Akta Otentik Dalam Hukum Positif Indonesia

Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yag dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan (lihat pasal 165 HIR, 1868 BW, dan 285 Rbg). Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja biuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Dalam versi lainnya dapat dikatakan bahwa Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak.

Pejabat resmi lainnya atau Pegawai umum yang dimaksud dapat berlaku pada seorang hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai catatan sipil, dan sebagainya. Dengan demikian maka suatu akte notaris, suatu surat putusan hakim, suatu surat proses verbal yang dibuat oleh seorang juru sita pengadilan dan suatu surat perkawinan yang dibuat oleh pegawai catatan sipil adalah termasuk ke dalam akte-akte otentik.

Tiga Macam Kekuatan Akta Otentik:

1.      Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte tadi (kekuatan pembuktian formil);

2.      Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan disitu telah terjadi (kekuatan pembuktian materiel atau yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat);

3.      membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akte ke dua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut. Kekuatan yang kedua tersebut itu sebagaimana sudah diuraikan di atas , dinamakan kekuatan mengikat yang pada hakekatnya bertujuan menetapkan kedudukan antara para pihak satu sama lain pada kedudukan yang teruraikan dalam akte. Kekuatan poin ini dinamakan kekuatan pembuktian keluar (artinya ialah terhadap pihak ke-tiga)

AKTA OTENTIK

Yang Dibuat Oleh pegawai umum sesuai dengan perundang-undangan

Yang dibuat Di hadapan pegawai umum yang sesuai dengan perundang-undangan

Ex:

Seorang notaries yang membuat suatu laporan tentang suatu rapat yang dihadirinya dari para pemegang sero dari suatu perseroan terbatas, maka proses verbal itu merupakan suatu akte yang telah dibuat oleh notaries tersebut.

Ex:

Apabila dua orang datang kepada seorang notaries, menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian (misalnya jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain sebagainya) dan meminta kepada notaries tadi supaya tentang perjanjian tersebut dibuatkan suatu akte. Notaries hanya mendengarkan apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang menghadap itu dan meletakan perjanjian yang dibuat oleh dua orang tersebut dalam suatu akte.

Akta Otentik Menurut 1868 KUHPerdata

akta-otentik

Pergeseran Persepsi Mengenenai Nilai Kebenaran

Yang Terkandung Dalam Suatu Akta Otentik

pergeseran-ttg-akta-otentik

Suatu surat yang dibuat secara demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang membuatnya, menjadikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut di dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan kemudian itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu.

 

Akta Otentik menurut Pasal 285 Rbg:

Yaitu yang dibuat, dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat, merupakan bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya  dan mereka yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka; hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok akta itu.

 

Akta mempunyai dua fungsi : fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa). Formalitas Causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Dalam konteks ini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Kekuatan pembuktian akta ini dibedakan menjadi tiga macam :

1). Kekuatan pembuktian lahir (kekuatan pembuktian yang didasarkan pada keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya; acta publica probant sese ipsa);

2). Kekuatan pembuktian formil (memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yag dimuat dalam akta);

3). Kekuatan pembuktian materiiil (memberikan kepastian tentang materi suatu akta).

 

Secara mendasar, Hukum Acara Perdata mengenal 3 macam surat, yaitu: surat biasa, akta di bawah tangan dan akta otentik. Dibandingkan dengan surat biasa dan akta di bawah tangan, akta otentik merupakan bukti yang cukup atau bukti yang sempurna, artinya bahwa isi fakta tersebut oleh hakim dianggap benar, kecuali apabila diajukan bukti lawan yang kuat. Hal mana berarti bahwa hakim harus mempercayai apa yang tertulis dalam akta tersebut, dengan perkataan lain apa yang termuat dalam akta tersebut harus dianggap benar selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Terhadap pihak ketiga

Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dinyatakan dalam Ordonansi tahun 1867 no 29 yang intinya menyatakan bahwa barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan d bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya; tetapi bagi para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya, cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Akta di bawah tangan yang diakui isi dan tandatangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan. Surat-surat lain selain akta mempunyai nilai pembuktian sebagai bukti bebas.

Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.

Notaris adalah Pejabat Umum yang dimaksud dalam pasal 1868 BW. juncto pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tabun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang memiliki wewenang membuat akta otentik.

Menurut hukum acara perdata, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat. Artinya apabila akta otentik yang diajukan memenuhi syarat formil dan materiil serta bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak bertentangan, maka pada akta otentik langsung melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dengan nilai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang melekat pada akta otentik, pada dasarnya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain dan dengan sendirinya mencapai batas minimal pembuktian.

