutuan di Eropa dan urusan dunia. Sebelum permusuhan, kekuatan militer di bawah perintah NATO melayani semata-mata untuk menghalangi penyerang. Sepanjang operasi Kosovo, NATO mencoba untuk menggunakan militer nya untuk membantu berperikemanusiaan, untuk memaksa pemenuhan dengan berbagai keinginan persekutuan, dan untuk mencegah kemungkinan suatu konflik lebih luas di Eropa. NATO turut campur dalam Kosovo di samping fakta bahwa tidak satupun dari anggota persekutuan secara langsung diserang oleh FRY.

Pada tahun 2002 Rusia menjadi suatu sekutu komanditer dalam NATO sebagai bagian dari Dewan NATO-RUSSIA. Ciptaan dari dewan memberi Rusia kesempatan untuk ambil bagian dalam diskusi tentang NATO tetapi tanpa mempunyai suatu hak suara. Kebanyakan keputusan kunci, seperti perluasan NATO, dipegang oleh eksklusif ke 19 anggota dewan menteri.

Juga pada 2002, NATO mengundang tujuh negara Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovenia, dan Slovakia untuk menjadi anggota organisasi. Semua ketujuh anggota diharapkan untuk bergabung pada tahun 2004, dan total keanggotaan NATO 26.

Published in: on March 8, 2009 at 3:25 pm  Comments (1)  
Tags: ,

Review Terhadap Eksistensi Terorisme Internasional: [Masih pantaskah PBB disebut sebagai polisi dunia?]

terorism Sejak terjadinya serangan teroris internasional terhadap gedung WTC di Amerika Serikat pada tahun 2001, hampir semua negara di dunia memasang posisi “siaga satu”. Tidak terkecuali, bagi negara-negara yang mayoritas penduduknya secara silent “mensyukuri” peristiwa yang menimpa negara pengendali tatanan dunia itu. Asumsi yang berkembang di negara-negara non barat pada waktu itu adalah, bahwa aksi bom bunuh diri tersebut, dilakukan sebagai simbol perlawanan terhadap dunia barat. Asumsi ini diartikan bahwa hal itu tidak akan dilakukan kepada negara-negara non barat. Ternyata, asumsi ini meleset. Perkembangan eksistensi terorisme internasional yang semakin mengkhawatirkan dapat dilihat pada tragedi bom Bali. Bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002, membuat tesis akan sasaran aksi teroris internasional, kehilangan fondasi logika. Cara pandang pun dibalik. Dari awalnya memotret teroris internasional dari kacamata negara calon sasaran, menjadi dimulai dari kacamata si teroris itu sendiri, yakni bagaimana si teroris tersebut mendefinisikan “dunia barat”. Preposisi dari asumsi pertama tetap dipertahankan, tapi arti derivatifnya mulai disesuaikan. Dan bom Bali dijadikan sebagai fakta untuk menguatkan bahwa definisi akan dunia barat, bukan lagi terpetakan secara geografik.

Bom yang terjadi di Bali, Indonesia, yang notabene negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, merupakan bukti kecerdasan dan dinamisasi para teroris internasional. Pemilihan lokasi Bali sebagai sasaran, bukan semata-mata atas pendefinisian bahwa ada “dunia barat” di Bali, tetapi juga karena kepentingan akan pesan yang ingin disampaikan oleh mereka. Atas kenyataan ini, tekanan psikologis tidak hanya melanda negara-negara yang secara geografis memang berada di areal dunia barat, tapi juga bagi negara-negara non barat yang di negaranya ada “asset” dunia barat.

Bagi barat, tekanan psikologis terjadi karena menyangkut keselamatan “asset”-nya yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Tekanan ini semakin mengganggu, manakala dunia barat khususnya AS, Inggris dan sekutunya, menyadari bahwa security system di negara-negara non barat umumnya, sangatlah lemah. Dalam kondisi psyco-strategy yang lemah seperti ini, negara sekuat AS pun akhirnya tidak punya pilihan lain kecuali “menyerang untuk bertahan” atau bahasa populernya preemptive-strike.

