Aspek Legal Perubahan Yang Terkandung Dalam RUU Perfilman

Materi-materi berikut merupakan ketentuan yang dirubah atau ditambahkan oleh RUU Perfilman apabila diperbandingkan dengan UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman

KEGIATAN PERFILMAN DAN USAHA PERFILMANmerah putih movie

  1. Selain tentang Usaha Perfilman, RUU Perfilman juga melengkapi pengaturan dengan menambahkan pengaturan tentang Kegiatan Perfilman, suatu ketentuan yang tidak diatur dalam UU 8/1992 tentang Perfilman; (BAB III RUU PERFILMAN) à Merupakan suatu wujud konkrit RUU Perfilman untuk memberikan ikatan regulasi yang lebih luas dan lebih rigid dalam menjangkau para subyek perfilman dalam menjalankan operasional perfilmannya;
  2. Secara keseluruhan RUU Perfilman lebih memberikan pengaturan tentang Kegiatan Perfilman dan Usaha Perfilman yang lebih komprehensif, yakni dengan adanya ketentuan seputar larangan terhadap content film, diversifikasi dan kualifikasi kegiatan perfilman dengan usaha perfilman berikut dengan para pelakunya; (Pasal 5-9 RUU PERFILMAN) à hal-hal baru yang diatur dalam RUU Perfilman lebih mengarah pada suatu upaya ekstensifikasi regulasi perfilman dan upaya yang lebih spesifik dari pemerintah untuk mengatur setiap jengkal operasional perfilman nasional. Suatu fakta yang apabila ditelaah dari aspek legalistik formal merupakan sebuah bentuk progresif penciptaan regulasi oleh Pemerintah (tanpa melihat keseimbangan dan arah pengaturan materiil RUU itu sendiri). Beda halnya apabila hal tersebut dilihat dari sudut pandang para subyek perfilman itu sendiri. Semakin banyaknya kavling yang ”diakuisisi” oleh Pemerintah melalui regulasi pastinya menimbulkan kekhawatiran akan munculnya hambatan-hambatan kreatifitas bagi para sineas nasional;
  3. RUU Perfilman lebih memberikan kualifikasi usaha perfilman yang lebih luas dengan menambahkan bidang penjualan dan penyewaan film serta pengarsipan film sebagai bagian dari usaha perfilman. Penambahan tersebut melengkapi bidang usaha perfilman lainnya yang juga telah sama diatur dalam UU 8/1992, yakni pembuatan film, jasa teknik film, ekspor film, impor film, pengedaran film, pertunjukan dan/atau penayangan film; (Pasal 8 ayat 2 RUU PERFILMAN). à dengan masuknya penyewaan film sebagai salah satu bidang usaha perfilman, pastinya akan berpengaruh terhadap konstelasi bisnis pemyewaan film di Indonesia, baik yang diselenggarakan oleh badan hukum maupun perseorangan. Sebagaimana diketahui, jika selama ini bidang usaha perfilman masih terlihat ”lepas” dari regulasi perfilman atau dengan kata lain, dalam penyelenggaraannya lebih berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum bisnis dan korporasi biasa, maka setelah disahkannya RUU Perfilman ini, para penyelenggara usaha penyewaan film harus senantiasa siap menyesuaikan diri dengan regulasi dan kebijakan pemerintah terkait kegiatan usahanya. Dan hal utama yang disinyalir akan cukup berpengaruh terhadap operasional kegiatan usaha penyewaan film ialah terkait dengan upaya pemerintah untuk menjadikan film-film nasional menjadi ”raja” di negerinya sendiri melalui langkah prioritas film nasional, serta tentunya yang berkaitan dengan tata edar film-film yang akan dijadikan ”bahan baku” penyewaan film tersebut. Poin terakhir tentunya juga tidak bisa dilepaskan dari eksistensi penyakit lokal musik dan film Indonesia, yakni pembajakan…!
  4. RUU Perfilman memuat ketentuan tentang kewajiban memprioritaskan film Indonesia dalam penyelenggaraan kegiatan perfilman dan usaha perfilman; (Pasal 10 RUU PERFILMAN) à Pada titik ini apa yang menjadi misi pemerintah melalui RUU Perfilman ini pada dasarnya sudah sangat baik, karena secara prinsip pemerintah ingin lebih meningkatkan lagi produktivitas film-film nasional, dan menjadikan para sineas Indonesia raja di dunia perfilmannya sendiri;