Menurut hukum acara pidana, seluruh jenis alat bukti mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas dan batas minimum pembuktiannya harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Hal ini dapat dilihat dalam kasus pemalsuan akta otentik oleh Notaris – PPAT Ujung Pandang. Sebagaimana dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Notaris — PPAT Ujung Pandang sebagai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan pemalsuan akta otentik serta menghukum terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun. Keyakinan hakim tersebut, didasarkan pada alat-alat bukti yang sah berupa Akta Jual Beli Nomor 71/ WJ 1980 beserta sertifikat-sertifikatnya, surat pernyataan dari pemilik tanah yang dilegalisasi dikantor Notaris dan keterangan terdakwa. Akibat hukum akta otentik yang memuat keterangan palsu dalam kasus ini. hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.  Sebagaimana perjanjian yang tertulis dalam akta jual beli tanah tersebut adalah batal demi hukum, artinya sejak lahirnya perjanjian jual beli tanah itu sudah batal atau tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada. Dengan kata lain sejak awal dibuatnya akta itu sudah tidak mempunyai kekuatan hukum bagi para pihak.

Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.

Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.

 

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

 

Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.

 

Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.

 

Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.

 

1867. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.

1868. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

1869. Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.

1870. Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.

1871. Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta.

Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.

1872. Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.

1873. Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga.

1874. Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan.

Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut.

Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.

1874 a. Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.

Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat dan pasal yang lalu.

1875. Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.

1876. Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.

1877. Jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.

1878. Perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penanda tangan sendiri; setidak-tidaknya, selain tanda tangan, haruslah ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri suatu tanda setuju yang menyebut jumlah uang atau banyaknya barang yang terutang.

Jika hal ini tidak diindahkan, maka bila perikatan dipungkiri, akta yang ditandatangani itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.

Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap surat-surat andil dalam suatu utang obligasi, terhadap perikatan-perikatan utang yang dibuat oleh debitur dalam menjalankan perusahaannya, dan terhadap akta-akta di bawah tangan yang dibubuhi keterangan sebagaimana termaksud dalam Pasal 1874 alinea kedua dan Pasal 1874 a.

1879. Jika jumlah yang disebutkan dalam akta berbeda dari jumlah yang dinyatakan dalam tanda setuju, maka perikatan itu dianggap telah dibuat untuk jumlah yang paling kecil, walaupun akta beserta tanda setuju itu ditulis sendiri dengan tangan orang yang mengingatkan diri, kecuali bila dapat dibuktikan, dalam bagian mana dari keduanya telah terjadi kekeliruan.

1880. Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi pernyataan sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam Pasal 1874 a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga kecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang atau sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang penanda tangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi akta itu.

1881. Daftar dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan bukti untuk keuntungan pembuatnya; daftar dan surat itu merupakan bukti terhadap pembuatnya:

1. dalam hal surat itu menyebutkan dengan tegas suatu pembayaran yang telah diterima;

2. bila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan dalam suatu alas hak untuk kepentingan orang yang disebutkan dalam perikatan.

Dalam segala hal lainnya, Hakim akan memperhatikannya sepanjang hal itu dianggap perlu.

1882. Dihapus dengan S. 1827-146.

1883. Selama di tangan seorang kreditur, catatan-catatan yang dibubuhkan pada suatu tanda alas hak harus dipercayai, walaupun catatan-catatan itu tidak ditandatangani dan tidak diberi tanggal, bila apa yang tertulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur.

Demikian pula catatan-catatan yang oleh seorang kreditur dibubuhkan pada salinan suatu tanda alas hak atau suatu tanda pembayaran, asalkan salinan atau tanda pembayaran ini masih di tangan kreditur.

1884. Atas biaya sendiri, pemilik suatu tanda alas hak dapat mengajukan permintaan agar tanda alas hak itu diperbarui bila karena lamanya atau suatu alasan lain tulisannya tidak dapat dibaca lagi.

1885. Jika suatu tanda alas hak menjadi kepunyaan bersama beberapa orang, maka masing-masing berhak menuntut supaya tanda alas hak itu disimpan di tempat netral, dan berhak menyuluh membuat suatu salinan atau ikhtisar atas biayanya.

1886. Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak dapat meminta kepada Hakim, supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan surat-surat kepunyaan kedua belah pihak yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan.

1887. Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan pasangannya, jika digunakan di antara orang-orang yang biasa menggunakannya untuk membuktikan penyerahan atau penerimaan barang dalam jual beli secara kecil-kecilan.

1888. Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan.

1889. Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka;

2. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karena jabatannya menyimpan akta asli (minut) dan berwenang untuk memberikan salinan-salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang;

3. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;

4. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

1890. Penyalinan suatu akta dalam daftar umum hanya dapat memberikan bukti permulaan tertulis.

1891. Akta pengakuan membebaskan seseorang dari kewajiban untuk menunjukkan tanda alas hak yang asli, asal dari akta itu cukup jelas isi alas hak tersebut.

1892. Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya dapat menjadi dasar tuntutan itu.

Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela, setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah.

Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela dalam bentuk daripada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga.

1893. Seorang pemberi hibah tidak dapat menghapuskan suatu cacat-cacat bentuk penghibah itu dengan membuat suatu akta pembenaran; penghibahan itu, agar sah, harus diulangi dalam bentuk yang ditentuakan oleh undang-undang.