Aktivitas dan kerja sama internasional untuk mengatasi terorisme internasional meningkat pesat setelah peristiwa 11 September 2001 yang meruntuhkan gedung World Trade Centre di Amerika Serikat (AS). AS kemudian muncul sebagai pelopor dalam perang global melawan terorisme, melalui berbagai kebijakan luar negerinya, antara lain membentuk Gerakan Koalisi Dunia. Gerakan ini menerapkan segala cara berkekuatan nasional dan internasional dalam komandonya: diplomasi, tekanan hukum, intelijen, pemeriksaan keuangan, aksi militer, dan bantuan pangan. Di tingkat diplomasi, sudah ditandatangani resolusi Dewan Keamanan PBB yang mewajibkan ke- 189 anggotanya, termasuk Indonesia, untuk mengakhiri semua aksi terorisme di dalam negerinya dengan cara menyetop sumber-sumber dana serta membawa pelaku teror untuk diadili.

Genderang perang yang telah ditabuh oleh AS tersebut telah direspons oleh negara-negara anggota PBB. Telah lebih dari 112 negara mengeluarkan perintah pemblokiran dan pembekuan aset yang digunakan untuk mendanai terorisme yang ditemukan di mana saja dari rekening bank di Amerika sampai organisasi penyantun di Eropa, bahkan sampai aliran dana toko-toko madu di Timur Tengah. Gugus tugas Departemen Keuangan dari 29 negara yang tergabung dalam koalisi memainkan peran aktif khususnya dalam mengidentifikasi dan menghentikan aliran dana organisasi teroris.

Dalam lingkup ASEAN, kerja sama telah dilakukan melalui ASEAN Regional Forum (ARF), yang pada tanggal 2 Juli 2004 menyepakati kerja sama di bidang keamanan transportasi barang dan orang untuk menanggulangi ancaman terorisme internasional. Kesepakatan tersebut dapat diadopsi dalam KAA dalam lingkup kerja sama yang lebih luas.

Sekitar 170 kepala negara hadir pada tanggal 14-16 September 2005 di markas besar PBB dalam rangka mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB. Sejumlah isu global dibahas dalam acara tersebut, di antaranya mengenai aksi teror yang hingga kini merebak di belahan dunia. Sejumlah strategi dalam rangka menghidupkan kembali konsep demokrasi, human right, dan lainnya, yang selama ini telah terabaikan juga menjadi agenda pembicaraan. Namun dalam realitanya hingga kini tahun 2007, proses penanganan terorisme internasional seperti jalan di tempat atau paling tidak belum mampu memberikan efek yang cukup efektif bagi perdamaian dunia.

PBB adalah organisasi induk bagi seluruh bangsa dan negara. Posisinya yang seharusnya bersikap netral sangat dibutuhkan negara-negara yang terancam indemokratisasi. Namun belakangan ini, organisasi tersebut mengalami degradasi legitimasi internasional. Di antaranya disebabkan lemahnya penanganan sejumlah masalah-masalah internasional. Ada yang paling kentara dari kelemahan PBB, yaitu dalam menanganai isu terorisme yang belakangan ini semakin marak. Lambannya proses penanganan aksi terorisme sebenarnya tidak hanya disebabkan PBB kekeringan konsep dan strategi, melainkan juga karena adanya kesalahan definitif terhadap terorisme itu sendiri. Bahwa selama ini terorisme hanya dimaknai sebagai gerakan sparatis, pengeboman gedung-gedung, penembakan, dan sebagainya. Padahal makna teror tidaklah sesempit itu. Dalam konteks sekarang, terorisme bahkan lebih banyak beroperasi dalam konstitusi.

Jauh sebelum terorisme menjadi wacana global, potensi-potensi yang mengarah pada aksi-aksi teror sudah sering di-singgug para filosof Yunani abad ke-5 SM. Protagoras misalnya, pernah menyatakan ”manusia adalah ukuran segala-galanya, jika manusia sudah menganggapnya (sesuatu) demikian, maka demikianlah adanya”.

Kecenderungan untuk mengukur segala sesuatu sesuai dengan kehendak dan keinginan manusia yang bersifat sementara merupakan potensi paling urgen bagi lahirnya tindakan-tindakan dehumanisasi. Tidakan-tindakan dehumanisasi inilah yang oleh masyarakat kontemporer disebut sebagai teror dalam arti universal.