  5. RUU Perfilman memberikan pengaturan tentang larangan adanya kepemilikan bidang usaha perfilman yang dapat mengakibatkan adanya integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak. RUU Perfilman juga memberikan limitasi atas larangan tersebut; (Pasal 12 RUU PERFILMAN) à sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas perfilman nasional, pemerintah juga melakukan internalisasi regulasi anti monopoli dan persaingan yang tidak sehat dalam industri perfilman. Adanya ketentuan ini sedikit banyak didorong oleh adanya desakan dan problematika yang ada sebelumnya dari beberapa pelaku usaha perfilman, khususnya dalam bidang pertunjukan dan peredaran film yang memiliki kekuatan bisnis relatif kecil. Apabila ditinjau dari logika hukum materiil, pada dasarnya dimasukannya ketentuan anti monopoli dan persaingan tidak sehat dalam RUU tersebut telah memberikan suatu frame tersendiri bagi arah perkembangan perfilman nasional yang sehat, meskipun di sisi lain fakta telah menyebutkan bahwa tanpa adanya limitasi tersebut pun perfilman nasional telah mampu bangkit dan bahkan terus berkembang hingga kini;
  6. RUU Perfilman memberikan pengaturan tentang larangan bagi pelaku usaha pertunjukan film (bioskop), yakni berupa larangan mempertunjukan film dari hanya 1 (satu) pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; (Pasal 13 RUU PERFILMAN) à sama dengan poin penjelasan sebelumnya, apa yang tercantum pada ketentuan ini pada dasarnya sebuah bentuk manifestasi upaya pemerintah dalam mewujudkan iklim usaha dalam industri perfilman nasional yang sehat dan senantiasa dapat memacu perkembangannya. Dengan adanya ketentuan sebagaimana disebutkan, ke depannya tidak ada lagi rumah produksi film yang mendominasi suatu bioskop atau arena pertunjukan lainnya. Sebagaimana diketahui, di beberapa daerah yang belum terjangkau nilai-nilai ”metropolitan” masih ada production house atau rumah produksi film yang seolah-olah menguasai medan bioskop tersebut, seolah tidak terjangkau atau tidak perduli dengan adanya lalu lintas perfilman yang padat. Dan satu hal juga yang perlu diingat bahwa fenomena monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada sektor pertunjukan film ini juga tidak dapat dilepaskan dari praktek-praktek peredaran dan/atau distribusi film nasional, yang sebelum disahkannya RUU ini banyak menjadi permasalahan bagi pelaku usaha pertunjukan film kelas minor. Berdasarkan ketentuan baru dalam RUU Perfilman ini, maka ke depannya dipastikan pemerintah lebih mengambil peran dalam proses distribusi dan tata edar film-film nasional maupun impor tersebut. Dengan adanya peran pemerintah yang masiv tersebut, sepertinya pelaku-pelaku usaha pertunjukan film (bioskop) nasional kelas minor (dan umumnya di daerah) takkan lagi berteriak karena mereka merasa terpinggirkan dalam distribusi film nasional yang sebelumnya begitu dominan dikuasai oleh bioskop-bioskop kelas atas, seperti Cineplex/21 dan Blitz Megaplex;
  7. RUU Perfilman memberikan pengaturan tentang larangan bagi pelaku usaha pembuatan film, jasa teknik film, pengedaran film, pertunjukan film, penjualan dan penyewaan film, ekspor film, dan impor film untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain, memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; (Pasal 14 RUU PERFILMAN) à  Poin ini sebenarnya merupakan wujud konkrit respon dari pemerintah atas adanya keluhan monopoli distribusi dan pertunjukan film di bisokop-bioskop besar yang diajukan oleh kelompok pengusaha bioskop minor atau kelas menengah ke bawah.  