1894. Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan secara sukarela suatu penghibahan oleh ahli waris atau oleh mereka yang mendapatkan hak dari pemberi hibah setelah pemberi hibah ini meninggal, menghapuskan hak mereka untuk mengajukan tuntutan berdasarkan cacat dari bentuk penghibahan itu.

Published in: on March 23, 2009 at 12:05 pm  Leave a Comment  
Tags: ,

Money Laundring Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Tahapan dan Teknik-Teknik Proses Money Laundering

Para pakar telah menggolongkan preses money laundering ke dalam tiga tahap:

1). Tahap Placement

Tahap dimana menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian uang tersebut akan masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Jadi misalnaya melalui penyelundupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang bersifat ilegal itu dengan uang diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing.

2). Tahap Layering

Yang dimaksud dengan tahap layering ialah tahap dengan cara pelapisan. Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap ini yang tujuannya menghilangkan jejak, bak ciri-ciri aslinya atau asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara lain dan dapat dilakukan berkali-kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, melakukan transaksi derivatif, dan lain-lain. Seringkali kali pula terjadi bahwa si penyimpan dana itu sudah merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan menyimpan sebelumnya. Bisa juga cara ini dilakukan misalnya si pemilik uang kotor meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal. Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatan bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi.

3). Tahap Integration

Merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Dengan cara ini akan tampak bahwa aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.

Hal-Hal yang Mempengaruhi Perkembangan Money Laundering di Indonesia:

a. Sistem Devisa Bebas di Indonesia

Indonesia menganut sistem devisa bebas, sebuah keadaan yang menimbulkan efek setiap orang bebas mengendalikan lalu lintas valuta asingnya, baik itu memasukan atau membawa keluar dari wilayah yurisdiksi negara Indonesia. Ketentuan tersebut termuat dalam PP No.1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor, dan Lalu lintas Devisa. Pada konsepnya PP No.1 Tahun 1982 Dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagi pembangunan nasional, atau dengan kata lain, dengan adanya peraturan tersebut diharapkan mampu menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, namun ternyata konstelasi tersebut juga menimbulkan ekses negatif di lain sisi, yaitu pesatnya pertumbuhan terjadinya money laundering atau pencucian uang.

b. Sistem Kerahasiaan Bank

Sistem Perbankan berikut peraturannya di Indonesia telah memberikan celah untuk tumbuh dan berkembangnya praktek money laundering. Di dalam peraturan perbankan Indonesia terdapat ketentuan yang melindungi kerahasiaan dari para nasabahnya (Pasal 41 UU.No.10 tahun 1998 tentang Perbankan). Hal inilah yang yang dijadikan alat berlindung para pelaku tindak pidana money laundering (pencucian uang). Peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa untuk pengusutan perbankan, kerahasiaan bank baru bisa dibuka setelah ada surat permohonan dari Menteri Keuangan ke Gubernur BI. Setelah disetujui, barulah pimpinan BI sebagaimana diatur dalam Peraturan BI No.2/19/PBI/2000 mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat bank. Kendati peraturan tersebut masih bisa membuka peluang untuk mendeteksi adanya praktek cuci-mencuci uang, namun hal tersebut belum cukup untuk menghentikan praktek money laundering karena sulitnya pembuktian bahwa praktek ini termasuk sebagai tindak kejahatan. Kelemahan ini, ternyata ‘didukung’ dengan peraturan lain seperti Surat Dirjen Pajak Nomor 07/PJ/1996 tentang Perlakuan Perpajakan atas Deposito dan atau Tabungan dan SK Direksi BI Nomor 29/192/KEP/DIR tanggal 26 Maret 1996 tentang Pedoman Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank. Dalam Surat Dirjen Pajak tersebut disebutkan bahwa tidak akan dilakukan pengusutan asal-muasal tabungan dan deposito berjangka.

c. Kesiapan Perangkat-perangkat Hukum

Faktor lain yang disinyalir turut mempengaruhi perkembangan money laundering di Indonesia ialah kurang efektifnya perangkat hukum yang ada. UU No.25 Tahun 2003 yang merubah UU. No.15 Tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian Uang ternyata belum mampu menanggulangi atau mereduksi perkembangan kasus-kasus tindak pidana pencucian uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dibentuk sebagai badan khusus guna mendukung upaya menangani praktek-praktek money laundering pun belum mampu bekerja efektif, rumitnya mekanisme proses money laundering serta sifat money laundering yang trans-institusional membuat PPATK semakin sulit untuk mendeteksi dan menangani kasus-kasus tindak pidana pencucian uang.

d. Aspek Likuiditas

Indonesia masih membutuhkan likuiditas. Namun karena hingga kini, kebutuhan likuiditas tersebut belum bisa terpenuhi, maka perbankan domestik masih memandang dana-dana asing penting untuk masuk ke Indonesia. Sementara masalahnya, pihak asing hanya setuju memasukan dananya jika dijamin untuk tidak diusut mengenai asal usulnya.