Teror adalah kata baku dari tindak kejahatan, kriminal kemanusiaan, kriminal transnasional, kriminal bisnis, kriminal dagang, kriminal cyber, kriminal politik, dan sebagainya. Merebaknya aksi-aksi teror semacam itu telah mengundang kepanikan umat manusia. Kemerdekaan, dalam arti universal, yang seharusnya dapat dinikmati secara bersama dan merata, pada akhir-nya terpolakan menjadi kemerdekaan menurut standarisasi internasional, kemerdekaan berdasarkan prinsip-prinsip kebangsaan dan nasionalisme, kemedekaan spesial bagi orang-orang elite dan birokrasi, dan kemerdekaan ”cukup” bagi orang-orang bawah dan lemah. Dengan kata lain, aksi teror sesungguhnya telah menyebabkan kemerdekaan jadi terpetakan dalam dua kategori; merdeka untuk melakukan ekspresi eksploitisi (dalam skala global, regional, dan nasional), dan merdeka untuk menerima ketidakmerdekaan.

Identifikasi Terhadap Posisi PBB

Dalam situasi semacam ini, peranan organisasi-organisasi internasional, seperti PBB berikut badan-badan yang berada di bawah naungannya, menjadi sangat dibutuhkan dalam rangka meredam aksi-aksi seperti di atas. Hanya saja yang disayangkan adalah sistem penanganan yang diterapkan organisasi tesebut sangat lemah. Mereka yang seharusnya bergerak lebih ekstra dalam menegakkan keadilan dan kemerdekaan, bersikap simetris dalam menangani aksi-aksi teror, kini telah kehilangan daya kekuatan. Seperti Dewan Keamanan (Security Council) PBB, kini justru menimbulkan kekecewaan yang begitu besar dari negara-negara lain yang tidak termasuk anggota tetap DK. Mereka kecewa karena DK cenderung bersikap tidak adil dalam menangani keamanan internasional.

Ada yang menyatakan bahwa keterbatasan anggota tetap DK adalah penyebab utama banyaknya kebijakan yang tidak representatif sesuai dengan standarisasi internasional. Sampai saat ini, anggota tetap DK hanya terbatas pada negara-negara pemenang dalam Perang Dunia II, seperti Amerika, Prancis, Inggris, Rusia, dan China. Inilah yang menyebabkan segala kebijakan DK cenderung berat sebelah.

Seperti dalam menangani masalah pengembangan senjata nuklir yang dilakukan Iran belakangan ini, tampak sekali PBB cenderung asimetris. Dalam Resolusi 47/133 yang diproklamasikan Majelis Umum (General Assembly) PBB pada 1 Desember 1992, pasal 7 tentang deklarasi perlindungan bagi semua orang dari penghilangan secara paksa dinyatakan, bahwa ”tidak ada situasi apa pun, baik ancaman perang, keadaan perang, ketidakstabilan politik internal atau situasi darurat politik lainnya, dapat digunakan untuk membenarkan penghilangan orang dengan paksa”.

Apa yang dilakukan Amerika terhadap Saddam Hussein merupakan suatu proses penghilangan & orang secara paksa, hingga akhirnya dihukum mati. Jika memang Saddam bersalah selama menjalankan tuganya sebagai penguasa otoriter, Irak memiliki kekuatan hukum tersendiri untuk mengadilinya. Sekali lagi, PBB tidak berdaya sama sekali dalam hal ini, satu keadaan sama yang terjadi juga pada peristiwa penyerangan Israel ke Palestina. Sebaliknya, PBB justru bertindak seolah tidak tahu, suatu sikap yang bernada justifikasi terhadap kecerobohan Amerika. Jika merujuk pada makna universal teror di atas, tindakan ceroboh Amerika maupun sikap asimetris PBB sebenarnya dapat pula dikategorikan sebagai aksi teror dalam bentuk yang baru.

Kesadaran terhadap kelemahan yang dimiliki PBB selama ini baru muncul belakangan. Itulah sebabnya, Sekjen PBB saat terjadinya tragedi WTC Kofi Annan mengusulkan tiga pilar reformasi PBB dalam konferensi PBB, yaitu merdeka untuk hidup berdaulat (freedom to live in dignity), merdeka dari ketakutan (freedom from fear), dan merdeka dari ketiadaan (freedom from want).