Para kelompok bisokop minor yang umumnya kegiatan usahanya tidak terintegrasi dengan mall atau pusat perbelanjaan sudah lama mengeluhkan tentang pasokan film tersebut. Besarnya hegemoni cineplex (menyusul kemudian blitz) dalam distribusi film telah membuat banyak bioskop minor gulung tikar. Hal tersebut tidak lain terjadi karena ketiadaan regulasi yang mengatur tentang distribusi tersebut, sehingga secara tidak langsung para pengusaha biskop besar dan rumah produksi/produser telah saling nyaman dengan konstelasi mutualisme dari kedudukan bisnis keduanya di industri perfilman nasional, suatu hal yang ternyata berimbas buruk pada pengusaha bioskop minor. Dengan adanya rangkaian ketentuan sebagaimana diuraikan sebelumnya, diharapkan ke depannya pengaturan tentang distribusi tersebut akan mampu ’menyehatkan” kembali distribusi film nasional di seluruh Indonesia. Terlepas dari pengaturan legalistik itu semua, bahwa satu hal yang perlu diingat juga bahwa para sineas atau pelaku industri perfilman nasional yang sangat mengandalkan kreatifitas sebagai sumber daya utama mereka pasti merasa tidak nyaman dengan terlalu banyaknya aturan-aturan yang berpotensi membatasi kreatifitas mereka, dan itulah refleksi yang terjadi pada RUU Perfilman ini. Selain hal itu, patut juga dikritisi mengani tidak terdapatnya pasal dalam RUU Perfilman yang mengatur tentang hak pengelola bioskop untuk menolak ataupun menurunkan film yang kurang penonton, hal ini tentunya menjadi penting sebagai suatu upaya untuk menjaga konsistensi lalu lintas produksi dan kualitas perfilman itu sendiri tentunya;
  8. RUU Perfilman memberikan pengaturan yang berbeda dari UU 8/1992, dimana izin usaha perfilman, untuk  jenis usaha penjualan dan penyewaan film, pengarsipan film, dan/atau pertunjukan film yang dilakukan di dalam bioskop dan/atau di tempat yang diperuntukan bagi pertunjukan film, diberikan oleh Bupati atau Walikota. Sedangkan izin untuk bidang usaha lainnya, yakni pembuatan film, jasa teknik film, pengedaran film, ekspor film, dan/atau impor film tetap diberikan oleh Menteri; (Pasal 15 RUU PERFILMAN)
  9. RUU Perfilman memberikan pengaturan mengenai kerja sama antar pelaku usaha perfilman, antar pelaku kegiatan perfilman, dan/atau antara pelaku usaha perfilman dan pelaku kegiatan perfilman wajib dilakukan dengan perjanjian tertulis; (Pasal 16 RUU PERFILMAN) à Merupakan suatu bentuk progresivitas aspek hukum dalam industri perfilman sebagai bagian dari industri kreatif. Dengan adanya ketentuan tersebut telah membuat bisnis film nasional juga menjadi salah satu bidang bisnis yang sensitif akan hukum;
  10. Dalam hal pembuatan film, RUU Perfilman memberikan pengaturan bahwa dalam pelaksanaannya harus didahului dengan mengajukan pendaftaran pembuatan film kepada Menteri, yang disertai dengan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Yang mana pelaku usaha pembuatan film wajib melaksanakan pembuatan film dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pendaftaran. Adapun pendaftaran dimaksud dimaksudkan agar Menteri dapat melindungi pembuatan film agar tidak terjadi kesamaan judul dan isi cerita; (Pasal 18 RUU PERFILMAN) à  Pengaturan RUU Perfilman seputar izin yang harus disampaikan para pembuat dan pelaku film seperti harus mendaftar judul film sebagaimana dimaksud berpotensi menimbulkan permasalahan dalam penerapannya, ditambah lagi adanya potensi pertentangan dengan rezim hak atas kekayaan intelektual (merek dan hak cipta). Sejauh manakah kedudukan hukum pendaftaran judul dan isi cerita film sebagaimana dimaksud dalam aturan tersebut apabila dipersandingkan dengan pendaftaran merek dan hak cipta sebagai kekayaan intelektual? Bukankah menjadi rancu dalam penerapannya. Poin penambahan aturan yang bersifat birokratis ini disinyalir akan menjadi salah satu aturan yang cukup membuat para insan perfilman mengalami hambatan-hambatan dalam menerapkannya;