POKOK-POKOK SUBSTANSI PENGATURAN TINDAK PIDANA MONEY LAUNDERING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang ialah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Dalam fenomena tindak pidana pencucian uang pastilah berhubungan dengan eksistensi penyedia jasa keuangan, adapun dalam pengaturannya yang dimaksud dengan penyedia jasa keuangan ialah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos. Guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, maka diciptakan lembaga independen yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

2. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

§ transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;

§ transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang- Undang ini; atau

§ transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

3. Harta Kekayaan yang dikualifisir sebagai harta hasil dari tindak pidana ialah:

§ korupsi;

§ penyuapan;

§ penyelundupan barang;

§ penyelundupan tenaga kerja;

§ penyelundupan imigran;

§ di bidang perbankan;

§ di bidang pasar modal;

§ di bidang asuransi;

§ narkotika;

§ psikotropika;

§ perdagangan manusia;

§ perdagangan senjata gelap;

§ penculikan;

§ terorisme;

§ pencurian;

§ penggelapan;

§ penipuan;

§ pemalsuan uang;

§ perjudian;

§ prostitusi;

§ di bidang perpajakan;

§ di bidang kehutanan;

§ di bidang lingkungan hidup;

§ di bidang kelautan; atau

§ tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

4. Beberapa tindakan yang dapat dikualifikasikan ke dalam tindak pidana pencucian uang. (berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No.25/2003)

a. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana.

b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.

c. Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain.

d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain.

e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.

f. Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diproleh dari tindak pidana.

g. Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.

Tindakan-tindakan tersebut dapat dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling sedikit 100 (seratus) juta rupiah dan peling banyak 15 (lima belas) milyar rupiah.

Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah sumbangan, penitipan, atau penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga harta tersebut diperoleh dari hasil tindak pidana, maka dapat dipidana dengan hukuman penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling sedikit 100 (seratus) juta dan paling banyak 15 (lima belas) milyar rupiah. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bagi Lembaga penyedia keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan.

Ketentuan Pasal 7 UU 15/2002 menyatakan bahwa Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang.

Apabila penyedia jasa keuangan dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana disebutkan oleh ketentuan pasal 13 ayat 1, maka penyedia jasa keuangan tersebut dapat dipidana paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) juta, dan paling banyak 15 (lima belas milyar) rupiah. (pasal 8 UU 15/2002)

Pasal 9 menyebutkan bahwa Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

5. Pelaporan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

Penyedia jasa keuangan wajib melaporkan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut:

§ Transaksi keuangan mencurigakan,

§ Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dengan jumlah kumulatif 500 (lima ratus) juta rupiah atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara baik yang dilakukan satu kali transaksi ataupun beberapa transaksi dalam satu hari kerja. (Pasal 13 ayat 1 UU 25/2003).

Kewajiban pelaporan tersebut dikecualikan terhadap transaksi yang meliputi transaksi antar bank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK. (Pasal 13 ayat 4 dan 5 UU 25/2003)

Ketentuan Pasal 15 UU 25/2003 menyatakan bahwa lembaga penyedia keuangan, pejabatnya, maupun pegawainya tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas pelaksanaan kewajiban laporan.

Pasal 16 ayat 1 UU 25/2003 menyatakan bahwa Setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kemudian dalam jangka waktu 5 (lima) hari Dirjen Bea dan Cukai wajib melaporkan informasi tersebut kepada PPATK (Pasal 16 ayat 2 UU 25/2003). Dan apabila diperlukan PPATK dapat meminta informasi tambahan kepada direktorat jenderal bea dan cukai mengenai hal tersebut.

Setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan penyedia jasa keuangan wajib memberikan identitasnya secara lengkap dan akurat dengan mengisi formulir yang disediakan oleh penyedia jasa keuangan serta dengan melampirkan dokumen-dokumen yang diperlukan. (pasal 17 ayat 1 UU 15/2002)).

Direksi, pejabat, atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK, hal tersebut tertuang secara eksplisit pada ketentuan Pasal 17A ayat 1 UU No.25 tahun 2003.

6. Tugas dan Wewenang Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Dalam melaksanakan fungsinya, PPATK mempunyai tugas sebagai berikut (Pasal 26 UU No.25/2003):

a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan Undang-Undang ini;

b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;

c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;

d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini;

e. membuat pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukannya dalam Undang-Undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;

f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;

h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan;

i. memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai wewenang (Pasal 27 ayat 1):

a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan;

b. meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum;

c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;

d. memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.

Dalam melakukan audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, PPATK terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan (Pasal 27 ayat 2).

Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan Undang-undang lain yang berkaitan dengan ketentuan tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. (Pasal 27 ayat 3)

7. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang pengadilan

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana. (Pasal 30 UU 22/2002). Dalam hal ditemukan petunjuk atas suatu transaksi yang mencurigakan, maka dalam waktu paling lama 3 hari, PPATK wajib melaporkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti (Pasal 31 UU No.15/2002). Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik. Penyedia jasa keuangan setelah menerima perintah dari penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib melakukan pemblokiran sesaat setelah menerima surat perintah pemblokiran Pasal 32 ayat (3).

Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari penyedia jasa keuangan terhadap harta kekayaan orang yang dilaporkan oleh PPATK, tersangka ataupun terdakwa (Pasal 33 ayat 1 UU 25/2003).

Dalam hal diperoleh cukup bukti dalam pemeriksaan di pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan untuk melakukan sita terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari suatu tindak pidana. (Pasal 34 UU 15/2002).

Pembuktian Terbalik dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam rangkaian proses persidangan terhadap tindak pidana pencucian uang, digunakan proses pembuktian terbalik dimana terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil dari tindak pidana (Pasal 35 UU 15/2002). Ketentuan ini menyimpang dari prinsip ”jaksa membuktikan”, yakni prinsip hukum pidana yang menganut bahwa jaksa diwajibkan untuk membuktikan dalil-dalil dakwaan yang diajukannya. Namun sistem pembuktian terbalik dalam UU Tindak Pidana Pencucian berbeda dengan sistem pembuktian terbalik yang dianut UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tindak Pidana Pencucian Uang beban pembuktian terbalik itu bersifat compulsory, atau sebuah kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan harta ilegal, sedangkan dalam UU Tipikor, sifat pembuktian terbaliknya ialah fakultatif, yaitu hanya bersifat hak belaka bagi terdakwa, dapat digunakan ataupun tidak digunakan.

Peradilan In Absentia

Dalam UU Tindak Pidana Pencucian uang dapat diterapkan sistem peradilan in absentia, yaitu peradilan yang dilakukan dengan suatu putusan pengadilan dimana terdakwa tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat 1 UU 15/2002 Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.

Alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang

Pasal 38 UU 15/2002 menyebutkan bahwa alat bukti dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa:

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

c. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.

Dokumen yang dimaksud Pasal 1 angka 7 adalah data rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, atau gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Perlindungan saksi dan pelapor dalam UU tindak pidana pencucian uang

Di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ini diatur beberapa ketentuan tentang perlindungan bagi pelapor dan saksi, sebagaimana yang termuat dalam Bab VII tentang Perlindungan Bagi Pelapor dan Saksi, yang terdiri dari pasal 39 sampai 43. seseorang yang melaporkan, menginformasikan atau memberitahukan terjadinya dugaan tindak pidana mengenai pencucian uang, wajib mendapat perlindungan khusus oleh negara supaya tercegah dari ancaman yang membahayakan diri, keluarga dan hartanya. Secara tegas ditentukan bahwa PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor (Pasal 39 UU.15/2002). Begitupun di dalam sidang pengadilan dimana saksi, penuntut umum, hakim, atau pihak lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, dilarang untuk menyebutkan nama atau alamat pelapor atau keterangan lain yang memungkinkan terungkapnya identitas pelapor (Pasal 41 UU 15/2002). Selain itu juga Pasal 42 UU 15/2002 menyebutkan bahwa setiap orang yang memberikan saksi dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang wajib diberikan perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.

Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Tindak Pidana Pencucian Uang

Pasal 44 ayat 1 UU 25/2003 menyebutkan bahwa dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerjasama timbal balik di bidang hukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 44A ayat 1 menyebutkan bahwa kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain tersebut meliputi:

a. Pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang, termasuk pelaksanaan surat rogatori;

b. Pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan lain;

c. Identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang,

d. Pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan;

e. Upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil kejahatan;

f. Mengusahakan persetujuan orang-orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta;

g. Bantuan lain yang sesuai pemberian kerja sama timbal balik yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Wacana Solusi Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Solusi yang perlu segera dilakukan guna menghilangkan atau setidaknya mengurangi praktek cuci-mencuci illegal ini ialah menyempurnakan segala bentuk aturan yang terkait sebagai suatu tembok penghalang. Sejak dari awal tahapan (placement), hukum seharusnya sudah bisa mendeteksi bahwa transaksi yang dilakukan merupakan praktek money laundering.

Menurut Muladi (Kompas, 2 Agustus 1999), terdapat sejumlah faktor yang mutlak diperhatikan apabila Indonesia hendak melakukan pengaturan dan perumusan kebijakan kriminal terhadap money laundering, yaitu : (1) pengaturan tersebut hendaknya mencakup hukum pidana dan hukum administrasi. Hukum pidana berkaitan dengan proses kriminalisasi, sedangkan hukum administrasi berkaitan dengan government administrative order terhadap lembaga keuangan untuk mencegah dan mengatasi money laundering; (2) dalam perjanjian ekstradisi dan saling membantu dalam perkara pidana hendaknya memasukkan money laundering dalam list of crimes; (3) dalam hukum acara, hendaknya diatur untuk melacak, membekukan dan menyita barang haram tersebut; (4) tindak pidana money laundering jangan dibatasi pada kejahatan narkotika saja; (5) kerahasiaan bank hendaknya memperhatikan kekhususan yang berkaitan dengan money laundering.

Karena itu, usulan yang diajukan untuk mewajibkan lembaga keuangan menyampaikan laporan semua transaksi sebesar Rp 100 juta keatas yang juga harus jelas asal-usulnya, pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KPTPPU), perlindungan bagi pelapor dan saksi, insentif bagi pelapor transaksi money laundering dan dianutnya asas pembuktian terbalik dalam RUU Tindak Pidana Pencucian Uang ini patut mendapatkan dukungan.