Terlepas apakah usulan itu merupakan seruan perdamaian dunia yang benar-benar keluar dari hati nurani Annan ataukah sekadar pancingan semu untuk mengembalikan legitimasi dunia terhadap PBB, yang pasti PBB saat ini memang sudah mandul, dan saatnya untuk direformasi dalam segala sektor. Diibaratkan sebuah kendaraan, PBB memang sudah tidak layak pakai lagi. Mitos PBB sebagai polisi dunia sudah tidak layak lagi.

Untuk itu, jika PBB memang masih mendambakan kedamaian dunia, usulan tiga pilar reformasi PBB di atas tidaklah cukup. Selain dikhawatirkan akan sekadar menjadi wacana semu, tiga pilar tersebut juga sangat berpotensi bagi semakin ganasnya aksi-aksi teror baru seperti yang dilakukan Amerika, yakni bersikap nonkooperatif dalam bertindak. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu direformasi PBB, di antaranya membuka ruang bagi negara-negara lain untuk menjadi anggota tetap PBB. Merumuskan secara jelas hal-hal yang perlu ditindaklanjuti Majelis Umum (General Assembly) PBB, dan sebagainya. Sekali lagi, kemerdekaan dalam skala internasional telah terpolarisasikan. Untuk itu, hanya ketegasan PBB dalam menyelesaikan konflik dan teror dalam skala internasionallah yang dapat mengembalikan makna esensial kemerdekaan itu.

Dalam mengatasi masalah terorisme, perlu dibahas dan ditinjau berbagai kemungkinan aktivitas dalam lingkup multilateral di setiap bagian geografis negara-negara di dunia. Memperkuat kerja sama multilateral dan memperkuat mekanisme pencegahan dalam melawan terorisme dengan cara yang komprehensif dapat menjadi pilihan, sambil tetap menempatkan PBB sebagai organisasi dunia untuk berperan serta.

Sebagai langkah awal adalah pembentukan pusat informasi ratifikasi atau akses terhadap semua konvensi antiteror termasuk konvensi internasional untuk menahan laju keuangan teroris. Di bidang hukum, perlu dikembangkan kerja sama di antara organisasi-organisasi penegak hukum dalam melawan terorisme, selain saling tukar pikiran dalam pengoperasiannya. Selain itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mempelajari konvensi terorisme internasional dengan tujuan untuk mengintegrasikannya dengan mekanisme yang ada.

Kerja sama intelijen dapat dilakukan dengan tukar-menukar informasi intelijen dan memfasilitasi arus informasi teroris dan organisasi internasionalnya, pergerakan, sumber dana, dan informasi-informasi lain untuk melindungi korban, milik, dan sistem keamanan pada semua alat transportasi. Selanjutnya adalah mengembangkan program pembangunan kapasitas di masing-masing kawasan untuk meningkatkan kapasitas organisasi dalam menginvestigasi, mendeteksi, memonitor, dan melaporkan aksi-aksi teror.

Sebagai sarana tukar-menukar pikiran, berbagai forum diskusi dapat lebih diaktifkan guna mengeksplorasi ide-ide praktis dan berbagai inisiatif untuk meningkatkan peran kawasan dalam keterlibatannya dengan masyarakat internasional. Dengan cara demikian, diharapkan berbagai aksi melawan terorisme dapat lebih efektif.

Indonesia dapat mengambil peran misalnya dengan lebih banyak melibatkan peserta dari negara-negara di Asia-Afrika dalam pusat pelatihan antiteror internasional milik Polri yang dipusatkan di kampus Akademi Kepolisian (AKpol) Semarang, selain meningkatkan kerja sama di Pusat Koordinasi Kejahatan Transnasional (Crime Coordination Centre/TNCC). Perlu juga ditinjau apakah Jakarta Centre for Law Enforcement (JCLE) dan Pusat Pelatihan Antiteror Nasional (Platina) dapat bekerja sama dengan organisasi sejenis yang ada di negara atau kawasan lainnya.

Sebagai perbandingan dengan kawasan Asia-Pasifik, perwakilan dari negara-negara Asia-Pasifik telah melakukan kerja sama dalam penegakan hukum dan penanggulangan terorisme. JCLE khusus melatih polisi antiteror dari sisi analisis dan manajerial seperti investigasi, intelijen, penguasaan teknologi multimedia, analisis data, forensik, dan sebagainya. Sedangkan Platina khusus membekali peserta dengan striking force di lapangan seperti cara mengatasi pembajakan atau terorisme di pesawat, di kereta api, kapal laut, hutan, dan sebagainya.