  11. RUU Perfilman juga secara konkrit telah mendeskripsikan mengenai kualifikasi insan perfilman. Hal mana yang dimaksud dengan insan perfilman ialah penulis skenario film, sutradara film, artis film, juru kamera film, penata cahaya film, penata suara film, penyunting suara film, penata laku film, penata musik film, penata artistik film, karyawan film, penyunting gambar film, produser film, dan/atau perancang animasi. Insan perfilman sebagaimana dimaksud mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan hukum mana yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang mencakup hak dan kewajiban para pihak; (Pasal 21 RUU PERFILMAN) à wujud langkah progresif dalam dunia perfilman nasional yang telah melakukan ekstensifikasi jangkauan subyek insan perfilman dan melindunginya di bawah rezim hukum perfilman nasional. Untuk poin pengaturan ini diyakini akan memberikan suatu atmosfer yang lebih kondusif bagi para insan perfilman nasional dalam mengembangkan bidang-bidang usahanya;
  12. Dalam hal pengedaran film, RUU Perfilman telah memberikan pengaturan bahwasanya pelaku usaha pengedaran film wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film untuk memperoleh film, begitu juga sebaliknya. Yang mana tata edar film dimaksud ditetapkan oleh Menteri; (Pasal 27 jo Pasal 29 RUU PERFILMAN) à Merupakan wujud lain ekstensifikasi peran pemerintah dalam mengatur perfilman nasional. Dengan diaturnya secara rigid dan definitif tata edar perfilman di tangan Manteri, diyakini hal ini akan semakin membebani dan memberikan limitasi bagi para insan perfilman dalam melakukan kegiatan dan usaha perfilmannya. Ketentuan ini semakin menegaskan peran yang dominan dari pemerintah dalam mengurusi operasional perfilman nasional, suatu keadaan yang sangat dikhawatirkan akan menghambat kreatifitas & produktivitas insan perfilman itu sendiri;
  13. RUU Perfilman juga menegaskan adanya kewajiban dari pelaku usaha pertunjukan film untuk mempertunjukan film Indonesia sekurang-kurangnya 50% dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya, kecuali dalam hal ketersediaan film Indonesia tidak cukup; (Pasal 32 RUU PERFILMAN) à ketentuan ini sangat menarik untuk dikaji. Di satu titik terlihat bahwa pengaturan ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan amanat dalam memprioritaskan film nasional sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Terlihat baik memang, karena ketentuan itu akan secara langsung, tegas, dan terang-terangan mendorong film nasional menguasai bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Tapi apabila ditinjau lebih mendalam, apa jadinya jika upaya tersebut dibakukan menjadi sebuah aturan atau standar minimal? Kekhawatiran yang mendasar dan paling utama ialah, adanya frekuensi produksi besar-besaran dari para produser nasional dengan dalih untuk memenuhi kuota minimal 50%. Bisa dibayangkan, trend film-film dewasa yang berbalut horror, film-film komedi dewasa, atau film-film kacangan dengan tema lain akan semakin merajalela. Atau dengan kata lain, produser-produser karbitan yang hanya mengejar uang dan menafikan kualitas dan moralitas karya seni sinematografi akan semakin menjamur, karena pada dasarnya lahan perfilman telah sangat terbuka untuk itu. Sudah banyak film-film kacangan dengan tema yang meleset (seks tapi mengaku horror) lahir di belantika film nasional. Proses produksi yang kurang dari 2 (dua) bulan, aktor dan aktris yang seadanya, jalan cerita dan tema yang entah kemana bisa jadi akan menjadi suatu budaya baru dalam perfilman nasional, atau dengan kata lain kualitas seni perfilman nasional berpotensi jatuh. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena pasar perfilman sudah tidak lagi merangsang proses produksi namun telah menjebak para insan perfilman Indonesia;
  14. Dalam hal pengarsipan film sebagai bagian dari kegiatan perfilman dan usaha perfilman, RUU Perfilman telah mengatur bahwa salah satu kopi film dari setiap film disimpan sebagai arsip paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal terakhir film dipertunjukan; (Pasal 40 RUU PERFILMAN) à sebuah bentuk pengadministrasian dan pengarsipan yang efektif dari pemerintah untuk senantiasa melestarikan perfilman nasional;