Selain itu, diperlukan juga adanya perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain untuk menangkal terjadinya praktek pencucian uang ini. Sejumlah negara yang telah melakukan kerjasama dalam mengatasi masalah money laundering ini adalah Perancis, Kanada, Italia, Jerman Barat, Inggris, AS, Switzerland, Swedia, Spanyol, Belanda, Luxemburg, Belgia, Austria dan Australia. Pada tahun 1990, negara-negara tersebut sepakat memerangi masalah ini dengan membuat UU Kriminal, UU Perbankan dan Kerjasama Internasional.

UU Kriminal, dipergunakan untuk menjaring praktek money laundering sebagai suatu bentuk pelanggaran baik secara domestik maupun diluar batas wilayah. Sementara UU Perbankan dipergunakan untuk mengetahui atau mengawasi segala bentuk transaksi dan kepemilikan rekening bank. Kedua perangkat hukum tersebut saling dihubungkan antara negara satu dengan negara lainnya lewat kerjasama yang telah disepakati untuk saling memonitor transaksi.

Dengan cara tersebut, Amerika Serikat berhasil meredam peredaran uang yang berasal dari transaksi obat bius dan Australia sukses memberangus praktek penggelapan pajak. Dengan cara tersebut pula, kasus-kasus seperti yang pernah dilakukan oleh para praktisi money laundering seperti Manuel Noriega, Presiden Marcos, Jose Gonzalo Rodrigues Gacha dan Aldo Gucci, besar kemungkinan tidak akan terulang kembali.

Published in: on March 8, 2009 at 7:38 am  Leave a Comment  
Tags: , ,

Peninjauan Kembali (PK) Dalam Perkara Perdata

pkPROSEDURAL ADMINISTRASI PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI (PK)

§ Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali.

§ Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

§ Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut, maka permohonan PK tersebut tidak dapat diajukan kembali.

§ Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

§ Permohonan PK diajukan kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Ketua PN yang memutus perkara dalam tingkat pertama.

§ Peninjauan Kembali dapat diajukan dalam waktu 180 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap atau sejak ditemukan adanya bukti-bukti baru.

§ Pernyataan peninjauan kembali dapat diterima apabila panjar perkara yang ditaksir dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) oleh meja pertama Urusan Kepaniteraan Perdata telah dibayar lunas.

§ Dalam menaksir biaya peninjauan kembali tersebut, ditentukan berdasarkan besarnya biaya peninjauan kembali yang ditentukan oleh Ketua Mahkamah Agung RI dan ongkos pemberitahuan berupa:

Pemberitahuan pernyataan peninjauan kembali dan alasan peninjauan kembali;

Pemberitahuan jawaban atas permohonan peninjauan kembali;

Pemberitahuan penyampaian salinan putusan; dan

Pemberitahuan bunyi putusan.

§ Apabila PK telah dibayar lunas, maka panitera Pengadilan Negeri wajib membuat akta PK dan mencatat permohonan tersebut ke dalam register induk perkara perdata dan register perkara perdata PK.

§ Dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari, panitera wajib memberitahukan tentang permohonan PK kepada pihak lawan dengan memberikan/mengirimkan salinan permohonan PK beserta alasan-alasannya.

§ Jawaban/tanggapan atas alasan PK diajukan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak alasan PK tersebut diterima. Jawaban/tanggapan tersebut disampaikan di kepaniteraan untuk disampaikan kepada pihak lawan.

§ Jawaban/tanggapan tersebut dibubuhi hari dan tanggal penerimaan yang dinyatakan di atas surat jawaban tersebut di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Setelah itu, dalam waktu 30 hari setelah menerima jawaban berkas perkara PK berupa bundel A dan B harus dikirim ke MA.

§ Bundel A merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara dan selalu disimpan di Pengadilan Negeri, yang mana bundel A tersebut isinya sama seperti bundel A perkara banding dan kasasi. Sedangkan bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan permohonan pernyataan banding, kasasi, dan PK serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya PK.

§ Bundel B untuk perkara PK terdiri atas:

Relaas pemberitahuan isi putusan MA;

Akta permohonan PK;

Surat Permohonan PK, dilampiri dengan surat bukti;

Tanda terima surat permohonan PK;

Surat Kuasa Khusus (jika ada);

Surat Pemberitahuan dan Penyerahan Salinan PK kepada pihak lawan;

Jawaban Surat permohonan PK;

Salinan Putusan PN;

Salinan Putusan PT;

Salinan Putusan MA;

Tanda Bukti setor biaya dari Bank; dan

Surat-surat lain yang sekiranya dan diperlukan.

§ Mahkamah Agung (MA) memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir.

ALASAN-ALASAN DIAJUKANNYA PERMOHONAN PK

Pada dasarnya PK dapat diajukan secara tertulis atau apabila pemohon tidak dapat menulis diajukan dengan lisan dan menyebut alasan-alasannya yang dijadikan dasar-dasar permohonan dan dimasukan di Kepaniteraan PN yang memutus perkara dalam tingkat pertama.