Published in: on March 8, 2009 at 3:19 pm  Leave a Comment  
Tags: , ,

Eksistensi UKP3R dari lensa kewenangan Atributif Presiden

Pada dasarnya Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UKP3R) dibentuk Presiden untuk memantau dan memperlancar kegiatan Presiden dalam perbaikan iklim usaha dan investasi, pelaksanaan reformasi administrasi pemerintahan, perbaikan kinerja BUMN, perluasan peranan UMKM, dan perbaikan penegakan hukum.

Secara kontekstual terlihat bahwa keputusan presiden untuk menciptakan UKP3R melalui Keppres No.17 tahun 2006 merupakan bagian dari hak prerogratif Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensial. Presiden memiliki kewenangan dalam lingkup tugasnya untuk mengambil kebijakan agar tujuan-tujuan nasional dapat tercapai selama masa jabatannya ini.

Secara normatif dapat dikatakan bahwa upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan berbagai problematika seputar program-program reformasi yang macet dengan membuat Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UKP3R) mempunyai legitimasi yang cukup kuat. Dimana dalam sistem presidensil presiden mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Berdasar pada beberapa penjelasan maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tindakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menciptakan UKP3R merupakan suatu rechthandeling yang berdasar pada kewenangan atribusi, atau suatu kewenangan yang ditunjuk secara langsung oleh Undang-undang atau Undang-Undang Dasar 1945. Dimana pada dasarnya presiden mengeluarkan Keppres No.17 tahun 2006 tentang UKP3R dengan pertimbangan prerogatif dari presiden sebagai kepala pemerintahan, dimana presiden memegang kekuasaan pemerintahan, dan untuk membantu fungsi tersebut maka UKP3R diciptakan untuk membantu presiden dalam aspek penerapan rigidnya dalam posisi presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem presidensil, presiden memiliki suatu ruang rechthandelling yang sangat berpengaruh dalam fungsi eksekutif, karena secara konstitusi presiden memegang kekuasaan pemerintahan, dan hal tersebut tertuang secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945,

Dijelaskan juga oleh Presiden bahwa UKP-PPR bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan pemantauan, pengendalian, pelancaran dan percepatan atas pelaksanaan program dan reformasi, sehingga mencapai sasaran, dengan penyelesaian yang penuh. Dimana prioritas pelaksanaan tugas UKP-PPR, yang dengan sendirinya ini merupakan prioritas pengawasan dan pengelolaan dari Presiden. Secara kontekstual terlihat bahwa keputusan presiden untuk menciptakan UKP3R melalui Keppres No.17 tahun 2006 merupakan bagian dari hak prerogratif Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensial. Presiden memiliki kewenangan dalam lingkup tugasnya untuk mengambil kebijakan agar tujuan-tujuan nasional dapat tercapai selama masa jabatannya ini.

UKP-PPR tidak mengambil keputusan dan tidak menetapkan kebijakan pemerintahan, karena wewenang itu ada pada Presiden, dibantu oleh Wapres dan para Menteri, sesuai dengan mekanisme dan tata cara yang telah diatur. UKP-PPR tidak memberikan instruksi dan arahan atau direction kepada para Menteri dan anggota Kabinet lainnya, karena wewenang itu juga ada pada Presiden, dibantu oleh Wakil Presiden.

Serta UKP-PPR tidak melakukan tindakan investigasi atau pemeriksaan atas hal yang berkaitan dengan masalah hukum, seperti korupsi misalnya, karena wewenang itu berada pada lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. “UKP-PPR bukan merupakan ‘pos politik’ dan pejabatnyapun tidak dalam kategori ‘political appointee’ seperti Menteri, tetapi adalah ‘pos manajemen’, yang menjadi perangkat Presiden selaku ‘Top Executive Leader’ dalam sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan kita. Karena itu pertimbangan dan persyaratan para anggota UKP-PPR dengan demikian dilihat dari integritas, profesionalitas dan kapabilitasnya dalam bidang manajemen, serta komitmennya pada reformasi.

Published in: on March 8, 2009 at 3:02 pm  Leave a Comment  
Tags: , , ,