HAK DAN KEWAJIBANfilm law

  1. RUU Perfilman memberikan suatu pengaturan khusus dalam satu BAB mengenai Hak dan Kewajiban, dimana di dalamnya terkandung materi seputar hak dan kewajiban masyarakat, hak dan kewajiban insan perfilman, serta hak dan kewajiban pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman; (Pasal 46 – Pasal 51 RUU PERFILMAN) à sebuah bentuk perluasan pengaturan perfilman bagi masyarakat dan insan perfilman. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan para subyek perfilman nasional telah memiliki frame masing-masing dalam melakukan peranannya di perfilman nasional.

TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH

  1. Selain itu RUU PERFILMAN juga memberikan pengaturan khusus tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dimana secara umum disebutkan bahwa Pemerintah memiliki tugas menyusun, menetapkan, dan mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional serta memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman. Yang mana dalam pelaksanaannya di tingkat daerah diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah; (Pasal 53 RUU PERFILMAN) à           RUU Perfilman telah memberikan pengaturan yang mengharuskan pemda untuk berpartisipasi dalam menyediakan fasilitas mendukung berkembangnya perfilman daerah melalui dana APBD. bahwa pembangunan perfilman dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah, mulai dari perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan kekhawatiran sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa apabila semua diatur oleh pemerintah, industri film nasional akan kehilangan kreativitasnya. Selain itu ketentuan-ketentuan dalam RUU Perfilman yang mengatur mulai dari perizinan bioskop, perencanaan film hingga penyelenggaraan dan pengawasannya, serta tata edar film berpotensi menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di tingkat pemerintah daerah;

SENSOR FILM

  1. Sebagaimana UU 8/1992, RUU PERFILMAN juga memberikan pengaturan yang senada tentang Sensor Film, bahkan dalam ketentuannya (BAB VI), RUU Perfilman lebih memberikan pengaturan yang lebih komprehensif tentang kedudukan Lembaga Sensor Film sebagai lembaga yang bersifat tetap dan independen; (Pasal 54 – Pasal 61 RUU PERFILMAN) à salah satu hal yang masih juga dikritisi oleh para pelaku film nasional ialah eksistensi sensor dan Lembaga Sensor Film. Para sineas berpandangan bahwa sensor film telah menghambat kreatifitas dan produktivitas karya-karya perfilman mereka. Sebagaimana diketahui bahwa, umumnya di negara-negara demokrasi, sensor dan lembaga sensor memang relatif minor peranannya bahkan ditiadakan. Atas dasar itulah para sineas berpegangan bahwa mereka tidak lagi membutuhkan sensor dan lembaga sensor film di Indonesia, biarlah pihak yang memproduksi dan masyarakat selaku penikmat film yang melakukan self-sensor atas film tersebut. Atas pandangan tersebut, pemerintah masih bersikeras bahwasanya sensor dan lembaga sensor itu masih sangat dibutuhkan, terlebih untuk negara timur seperti Indonesia;
  2. RUU Perfilman juga menambahkan kewenangan bagi Lembaga Sensor Film untuk dapat mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan tentang larangan content film dan penggolongan usia; (Pasal 57 ayat 4 RUU PERFILMAN) à ketentuan ini justru disinyalir akan semakin memperkuat eksistensi lembaga sensor film dan menempatkan para insan perfilman seolah sebagai target hukuman, dan hal ini dikhawatirkan kembali menjadi suatu potensi yang mampu mematikan kreatifitas para sineas film nasional;

PERAN SERTA MASYARAKAT

  1. RUU Perfilman memberikan pengaturan seputar peran serta masyarakat yang lebih luas dari ketentuan peran serta masyarakat yang tercantum dalam UU 8/1992. Pengaturan yang lebih luas tersebut dapat dilihat pada ketentuan tentang bentuk-bentuk peran serta masyarakat, adanya Badan Perfilman untuk meningkatkan peran serta masyarakat, serta kedudukan, tugas, dan pembiayaan Badan Perfilman tersebut; (Pasal 62 – 65 RUU PERFILMAN)