Alasan-alasan PK terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah:

§ Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan, atau tipu muslihat pihak lain yang diketahui setelah perkara diputus, atau didasarkan bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. PK dengan berdasarkan alasan ini diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak diketahui adanya kebohongan, tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

§ Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. Aspek ini lazim disebut dengan istilah Novum. PK dengan berdasarkan alasan ini diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditemukannya Novum di mana hari dan tanggal ditemukan Novum di buat di bawah sumpah serta disahkan pejabat berwenang. Dapat dilihat pada Putusan MA No.34 PK/Pdt/1984 tanggal 2 Oktober 1984.

§ Apabila telah dikabulkan mengenai sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut. PK dengan berdasarkan alasan ini diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. Dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung No. 146 PK/Pdt/986 tanggal 23 Januari 1987.

§ Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. PK dengan berdasarkan alasan ini diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, serta telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

§ Putusan bertentangan antara satu dengan lainnya, dalam hal ini terdapat hal-hal dimana pihak-pihak yang sama, mengenai hal yang sama, atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama, atau sama tingkatnya. PK dengan berdasarkan alasan ini diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak sejak putusan terakhir yang bertentangan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap dan diberitahukan kepada pihak yang berperkara. Dapat dilihat pada Putusan MA No. 78 PK/Pdt/1984 tanggal 9 April 1987.

§ Apabila dari suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. PK dengan berdasarkan alasan ini diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, serta telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara. Dapat dilihat pada Putusan MA Nomor 167 PK/Pdt/1991 tanggal 19 April 1994.

TATA CARA PEMERIKSAAN PK

§ Setelah perkara PK diterima Direktorat Perdata MA, maka berkas PK tersebut diteliti dan ditelaah oleh Hakim Tinggi Raportir pada MA untuk mengetahui kelengkapan formalnya.

§ Apabila kelengkapan formal ini tidak terpenuhi, seperti terlambat mengajukan, atau tanpa surat kuasa/surat kuasa tidak khusus, maka akan menyebabkan permohonan PK tersebut tidak dapat diterima.

§ Kemudian setelah Hakim Tinggi Raportir menerima berkas perkara perdata PK lalu dikembalikan kepada Direktorat Perdata dengan model B.B. kemudian dicatat dalam buku penerima berkas Hakim Tinggi Raportir. Setelah itu dibuat resume perkara, usul pendapat Hakim Tinggi Raportir dan Net konsep putusan.

§ Kemudian berkas perkara PK tersebut diteruskan oleh Direktur Perdata kepada Ketua MA atau Ketua Muda MA yang mendapat wewenang, untuk ditetapkan team yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dan dalam waktu 1 bulan Direktur Perdata sudah mengirim kembali berkas perkara PK kepada Hakim Tinggi Raportoir.

§ Kemudian Hakim Tinggi Raportoir segera menyerahkan berkas perkara PK kepada Ketua Tim, yang dilengkapi dengan resume dan Pendapat Hakim Tinggi Raportir serta penetapan Majelis Hakim untuk mengadili perkara itu, dan setelah ketua Tim menunjuk Majelis Hakim maka Hakim Tinggi Raportir menghubungi ketua Majelis untuk menetapkan hari sidang perkara tersebut.

§ Apabila diperlukan, maka MA berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding mengadakan pemeriksaan tambahan atau meminta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan tersebut dan kemudian setelah melaksanakan perintah MA maka PN/PT segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan kepada MA.

PUTUSAN PERADILAN PK

§ Putusan yang menyatakan bahwa permohonan PK tidak dapat diterima.

Dapat Terjadi karena Pengajuan PK tidak memenuhi syarat formal seperti:

Pemohon terlambat mengajukan PK,

permohonan PK tanpa adanya surat kuasa/surat kuasa tidak khusus dibuat untuk PK, atau

Dikarenakan PK diajukan untuk kedua kalinya, serta

PK dimohonkan terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan kekuatan hukum tetap.

§ Putusan yang menyatakan bahwa permohonan PK ditolak.

Terjadi apabila MA berpendapat bahwa permohonan PK yang diajukan tidak beralasan. Alasan ini dapat dikarenakan permohonan PK tidak didukung oleh fakta atau keadaan yang merupakan alasan dan menjadi dasar permohonan PK, atau dapat pula dikarenakan alasan-alasan permohonan PK tidak sesuai dengan alasan-alasan yang ditetapkan secara limitatif oleh UU.

§ Putusan yang menyatakan bahwa permohonan PK dikabulkan.

Terjadi apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan permohonan PK karena sesuai dengan ketentuan pasal 67 UU MA. Dalam hal MA mengabulkan permohonan PK maka MA akan membatalkan putusan yang dimohonkan PK tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri perkaranya.

Published in: on March 8, 2009 at 7:30 am  Leave a Comment  
Tags: , ,

Dewasa Menurut Hukum Positif Indonesia

§ Menurut konsep Hukum Perdata

Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).

Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan.

Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu.

Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).

Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia belum dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan kehendak orang tua.

Dari uraian tersebut kita lihat bahwa seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat.

Bila hakim berpendapat bila seseorang dinyatakan dewasa maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang diberikan itu. Setelah memperoleh pernyataan itu, seorang yang belum dewasa, sehubungan dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam acara perdata dengan domisilinya. Bila ia menyalahgunakan wewenang yang diberikan maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu dicabut oleh hakim.

§ Menurut konsep Hukum Pidana

Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi “belum cukup umur”.

§ Menurut konsep Hukum Adat sebagai norma-norma hukum yang hidup di masyarakat (living law)

Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu. Belum cakap artinya, belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri.

Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun. sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.

· Hukum Adat Jawa (Djojodigoeno):

Lahir

mentas

kuat gawe

mencar

volwassen

Cakap bila seseorang telah kawin & mulai hidup mandiri (berumah tangga sendiri)

· Joeni Arianto Kurniawan

mandiri (berumah tangga sendiri)

Dewasa dalam arti sosial, bukan dlm arti biologis-fisik

Mandiri :

o dlm rumah ortu, ttp dlm bilik sendiri

o rumah sendiri, ttp di atas pekarangan ortu

o rumah & pekarangan sendiri

· Von Vollenhoven

Jawa Pusat, Jawa Timur, & Madura:

Kelengkapan status apakah masih mjd tanggungan ortu (“kerakyat”)

Aceh: Kecakapan menurut kepatutan

· Gayo, Alas, Batak, Maluku-Ambon:

Kecakapan apakah masih mjd tanggungan ortu (“kerakyat”)

· Ter Haar (=Djojodigoeno)

Cakap Volwassen sudah kawin dan hidup terpisah meninggalkan ortunya

· Soepomo

Dewasa:

kuat gawe

cakap mengurus harta benda & keperluannya sendiri

Dr. Wayan P. Windia, S.H, M.Hum, ahli hukum adat Bali dari FH Unud menyatakan bahwa pada hukum adat Bali, jika seseorang mampu negen (nyuun) sesuai beban yang diujikan, mereka dinyatakan loba sebagai orang dewasa. Misalnya, ada warga yang mampu negen kelapa delapan butir atau nyuun kelapa enam butir. Ia otomatis dinyatakan sudah memasuki golongan orang dewasa.

Ukuran dewasa dalam hukum adat, khususnya dalam lingkungan masyarakat Padang Lawas sebagai syarat untuk kawin harus memenuhi ciri: sudah mampu untuk mengurus diri sendiri, sudah kuat dalam melakukan pekerjaan yang oleh umum menganggap sebagai pekerjaan orang yang sudah dewasa, keadaan demikian diperkirakan untuk laki-laki tingkat kedewasaan ragawi dan untuk wanita tingkat kedewasaan laki-laki ragawi atau orang yang telah melangsungkan perkawinan. Sementara kalau berpijak kepada hukum perdata berat, maka urusan dewasa secara tegas ada diatur pada pasal 330 KUH Perdata, dengan menyebutkan batasan yang jelas, yakni: belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin dan seterusnya.

§ Putusan-Putusan terkait kedewasaan menurut hukum adat

Pada dasarnya hukum adat menyatakan bahwa sesorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila seseorang sudah kuat gawe atau mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya.

Yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 1 Juni 1955 nomor 53K/Sip/1955 menyebutkan bahwa seseorang dianggap telah dewasa apabila usianya telah mencapai 15 tahun.

Dalam keputusannya yang lain, MA menentukan bahwa untuk daerah Jakarta, maka seseorang yang telah mencapai usia 20 tahun dan sudah cakap untuk bekerja, dianggap sudah dewasa (Keputusan tertanggal 2 November 1976 nomor 601K/Sip/1976).

Kemudian muncul Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 13 Oktober 1976 No.477/K/Pdt, yang secara tegas menyatakan bahwa yang batasan usia dewasa ialah 18 tahun.

§ Menurut konsep Undang-undang R.I sekarang

Berdasarkan Undang-undang R.I yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan dewasa belum ada pengertiannya. Yang ada baru UU perkawinan No. 1 tahun 1974, yang mengatur tentang:

1. izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2);

2. umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 2);

3. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1);

4. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada dibawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).

Tetapi tidak ada ketentuan yang mengatur tentang “yang disebut belum dewasa dan dewasa” dalam UU ini.

KESIMPULAN

Usia Dewasa di atur dalam berbagai pasal sbb :

§ Pasal 338 KUHPerdata                                : 21 tahun

§ Pasal 50 UU No.1/1974                                : 18 tahun

§ Pasal 39 ayat 1 UU No.30/2004                    : 18 tahun

§ Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tgl 13 Oktober 1976 No.477/K/Pdt.   : 18 tahun

§ Adat : Berdasar pada ukuran sosial bukan fisik atau regulasi.

Published in: on March 8, 2009 at 7:25 am  Comments (1)  
Tags: ,