PENGHARGAAN

  1. RUU Perfilman juga memberikan pengaturan seputar penghargaan perfilman, dimana disebutkan bahwa setiap film, insan perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan pelaku usaha perfilman yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan perfilman diberi penghargaan; (Pasal 66 dan 68 RUU PERFILMAN) à Dengan adanya ketentuan ini, Pemerintah semakin mendorong adanya apresiasi yang efektif bagi seluruh subyek film dan karya film yang berprestasi;

film 1 fixedSTANDAR KOMPETENSI DAN SERTIFIKASI

  1. RUU Perfilman mengatur bahwa setiap insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi. Yang mana standar kompetensi sebagaimana dimaksud dilakukan melalui sertifikasi kompetensi oleh organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau perguruan tinggi; (Pasal 68 RUU PERFILMAN) à selaras dengan bidang-bidang seni dan non-seni lainnya, ketentuan ini diharapkan mampu meningkatkan secara signifikan kualitas-kualitas dalam perfilman nasional, baik itu kualitas para sineasnya maupun karya yang dihasilkan oleh sineas tersebut;

PENDANAAN

  1. RUU Perfilman mengatur bahwa pendanaan perfilman menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pelaku Kegiatan, Pelaku Usaha, dan Masyarakat. Dengan sumber pendanaan yang telah ditentukan definitif; (Pasal 69 – 71 RUU PERFILMAN)

SANKSI ADMINISTRATIF

  1. RUU Perfilman juga menambahkan ketentuan seputar sanksi administratif, yakni yang berupa teguran tertulis, denda administratif, penutupan sementara, dan pembubaran/pencabutan izin;

SANKSI PIDANA

  1. Sebagaimana UU 8/1992, RUU Perfilman juga memberikan pengaturan seputar sanksi pidana. Bahkan RUU Perfilman juga menambahkan beberapa ketentuan pidana, diantaranya tentang tindak pidana oleh pelaku usaha pembuatan film atau peredaran film atau film impor tertentu yang melebihi 50% jam pertunjukannya yang mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain itu juga terdapat ketentuan sanksi pidana bagi pelaku usaha perfilman yang membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; (Pasal 75 RUU PERFILMAN)
  2. selain itu RUU Perfilman juga memberikan pengaturan seputar tindak pidana perfilman yang dilakukan oleh atau atas nama korporasi berikut dengan uraian unsur-unsur tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korporasi; (Pasal 76 jo 77 RUU PERFILMAN)

KETENTUAN PERALIHAN DAN KETENTUAN PENUTUP

  1. RUU Perfilman menyebutkan bahwa pada saat UU Perfilma yang baru berlaku, anggota lembaga sensor film yang telah ada yang dibentuk berdasarkan UU 8/1992 beserta peraturan pelaksanaannya tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya Lembaga Sensor Film. Yang mana Lembaga Sensor Film sebagaimana dimaksud harus sudah dibentuk paling lama 18 bulan sejak UU Perfilman yang baru diundangkan; (Pasal 78 – 79 RUU PERFILMAN)
  2. RUU Perfilman juga menyebutkan bahwa pada saat UU Perfilman yang baru berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU 8/1992 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UU Perfilman yang baru;(Pasal 80 RUU PERFILMAN)

Secara keseluruhan RUU Perfilman mengandung 31 pasal yang mengatur tata niaga dan perizinan dan mengatur sebanyak 18 pasal pidana dan sanksi. Suatu pengaturan yang dinilai tidak berimbang dalam tujuannya memajukan perfilman nasional. Terlalu banyaknya ketentuan pidana seolah mendudukan para sineas sebagai target sanksi, yang kapan saja dapat dijerat oleh berbagai aturan pidana yang terdapat dalam RUU Perfilman tersebut. Dan hal tersebut pastinya akan berdampak secara sinergis dengan produktivitas dan kreatifitas para sineas itu sendiri. Ditambah lagi dengan adanya pengaturan tata niaga, perizinan dan tata edar film yang sangat dominan oleh pemerintah, semakin lengkaplah limitasi-limitasi yang pemerintah ciptakan untuk perfilman nasional, semoga saja tidak lantas mematikan nadi perfilman nasional yang tengah semangat untuk kembali berkembang;

Published in: on September 10, 2009 at 1:15 pm  Leave a Comment  

The URI to TrackBack this entry is: https://72legalogic.wordpress.com/2009/09/10/aspek-legal-perubahan-yang-terkandung-dalam-ruu-perfilman/trackback/

RSS feed for comments on this post.

Leave a comment